Kebijakan
Penggemukan Sapi Impor
Rochadi Tawaf ;
Dosen Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran
dan Anggota Persepsi Jawa Barat
|
KOMPAS, 24 Oktober
2016
Kebijakan penetapan harga daging sapi Rp
80.000 per kilogram yang digulirkan pemerintah sejatinya merupakan
"kebijakan panik". Penegasannya ditekankan pada upaya
"menjungkirbalikkan" keadaan.
Rangkaian kebijakan yang dilakukan pemerintah,
seperti pemangkasan kuota impor di Q-3 tahun 2015; mengadili pengusaha
feedloter di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU); operasi pasar dengan
daging beku impor; menugaskan Perum Bulog dalam pengadaan sapi siap potong;
daging beku impor dan melakukan importasi daging asal India dengan merombak
dan melabrak berbagai kebijakan yang ada.
Misalnya, impor sapi siap potong yang
melanggar UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH)
dan menerbitkan SK Mentan tentang Impor Daging Asal India. Sementara cantolan
hukumnya, Pasal 36 C UU No 41/2014, masih dalam proses uji materi di MK.
Kebijakan gagal
Semua kebijakan yang telah dilakukan tersebut
ternyata belum mampu menurunkan harga daging sapi yang masih bertengger di
harga Rp 115.000 per kg. Atau, harga ini tetap diciptakan tinggi agar para
importir daging dapat menikmati keuntungan akibat selisih harga tersebut.
Mengikuti perjalanan kebijakan pengembangan
sapi potong, sampai kini terkesan semua yang dilakukan tidak berbasis
saintifik. Kebijakan berbasis pada hasil rapat dan bersifat "uji
coba". Pasalnya, jika dicermati, ternyata seluruh kebijakan tersebut
tidak membuahkan hasil sesuai dengan tujuan pembangunan, bahkan cenderung
membuat kegaduhan. Salah satu indikatornya adalah tidak turunnya harga daging
sapi dan tidak tercapainya kesejahteraan peternak sapi potong di pedesaan.
Apabila dilakukan analisis yang mendalam,
ternyata dampak akibat kebijakan tersebut di atas menimbulkan kerugian
triliunan rupiah. Nilai kerugian itu dihitung mulai dari porak-porandanya
bisnis sapi potong di dalam maupun di luar negeri, depopulasi sapi potong,
pemotongan sapi betina produktif, kerugian bisnis pemotongan sapi lokal
karena piutang tidak tertagih akibat intervensi daging beku, penurunan
produktivitas susu, kerugian peternak lokal akibat menurunnya harga jual,
hingga berkurangnya produksi pupuk kandang menyebabkan menurunnya
produktivitas pertanian tanaman pangan dan gagalnya investasi yang telah
ditanam.
Surplus impor menyebabkan menurunnya
produktivitas domestik dan di ujung akhir akan terjadi kematian usaha
peternak rakyat dan ketergantungan terhadap impor (food trap). Sesungguhnya
yang diperlukan dunia usaha adalah kebijakan yang berbasis saintifik. Dengan
kata lain, setiap kebijakan harus didasari oleh naskah akademik yang
benar-benar kredibel.
Rasio 5:1
Selain berbagai kebijakan itu, ternyata
pemerintah telah melahirkan pula kebijakan impor sapi bakalan rasio lima
berbanding satu (5:1) dengan sapi indukan. Kebijakan ini pun akan membuat
usaha penggemukan sapi impor tak akan berjalan dan cenderung akan stagnan.
Pasalnya, integrasi usaha pembibitan dan pembesaran dengan sistem penggemukan
merupakan bisnis yang sangat berbeda.
Kita sangat paham bahwa bisnis pembibitan
merupakan bisnis jangka panjang yang memerlukan modal dan suku bunga rendah
dengan grace periode satu tahun agar bisnis ini bisa menguntungkan. Hal ini
disebabkan bisnis pembibitan perlu waktu sekitar tiga tahun untuk
menghasilkan produk sapi bakalan. Karena itu, sesuai dengan UU No 41/2014
tentang PKH, pembibitan adalah tugas pemerintah, khususnya harus ditangani
oleh BUMN. Meski demikian, nyatanya kebijakan ini diserahkan kepada swasta
dan koperasi.
Rasio 5:1 sesungguhnya merupakan pola
integrasi bisnis yang masih mungkin dilakukan jika pengertiannya berbasis
pada kapasitas kandang dan bukan atas
dasar volume impor. Konsep ini merupakan dua hal yang sangat berbeda. Jika
saja pengertian rasio 5:1 berbasis volume impornya, bisa dibayangkan setiap
impor lima ekor sapi bakalan, satu ekornya adalah sapi betina indukan, maka
perusahaan feedloter pada periode impor ke-5 kandangnya tidak lagi akan mampu
menghasilkan sejumlah sapi siap potong. Kandang para pengusaha feedlot akan
dipenuhi oleh sapi-sapi betina indukan yang pemeliharaannya memerlukan waktu
panjang untuk menghasilkan anakan/bakalan.
Sementara kita bisa lihat di seluruh dunia
bahwa sistem usaha pembibitan sapi potong akan sangat efisien jika dilakukan
di padang penggembalaan. Artinya, kebijakan rasio impor 5:1 bukannya
memberikan keuntungan bagi usaha penggemukan, malah sebaliknya, akan
merugikan pengusaha penggemukan.
Berbeda halnya jika pengertian rasio 5:1 didasarkan atas kapasitas kandangnya.
Artinya, lima bagian kapasitas kandang dari bisnis penggemukan ini akan mampu
berproduksi untuk membiayai seperenam kapasitas kandangnya bagi usaha
pembibitan. Pola ini masih rasional
walaupun ada sebagian kecilbiaya perbibitan yang dibebankan kepada biaya
penggemukan.
Idealnya pola usaha integrasi penggemukan dan
pembibitan dengan rasio 5:1 dilakukan oleh BUMN sebagai role model bisnis
ini. Kisah sukses bisnis ini akan dijadikan model bagi pengembangan sapi
potong di dalam negeri dan tentunya akan menciptakan iklim kondusif bagi
pengembangan sapi potong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar