Harus
Jadi Gerakan Nasional
James Luhulima;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 22 Oktober
2016
Presiden Joko Widodo
menegaskan akan terus bersikap keras memberantas pungutan liar di sejumlah
lini pemerintahan untuk menumbuhkan budaya baik, melayani masyarakat tanpa
pamrih. Penegasan itu dikemukakan Presiden Jokowi, Minggu (16/10), menyusul
operasi tangkap tangan pungli yang melibatkan pegawai Kementerian Perhubungan
di Jakarta, lima hari sebelumnya.
Operasi tangkap tangan
yang dilakukan Kepolisian Negara RI dan Kepolisian Daerah Metro Jaya di
Kementerian Perhubungan itu mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi.
Sebab, baru setengah jam sebelumnya, Presiden Jokowi membentuk Satuan Tugas
Operasi Pemberantasan Pungli (Satgas OPP) dalam rapat terbatas tentang
reformasi hukum.
Presiden langsung
mendatangi lokasi operasi tangkap tangan pungli di Kementerian Perhubungan
itu. Kedatangan Presiden Jokowi ke lokasi dimaksudkan menunjukkan betapa
pentingnya pungli diberantas. Pada saat akan meninggalkan lokasi operasi
tangkap tangan itu, Presiden mengatakan, ”Stop pungutan liar di semua
instansi dan lembaga negara, terutama yang terkait dengan pelayanan
masyarakat.” Bukan itu saja, Presiden pun memutuskan, pegawai negeri yang
terlibat akan dipecat.
Kepala Polri Jenderal
(Pol) Tito Karnavian menjelaskan, operasi tangkap tangan ini dilakukan atas
laporan Kementerian Perhubungan tentang adanya praktik penyimpangan di
kementeriannya. ”Sudah saya katakan berulang kali dalam setiap pertemuan
untuk tidak melakukan pungli. Namun, ternyata, indikasi yang ada, sulit bagi
(petugas) internal untuk menyelesaikan masalah ini,” ujar Menteri Perhubungan
Budi Karya Sumadi.
Menteri setiap kali
datang dan pergi, sementara jajaran birokrasi tetap bertahan di kementerian
sehingga imbauan menteri cenderung diabaikan.
Namun, karena yang
melakukan operasi tangkap tangan di Kementerian Perhubungan itu adalah Polri,
muncul gugatan bahwa di Polri juga banyak terjadi pungli, siapa yang
membersihkannya? Bahkan, keesokan harinya, di media sosial, muncul video
oknum Polri yang tengah menerima pungli. Tidak berlebihan jika dikatakan,
akan lebih elok, jika yang melaksanakan operasi tangkap tangan itu adalah
institusi yang bersih dari pungli.
Langkah Presiden
Jokowi membentuk OPP itu baik, tetapi tidak cukup jika tujuannya ingin
memberantas tuntas pungli. Praktik pungli di negara ini sudah sedemikian
meluas dan berakar sehingga diperlukan gerakan nasional untuk memberantasnya.
Pengawasan internal
Dari buku literatur
diketahui bahwa pungli sudah ada di negara ini sejak pendudukan Belanda, jauh
sebelum negara ini memproklamasikan kemerdekaannya 71 tahun lalu. Bahkan,
pungli telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari
masyarakat. Pungli ada di setiap tempat yang berhubungan dengan pelayanan.
Berurat-akarnya pungli
di masyarakat itu membuat Presiden Soeharto (1967-1998) gerah. Pada 16 Juni
1977, Presiden menginstruksikan Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) segera menyapu bersih pungli. Pada saat itu, Kopkamtib adalah
lembaga yang sangat ditakuti karena nyaris dapat melakukan apa saja dengan
mengatasnamakan keamanan nasional.
Itu sebabnya, ketika
Soeharto menginstruksikan Kopkamtib memberantas pungli, muncul harapan besar
di kalangan masyarakat (diharuskan membayar pungli tentunya) bahwa pungli
dapat diberantas. Apalagi, Kepala Staf Kopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan,
praktik-praktik pungutan itu tidak dapat ditoleransi lagi. Jika Kopkamtib
terpaksa turun tangan, hal itu karena praktik-praktik tersebut menyangkut
nilai dan kewibawaan aparatur. Selain memberatkan masyarakat, praktik-praktik
tersebut juga menimbulkan pandangan tidak sedap bagi mata orang luar,
seolah-olah negara ini negara pungutan.
Sudomo mengemukakan,
operasi pemberantasan pungli akan dilakukan secara drastis dan berlanjut.
”Kalau perlu, yang bersangkutan akan dipecat,” ucapnya. Sudomo pada saat itu
dikenal dengan gebrakannya dengan mengadakan inspeksi mendadak (sidak) dan
menangkap basah pungli di jembatan timbang truk.
Pada saat Kopkamtib
bergerak, memang pungli agak mereda. Namun, Sudomo berpendapat, operasi yang
dilakukan Kopkamtib itu hanya bersifat ad hoc, tidak dapat dilakukan
terus-menerus. Sistem pengawasan di dalam lembaga-lembaga dan
institusi-institusi yang perlu dihidupkan.
”Operasi pemberantasan
pungli itu hanyalah sebagai penggerak saja supaya akhirnya semua berjalan
sesuai dengan fungsinya,” kata Sudomo ketika itu.
Sayangnya, sistem
pengawasan internal itu, apa pun alasannya, tidak berjalan dengan baik
sehingga pungli kembali menjamur. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari
waktu ke waktu mengadakan operasi secara terbatas. Dan, seperti pada masa
lalu, pungli mereda hanya pada saat operasi dilakukan. Setelah itu, segala
sesuatunya kembali seperti semula.
Itu sebabnya, kita
berharap Presiden Jokowi tidak berhenti pada pembentukan Satgas OPP saja,
tetapi juga mencari cara bagaimana agar sistem pengawasan internal
(inspektorat jenderal) dapat berjalan dengan baik. Pasti tidak mudah, tetapi
bukan tidak mungkin dilakukan. Diperlukan orang-orang ”gila” (the
untouchables) untuk memimpin bagian pengawasan internal agar dapat bekerja
sesuai fungsinya.
Pengalaman di negara
ini menunjukkan bahwa pemberantasan pungli tidak dapat dilakukan melalui
langkah-langkah dan lembaga-lembaga ad hoc, tetapi harus menjadi gerakan
nasional dan berkelanjutan. Pembersihan harus dilakukan serentak di semua
lini. Jika pemberantasan pungli tidak dijadikan gerakan nasional, bisa
dipastikan bahwa keinginan untuk memberantas pungli akan berakhir dengan
kegagalan, sama seperti pada masa lalu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar