Ilusi Pendidikan Tinggi
Hasanudin Abdurakhman ;
Doktor di bidang fisika terapan
dari Tohoku University, Jepang; Bekerja sebagai General Manager for Business
Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta
|
KOMPAS, 17 Oktober
2016
Ini adalah cerita yang
biasa kita saksikan. Satu keluarga petani, tinggal di desa. Mereka punya
sawah atau kebun, hidup cukup dengan hasil darinya. Dengan hasil kebun itu
mereka menyekolahkan anak, hingga ke perguruan tinggi. Tidak sedikit dari
mereka yang menjual sebagian sawah atau ladang untuk keperluan itu.
Ketika anaknya selesai
kuliah, ia tak menjadi apa-apa. Ia tidak mendapat kerja di perusahaan atau
lembaga pemerintah. Ia kembali ke kampung, bertani lagi. Atau bekerja sebagai
buruh.
Tidak terlihat sesuatu
yang membedakan dirinya dengan orang-orang yang tak kuliah. Tidak sedikit
pula yang bahkan tidak sanggup mandiri seperti orang tua mereka, sekedar
menumpang hidup dari harta yang didapat oleh orang tua.
Apa yang sedang
terjadi? Apa yang salah pada perguruan tinggi kita?
Dalam masa 20-30 tahun
terakhir ini kita sedang mengalami berbagai jenis transformasi. Ada
transformasi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Juga
transformasi demografis dari desa menjadi urban.
Akses ke dunia
pendidikan sedang bertransformasi menjadi lebih mudah. Dalam situasi itu
seharusnya terjadi pergeseran pola pikir. Tapi sering kali terjadi situasi
yang tidak sinkron antara yang dihadapi dengan pola pikir yang dipakai.
Di masa lalu sekolah
adalah tiket untuk pindah dari domain petani-desa-wong cilik menjadi
pegawai-kota-priyayi.
Seperti digambarkan
oleh Umar Kayam dalam novel “Para Priyayi’, sekolah membuat para wong cilik
yang tadinya harus menerima status wong cilik sebagai suratan takdir, bisa
bertransformasi menjadi priyayi. Anak orang desa, sekolah, menjadi pegawai
pemerintah atau swasta, kemudian menjadi orang kaya dan terhormat di kota.
Proses ini yang
dipercayai oleh banyak orang. Mereka terjebak dalam ilusi, bahwa sekolah,
khususnya perguruan tinggi adalah mesin pencetak priyayi. Siapapun yang masuk
ke situ akan keluar sebagai sosok yang digambarkan di atas. Dengan modal
gelar sarjana dan ijazah, mereka berharap bisa pindah dari domain wong cilik
menjadi priyayi.
Di masa lalu hal itu
memang berlaku. Siapapun yang pernah kuliah nyaris bisa dipastikan akan
mendapat pekerjaan. Tapi sekarang situasi sudah berubah. Fakta menunjukkan
bahwa ada begitu banyak pengangguran sarjana, fenomenanya diwakili oleh
cerita di awal tulisan ini tadi. Diperkirakan saat ini ada 500 ribu sarjana
yang menganggur.
Orang tua
menyekolahkan anak-anak mereka berdasar pada ilusi tadi. Mereka tidak
menimbang kemampuan intelektual anak. Pokoknya kuliah. Kalau tidak bisa masuk
jurusan favorit, cari jurusan lain. Tidak bisa masuk ke perguruan tinggi
besar, masuk ke perguruan tinggi kecil pun tak apa. Tak bisa masuk ke negeri,
ke swasta pun boleh. Tak bisa masuk ke PTS mahal, cari yang murah.
Sebagian besar
anak-anak yang dikuliahkan juga berpikir seperti itu. Masih banyak yang
mengira bahwa ijazah dan gelar sarjana akan menjamin masa depan mereka.
Mereka tidak tahu soal apa yang dibutuhkan untuk merebut kesempatan kerja
yang sudah semakin menyempit. Mereka kuliah tanpa rencana dan target.
Adapun perguruan
tinggi, mereka sekedar menangkap situasi ini sebagai pasar yang harus
digarap. Orang-orang membuka berbagai perguruan tinggi swasta, untuk
menampung luberan peminat kuliah yang tidak tertampung di perguruan tinggi
negeri.
Maka kita menyaksikan
perguruan tinggi berdiri hingga ke pelosok negeri. Tak mau kalah dengan
swasta, perguruan tinggi negeri menyelenggarakan program extention, untuk
menampung orang-orang yang tak lulus dalam seleksi reguler.
Orang-orang juga
menjadi gila gelar. Lulusan sekolah vokasi yang tadinya tidak perlu menyandang
gelar sarjana, memaksa diri pindah ke jalur akademik, agar punya gelar. Tidak
punya gelar dianggap seperti cacat. Orang merasa lebih tidak nyaman dalam
status tanpa gelar ketimbang tanpa keahlian.
Situasi ini harus
diubah. Orang-orang harus dibangunkan dari ilusi. Sekolah atau perguruan
tinggi bukan mesin pencetak priyayi. Harus disadari bahwa tidak semua orang
harus kuliah. Juga tidak semua orang harus jadi sarjana.
Menguliahkan anak
harus didahului dengan pemikiran tentang apa potensi yang dimiliki anak, dan
perencanaan soal akan jadi apa anak itu kelak.
Juga harus disadarkan
bahwa masa priyayi sudah selesai. Sekarang orang bisa hidup terhormat sebagai
petani yang makmur. Atau jadi pedagang, perajin, dan pengusaha. Tidak selalu
harus jadi pejabat negara atau perusahaan.
Anak-anak bisa
dikuliahkan dengan mempertimbangkan potensi yang ia miliki, juga aset yang
dimiliki keluarganya. Seorang anak petani, misalnya, bisa belajar untuk
mengelola pertanian orang tuanya secara modern, berikut aspek bisnis pertanian
tersebut.
Poin terpentingnya
adalah bahwa kuliah itu tempat belajar. Belajar dengan suatu tujuan, dan
target. Mau jadi apa seseorang dengan kuliah, maka jurusan yang ia pilih
disesuaikan dengan tujuan itu. Kemudian selama kuliah ia secara terstruktur
dan terencana belajar soal hal-hal yang ia butuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar