Kebijakan
Hukum Nirdata
Sulistyowati Irianto ;
Guru Besar Antropologi Hukum
Fakultas Hukum UI
|
KOMPAS, 25 Oktober
2016
Saat ini ilmu pengetahuan menghela berbagai
kemajuan umat manusia di dunia. Tak ada satu kebijakan pemerintah (dan industri)
pun diambil tanpa rekomendasi hasil penelitian.
Penelitian yang diacu adalah yang kualitas
data dan prosesnya teruji, karena dipertanggungjawabkan bagi kepentingan
publik. Di negara yang pemerintahannya bertata kelola, menghargai ilmu
pengetahuan dan nalar, peran ilmu pengetahuan tidak dipertanyakan lagi. Suatu
kebijakan, sungguhpun begitu mulia tujuannya, tak bisa hanya didasarkan pada
intuisi atau rekaan penguasa. Kelemahan kita adalah ketiadaan data dasar di
banyak bidang; sebagai acuan penting berbagai pengambilan keputusan.
Sejauh mana kita menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai acuan kebijakan; sesudah dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla, apa yang sudah diperbaiki?
SDM bidang hukum
Menurut survei Kompas, reformasi hukum
tertinggal (Kompas, 19/10/2016). Banyak faktor dapat menjelaskan, tetapi
mungkin ada kaitannya dengan ketiadaan data dasar dalam upaya reformasi
peradilan. Ternyata kita tidak punya data memadai tentang SDM terkait proses
peradilan. Pertama, tak ada data tentang jumlah hakim di setiap jenjang di
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi; dan berapa rasio perempuan dan
laki-laki.
Laporan tahunan Mahkamah Agung tak menyebutkan
rasio hakim agung perempuan dan laki-laki. Apalagi data terpilah menurut
pengadilan negeri, pengadilan agama, pengadilan militer, PTUN, dan pengadilan
khusus seperti tipikor. Tak mengherankan jika di daerah ada pengadilan yang
kekurangan atau kelebihan hakim, dengan segala dampaknya bagi proses yudisial
dan pencari keadilan (Komisi Yudisial, 2014). Pentingnya data dasar detail
jumlah hakim adalah untuk berbagai keperluan, termasuk penempatan, rotasi dan
promosi hakim, serta perumusan anggaran.
Pentingnya data terpilah laki-laki dan
perempuan bukan hanya sebagai realisasi berbagai konvensi internasional yang
kita ratifikasi, dan program internasional yang kita sepakati seperti Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun juga karena kita kehilangan banyak
kesempatan untuk mendapatkan hakim perempuan bagus lebih banyak. Ada banyak
kasus berdimensi keadilan jender yang membutuhkan lebih banyak suara hakim
perempuan. Problem lain, karena kurangnya dukungan berupa fasilitas kesehatan
dan pendidikan bagi keluarga, hakim perempuan kesulitan jika ditugaskan ke
daerah. Saat ini banyak hakim laki-laki di daerah yang memiliki dua rumah
tangga karena keluarganya tinggal di kota, untuk alasan yang sama. Hakim
laki-laki harus mengeluarkan biaya ekstra menengok keluarga secara berkala
(KY, 2014).
Kita juga kesulitan dapat data akurat tentang
jumlah jaksa di setiap jenjang di semua provinsi, dan terpilah laki-laki dan
perempuan. Pentingnya data terpilah sama seperti alasan untuk hakim; dan
adanya kebutuhan agar lebih banyak kasus kriminal dengan korban perempuan
tertangani lebih baik. Demikian pula halnya polisi, kita kesulitan dapat data
akurat jumlah polisi di setiap jenjang kepangkatan di semua provinsi, dan
terpilah antara polisi laki dan perempuan.
Pada awalnya sukar bagi perempuan diterima
menjadi polisi karena keterbatasan daya tampung pendidikan perempuan. Kalaupun
sudah masuk, sangat sedikit perempuan bisa mencapai puncak karier; karena
konstruksi jender menempatkan mereka dalam pekerjaan administratif dan
logistik. Padahal sejumlah penelitian menunjukkan, masyarakat menyukai polisi
perempuan karena tak mudah disuap dan punya cara khas menangani kasus dan
tersangka. Baru pada 2013 diberlakukan kuota, sehingga persentase polwan
meningkat dari 3 persen jadi 43 persen dari 17.000 pada 2014 (IOM, 2014).
Selanjutnya ialah advokat yang harus dipilah
sebagai pengacara korporasi, pegawai kantor pemerintah dan swasta, dan
pengacara publik (pemberi bantuan hukum), serta pengacara di akar rumput.
Untuk semua kategori ini tak ada data, apalagi terpilah jenis kelamin.
Perlunya data advokat, terutama pengacara publik dan akar rumput, adalah
untuk mendesain program dan anggaran pemerintah, dalam rangka pemberian
bantuan hukum bagi rakyat.
LBH Jakarta saja setiap tahun menerima
1.200-1.300 kasus. Berapa dana dibutuhkan untuk penanganan kasus dan
kelangsungan hidup organisasi? Banyak pengacara muda antusias mengabdi,
tetapi sukar berkelanjutan. Keberadaan advokat perempuan sangat dibutuhkan
karena banyaknya kasus hukum perempuan. LBH APIK Jakarta menerima sampai
800-1.000 kasus/tahun, dengan keterbatasan sumber daya advokat dan dana.
Proses pembuatan hukum
Seberapa jauh data dan hasil penelitian
digunakan sebagai acuan adalah juga dalam proses perumusan produk hukum. Ada
berbagai instrumen hukum yang mensyaratkan naskah akademik, hasil penelitian
andal, bagi pembuatan produk hukum. Namun, sudah menjadi rahasia umum naskah
akademik dibuat hanya sekadar memenuhi syarat administratif. Bahkan naskah
akademik baru dibuat setelah proses perumusan hukum berlangsung. Itu pun
tidak dipertanyakan lagi kualitas dari penelitiannya.
Saat ini perumusan produk hukum yang disoroti
masyarakat adalah Perppu Kebiri, bahkan tampak ada gagasan untuk
meningkatkannya menjadi UU. Memang kasus-kasus kejahatan seksual terhadap
anak (perempuan) yang meresahkan masyarakat menjadi pencetus gagasan Perppu
Kebiri. Namun adakah naskah akademik, penelitian valid, yang menjadi dasar
bagi perumusan produk hukum tersebut?
Berbagai pertanyaan dapat diajukan:
bagaimanakah korban diposisikan dalam produk hukum ini, adakah pengalaman dan
realitas korban diperhitungkan? Setidaknya ada banyak LSM bantuan hukum
perempuan dan anak, Komnas Perempuan, organisasi dan aktivis gerakan
perempuan; menolak solusi melalui penghukuman kebiri. Mereka adalah orang
yang paling dekat dengan korban dan memiliki pengetahuan tentang isu
kekerasan seksual. Adakah pengalaman mereka telah diperhitungkan?
Regulatory Impact Analysis untuk melihat
dampak positif dan negatif peraturan harus dilakukan. Produk hukum itu
ditujukan bagi siapa? Bagaimana jika pelaku juga anak-anak, atau orang dewasa
pejabat tinggi yang ketahuan memperistri anak-anak di bawah umur? Tak kalah
penting: siapkah aparat pemerintah, penegak hukum, dokter,
mengimplementasikan? Hukuman kebiri kimiawi bagi pelaku butuh biaya; apakah
tidak sebaiknya biaya dialokasi untuk pemulihan korban fisik dan mental?
Perumus kebijakan hendaknya menjawab dulu
pertanyaan ini. Sebelum bisa menjawab, lebih baik memaksimalkan hukum yang
ada; yang selama ini karena ketiadaan perspektif korban dari penegak hukum,
tak menjatuhkan hukuman yang adil setara penderitaan korban. Jalan paling
baik bagi semua, memenuhi harapan dari korban, penyintas, serta organisasi
dan individu yang paling memiliki pengetahuan dan pengalaman terkait isu
kekerasan seksual terhadap perempuan. Mereka lebih menginginkan dipercepatnya
pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Seksual daripada UU Kebiri.
Kenyataan di atas menunjukkan, ilmu
pengetahuan harus menjadi soko guru bagi segala upaya pemajuan bangsa.
Kecerdasan intelektual dan nurani, sikap kritikal, harus melandasi setiap
proses perumusan kebijakan yang rasional. Kebijakan atas dasar emosi sesaat,
populis, terlalu berisiko dan tak bermaslahat bagi masyarakat; yang sedang
belajar berdemokrasi ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar