Kembalinya Desentralisasi Era Kolonial
Hanif Nurcholis ;
Profesor Bidang Pemerintahan
Daerah Universitas Terbuka; Ketua Umum Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara
|
KOMPAS, 19 Oktober
2016
Djohermansyah Djohan
menulis, "Repotnya Otonomi Daerah" (Kompas, 10/10). Repotnya
otonomi daerah bukan karena masalah teknis, melainkan masalah Kementerian
Dalam Negeri yang tidak mau melepaskan diri dari pola pikir binnenlandsche
bestuur dan indirect rule zaman kolonial.
Binnenlandsche bestuur
adalah pemerintahan yang diselenggarakan pejabat Kementerian Dalam Negeri
yang disebut korps pamong praja. Indirect rule adalah pemerintahan tidak
langsung kepada daerah swapraja, zelfbesturende landschappen dan komunitas
pribumi, inlandsche gemeente (RR 1854; Surianingrat, 1981). Binnenlandsche
bestuur menggunakan instrumen dekonsentrasi, sedangkan indirect rule
menggunakan instrumen kontrak politik (untuk swapraja) dan kontrol politik
(untuk komunitas pribumi).
Pemerintah Hindia
Belanda pada 1903 memperkenalkan kebijakan desentralisasi yang ditempelkan
pada binnenlandsche bestuur dan indirect rule. Sejak saat ini dibentuk
pemerintahan paralel pada provinsi dan kabupaten/kota: pemerintahan pamong
praja sekaligus pemerintahan daerah. Pemerintahan pamong praja diselenggarakan
korps pamong praja, sedangkan pemerintahan daerah diselenggarakan dewan
daerah (provintie raad dan regentie raad/stadsgemeente raad). Karena
pemerintahan daerah hanya tempelan, maka yang dominan adalah pemerintahan
korps pamong praja.
Ketika Indonesia
merdeka, Moh Yamin dan Soepomo menyusun Pasal 18 UUD 1945 tentang daerah
otonom besar dan daerah otonom kecil. Berdasarkan pasal ini diundangkan
Undang-Undang (UU) No 22 Tahun 1948, UU No 18/1965, UU No 19/ 1965, dan PP No
22/1963. Tiga UU dan peraturan pemerintah (PP) ini hanya mengatur
pemerintahan berasas otonomi yang terdiri atas tiga lapis, tier: provinsi,
kota besar, dan kota kecil/desa praja.
Binnenlandsche bestuur
dihapus. Pemerintahan indirect rule juga dihapus: swapraja yang masih eksis dijadikan
daerah istimewa dan yang sudah tak eksis dihapus, inlandsche gemeente
dikonversi menjadi daerah otonom formal sebagai kota kecil/desa praja
(Maryanov, 1955).
Akan tetapi,
binnenlandsche bestuur dan inlandsche gemeente yang sudah dihapus dihidupkan
kembali dalam bentuk baru (UU No 5/1974 dan UU No 5/1979). Pejabat pamong
praja, yang pada zaman kolonial hanya terdiri dari gubernur, residen, bupati,
wedana, dan camat, kali ini ditambah wali kota administratif dan lurah.
Pemerintahan
inlandsche gemeente yang pada zaman kolonial Belanda diserahkan kepada adat
istiadat masing-masing kali ini dijadikan korporasi politik baru yang diatur
negara secara kaku (rigid). Terbentuklah pemerintahan sentralistik model baru
yang lebih sentralistik daripada zaman kolonial. Pemerintahan berasas otonomi
tidak berkembang karena hanya ditempelkan pada pemerintahan berasas
dekonsentrasi.
Pada awal
reformasi, pemerintahan binnenlandsche
bestuur dihapus kembali dengan tetap mempertahankan inlandsche gemeente model
baru. Sesuai dengan UU No 22/1999 di daerah hanya dibentuk dua lapis
pemerintahan berasas otonomi: (1) provinsi dan (2) kabupaten/kota ditambah
"pemerintahan" inlandsche gemeente model baru di bawah kabupaten.
Gubernur dan
bupati/wali kotamadya tak lagi merangkap sebagai pejabat pamong praja, tetapi
hanya sebagai kepala daerah otonom. Semua pejabat korps pamong praja dihapus.
Akan tetapi, model pemerintahan berasas otonomi baru ini hanya bertahan empat
tahun karena UU No 22/1999 diganti dengan UU No 32/2004.
UU No 32/2004 secara
terselubung menempelkan binnenlandsche bestuur pada provinsi. Dengan
demikian, di provinsi dibentuk pemerintahan paralel lagi: daerah otonom
sekaligus sebagai wilayah administrasi. Adapun kabupaten/kota tetap
dipertahankan sebagai pemerintahan berasas otonomi. UU No 32/ 2004 diganti
dengan UU No 23/2014 dan UU No 6/2014. Di bawah dua UU ini terbentuk lagi
pemerintahan binnenlandsche bestuur dan indirect rule (khusus inlandsche
gemeente) jilid III yang konstruksinya sama dengan model binnenlandsche
bestuur dan indirect rule zaman kolonial Belanda.
Kuncinya taat asas
Bongkar pasang
konstruk local government inilah yang membuat repot. Jika pembuat UU taat
asas kepada Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 tidak ada kerepotan
menyelenggarakan otonomi daerah sebagaimana negara lain menyelenggarakannya.
Sesuai dengan UUD 1945, pemerintahan daerah berasas otonomi dan tugas
pembantuan. Asas ini merujuk kepada pemerintahan lokal model Inggris (Hume
IV, 1991). Berdasarkan asas ini, pemerintahan yang dibentuk adalah
pemerintahan berasas otonomi bukan binnenlandsche bestuur dan indirect rule
atau campuran di antara ketiganya.
UU No 22/1948, UU No
18/ 1965 jo UU No 19/1965, dan UU No 22/1999 sudah sesuai dengan asas ini.
Kekurangan semua UU tersebut adalah kerancuan model pengawasannya kepada
daerah otonom: antara hierarki dan fungsional. Seharusnya pemerintahan daerah
yang berasas otonomi menggunakan model pengawasan fungsional (Leehmans,
1970).
Pengawasan fungsional
dilakukan oleh pejabat instansi vertikal kepada dinas-dinas penyelenggara
otonomi daerah, bukan oleh wakil pemerintah. Cara penyerahan urusan
pemerintahannya dengan ultravires, bukan concurrent. Mestinya kekurangan
inilah yang diperbaiki, bukan membongkar konstruksinya.
Implementasi UU No 23/2014
dan UU No 6/2014 berpotensi sangat merepotkan karena konstruksinya tidak
mengikuti salah satu dari empat model local government yang dikiblati dunia:
(1) Perancis, (2) Jerman, (3) Inggris, dan (4) Soviet Komunis (Hume IV,
1991). Dua UU ini mencampur model modern dan tradisional: binnenlandsche
bestuur, indirect rule, dan Perancis.
Bertemunya binnenlandsche bestuur dengan model Perancis melahirkan
sentralisasi yang kuat, sedangkan model indirect rule pada komunitas desa
membuat absennya pelayanan publik kepada rakyat desa yang ujungnya
menciptakan overcomplicated. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar