Etika Bermedia dan Kontroversi Politik
Agus Sudibyo ;
Kepala Program Studi Komunikasi
Massa
Akademi Televisi Indonesia (ATVI)
Jakarta
|
KOMPAS, 18 Oktober
2016
Apa yang berkembang di
media sosial belakangan ini mungkin dapat disebut sebagai kecenderungan
proses berkomunikasi dalam kategori anti komunikasi.
Penyampaian pesan,
diskusi, dan silang pendapat tentang isu-isu politik di media sosial tersebut
telah sedemikian rupa mengabaikan hal-hal yang fundamental dalam komunikasi:
penghormatan kepada orang lain, empati kepada lawan bicara, dan antisipasi
atas dampak-dampak ujaran atau pernyataan. Pada prinsipnya, praktik
berkomunikasi di ruang publik mensyaratkan kemampuan pengendalian diri,
kedewasaan dalam bersikap, serta tanggung jawab atas setiap ucapan yang
hendak atau sedang disampaikan.
Namun, yang terjadi di
media sosial dewasa ini adalah tren yang sebaliknya. Begitu mudah orang
menumpahkan amarah atau opini negatif tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Begitu mudah orang memojokkan dan menghakimi orang lain, tanpa berpikir
pentingnya memastikan kebenaran informasi atau analisis tentang orang
tersebut. Dan, begitu sering orang terlambat menyadari bahwa apa yang
diungkapkannya di media sosial telah tersebar ke mana-mana, menimbulkan kegaduhan
publik, dan merugikan pihak tertentu.
Media sosial
menampilkan negativitasnya di sini. Kurangnya kedewasaan dan sikap
bertanggung jawab sebagian pengguna membuat proses komunikasi di media sosial
jadi pemicu munculnya perseteruan atau konflik yang tak produktif. Ruang
media yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran dan pencerahan bersama,
justru jadi tempat memamerkan sikap tak acuh, amarah, dan kebencian.
Tentu saja hal ini
sangat disayangkan karena sesungguhnya media sosial memiliki potensi deliberasi
dan demokratisasi sangat besar. Media sosial memungkinkan semua orang jadi
subyek, pelaku, dan sumber komunikasi, dan tidak sekadar menjadi pembaca atau
pemirsa seperti yang terjadi dalam proses komunikasi di media massa. Media
sosial mampu mengatasi paradoks komunikasi di media massa di mana mayoritas
orang menjadi massa yang pasif dan tidak terlibat dalam proses komunikasi.
Tren yang menggejala
Namun, yang lebih
memprihatinkan, negativitas media sosial itu sepertinya justru diamplifikasi
dan diperkuat oleh media massa, khususnya media daring dan media televisi.
Kekusutan komunikasi politik, kontroversi, dan debat kusir di media sosial
dalam banyak kasus dilanjutkan di ruang pemberitaan atau bincang-bincang
media (talkshow).
Pola penyajian
informasi yang cenderung spontan, serba cepat, dan instan di media sosial
tidak diimbangi sesuatu yang berbeda, tetapi justru dijadikan mode
jurnalistik yang baru oleh media massa konvensional. Akibatnya, saat ini
cukup mudah menemukan berita politik yang tidak berimbang, satu sisi,
mengabaikan verifikasi sumber kunci atau menggunakan judul yang menghakimi.
Pada awalnya ini hanya menjadi tren di media jurnalistik daring, tapi pada
perkembangannya juga mulai menggejala di semua jenis media.
Pada sisi lain, acara
bincang-bincang di televisi umumnya disiarkan secara langsung. Ciri siaran
langsung media televisi adalah unpredictability dan irreversibility:
ketidakmungkinan memastikan ujaran dan tindakan para narasumber dan
ketidakmungkinan menghapuskan ujaran dan tindakan yang telanjur terjadi.
Katakanlah ada debat yang berlangsung panas dan menjurus kasar
antarnarasumber, di mana kata-kata makian atau pernyataan bernada SARA tak
terhindarkan, juga akan tersiarkan secara langsung, tanpa bisa disunting
terlebih dahulu.
Secara etis, apakah
adegan seperti itu layak ditayangkan kepada khalayak luas di segala umur? Di
sini kita berbicara tentang kedudukan media sebagai institusi sosial yang
bukan hanya harus mempertimbangkan kepantasan dan kepatutan ruang publik,
melainkan juga secara moral bertanggung jawab mencerahkan masyarakat.
Memang, konflik adalah
oase yang tak pernah kering dalam pemberitaan media. Konflik dan kontroversi
selalu memikat untuk diberitakan dan punya daya magnetik di hadapan
masyarakat. Namun, perlu dipersoalkan motif media terhadap konflik atau
kontroversi. Apakah motif komodifikasi berdasarkan pertimbangan oplah,
rating, hit, ataukah motif sosial membantu masyarakat memahami persoalan,
mengambil pelajaran berharga, dan mencari jalan penyelesaian?
Apakah media ingin
membantu menyelesaikan kontroversi pernyataan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama
tentang Al Maidah atau sekadar ingin memberitakannya karena sedang menyedot
perhatian masyarakat? Kuatnya motif komodifikasi dapat membuat media tidak
memedulikan penyelesaian konflik dan tanpa sadar justru mengintensifkan
konflik. Serial pemberitaan media yang bombastis atau provokatif menyebabkan
kontroversi tidak berkesudahan, mengaburkan substansi persoalan, dan membuat
semua pihak abai terhadap hal lain yang tidak kalah penting terkait Pilkada
DKI.
Persoalan berikutnya,
bagaimana konflik dan kontroversi diberitakan media? Kode Etik Jurnalistik
menegaskan, media harus memberitakan secara berimbang, dari dua sisi, tidak
beritikad buruk, memenuhi asas praduga tak bersalah, dan tak menghakimi obyek
pemberitaan. Sebagaimana telah diutarakan, etika jurnalistik ini dalam
praktiknya semakin lazim diabaikan. Begitu banal pengabaian ini hingga
beberapa pihak berpikir untuk merevisi Kode Etik Jurnalistik tersebut karena
dianggap kurang relevan dan tidak efektif lagi.
Krisis etika berkomunikasi
Sampai di sini,
terlihat jelas sesungguhnya kita sedang menghadapi krisis etika media atau
etika berkomunikasi. Pada level media massa, wujudnya pengabaian Kode Etik
Jurnalistik atau Etika Penyiaran hingga taraf banal dan masif. Begitu serius
pengabaian itu hingga sebagian awak media mungkin tidak lagi menganggap
berita yang tidak berimbang atau menghakimi sebagai bentuk kesalahan.
Pada level media
sosial, krisis itu berwujud tak adanya standar etika yang jadi acuan bersama.
Kerancuan status media sosial sebagai ruang publik sekaligus ruang privat,
sebagai mode komunikasi interpersonal sekaligus komunikasi kelompok dan
komunikasi massa menimbulkan kebingungan standar etika mana yang harus
digunakan.
Sungguhpun demikian,
semua pihak pasti sepakat proses berkomunikasi pada level mana pun tak
mungkin berjalan tanpa etika. Tanpa dilandasi etika, praktik bermedia akan
mengarah pada kekacauan. Pada akhirnya, masyarakat yang menanggung kerugian
paling besar. Media yang semestinya membantu masyarakat memahami persoalan
sosial- politik secara jernih dan obyektif, justru jadi ajang persitegangan
dan perseteruan tak berujung.
Literasi media jelas
diperlukan. Namun, sasaran utamanya bukan generasi muda atau anak-anak
sekolah, melainkan justru para "praktisi" media sendiri. Kepada
merekalah pertama-tama perlu diingatkan kembali pentingnya kemampuan
pengendalian diri, kepekaan terhadap dampak-dampak komunikasi, serta
kedewasaan dalam menghadapi perbedaan pendapat di ruang publik. Proses
berkomunikasi, sekali lagi, menuntut kemauan semua yang terlibat untuk
menjaga kepatutan dan kepantasan, menghormati orang lain sebagai bentuk
penghormatan terhadap diri sendiri, serta untuk menenggang perasaan banyak
orang yang menyaksikan proses komunikasi tersebut. Mari kita kembalikan
esensi komunikasi sebagai sarana untuk berbagi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar