Panggung
Kampanye Pilkada
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN SINDO, 28 Oktober
2016
Tirai penutup panggung kampanye pilkada telah
dibuka. Momen 28 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017 bak musim semi politik
citra.
Semua pasangan kandidat di 101 pilkada
serentak akan menggunakan beragam cara memersuasi pemilih. Kampanye,
publisitas, propaganda, dan public relations politik dipadu- padankan menjadi
satu paket strategi pemenangan pada basis pemilih.
Di panggung kampanye, para kandidat menjadi
aktor yang ditonton khalayak. Semua pesan verbal lisan dan tulisannya,
gestur, konteks, dan dramatisasi gagasannya menjadi menu harian opini publik
yang diperbincangkan di media massa dan media sosial.
Lorong Kebisingan
Di fase kampanye para kandidat ibarat memasuki
lorong kebisingan. Setiap saat “dikuliti” dari semua sisi. Oleh karenanya
dibutuhkan daya tahan dan kecerdasan komunikasi sekaligus agar mendapatkan
“tempat dalam kognisi khalayak. Setelah memasuki lorong kebisingan tersebut,
para kandidat tak bisa memutar haluan atau menepi di tempat sunyi.
Jalan harus disusuri dengan memahami beragam
karakteristik suara yang terdengar di sekitarnya. Mulai dari suara yang lirih
bersedih, manja merajuk hingga agresif menyerang dan menyudutkan diri,
pengharapan, bahkan kehormatan sang kandidat. Persis drama di panggung
hiburan, alur selalu menuntut aspek dramatis.
Multilakon dan memunculkan banyak efek kejut.
Bedanya panggung hiburan seusai pertunjukkan tak ada beban jangka panjang,
sementara panggung politik pilkada berdampak lima tahun ke depan dan
berhubungan erat dengan kepentingan publik. Oleh karenanya dibutuhkan
keseriusan dari pada kandidat, khalayak, dan media untuk memosisikan panggung
kampanye ini tak lagi sebatas prosedural, melainkan lebih memaknainya secara
substansial.
Roger dan Storey dalam Communication Campaign
(1987) mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi
terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar
khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Dengan demikian, hakikat dari kampanye itu adalah komunikasi, artinya
tindakan untuk membangun kesepahaman (understanding).
Dalam konteks pilkada, tentu saja pesan
kandidat berupaya penetratif ke lapis pemilih mulai dari khalayak umum
(general public), publik beperhatian (attentive public), dan kelompok elite
(the leadership public). Pada saat memilih, mereka yang menjadi khalayak atau
komunikan terbelah ke basis kelompok pemilih tradisional dan rasional dengan
ragam dimensi serta karakteristik yang melekat pada mereka masing-masing.
Dari sudut waktu, kampanye dibatasi tidak
sebebas publisitas politik. Sifat gagasannya bisa diperdebatkan khalayak dan
tujuannya biasa dirancang secara tegas, spesifik serta variatif. Modus
penerimaan kampanye bersifat sukarela, sementara modus tindakannya dibatasi
etika dan aturan yang ditetapkan UU maupun peraturan KPU.
Kampanye dengan demikian bukanlah tindakan
serampangan dan ugal-ugalan, tetapi komunikasi terencana yang wajib dikelola
secara cerdas. Paling tidak, ada tiga hal yang harus dikelola secara serius.
Pertama, positioning yang dalam tulisan
Heibing dan Cooper (1997) didefinisikan sebagai upaya membangun persepsi
tentang kandidat di pasar sasaran relatif.
Oleh karenanya dibutuhkan nilai keberbedaan si
kandidat di tengah keberadaan kandidat lain. Faktor yang harus diperhatikan
kandidat adalah past-record, yakni memori kolektif atas sosok kandidat di
masa lalu. Faktor lain adalah harus cerdas mengelola apa yang Worcester dan
Baines (2006) sebut sebagai consistent image di mana citra politik diteguhkan
secara nyata lewat kerja politik, isu politik, dan image kepemimpinan.
Kedua, branding sebagai upaya strategis
mengembangkan identitas agar menarik perhatian dan minat masyarakat untuk
lebih mengenal pasangan kandidat. Faktorfaktor yang harus menjadi perhatian
antara lain soal atribut, yakni bagaimana pasangan kandidat bisa mengusung
keunggulan, keistimewaan, kualitas atau kekuatan masingmasing.
Faktor benefit menyangkut keistimewaan,
keunggulan, dan kekuatan yang harus diterjemahkan ke dalam keuntungan-keuntungan
emosional dan fungsional dari pemilih. Apa yang bisa diharapkan pemilih dari
kandidat inilah yang akan menjadi branding kuat kandidat. Selain itu ada
faktor values (nilai yang menjadi kelebihan kandidat), culture (representasi
budaya tertentu), personality atau kepribadian tertentu yang menarik minat
pemilih, serta kecerdasan memahami user, yakni siapa sebenarnya
“konsumen” kampanyenya. Ketiga, segmenting,
yakni upaya mengidentifikasi kelompok- kelompok yang ada di masyarakat agar
bisa memahami sifat dan karakteristik beragam kelompok tersebut untuk
mempermudah ekspansi politik sesuai target. Pemilih itu berfragmentasi,
tetapi mereka memiliki titik simpul sendiri-sendiri. Jika bisa dipetakan dan
dikelola dengan baik, hal itu dapat menjadi insentif elektoral bagi kandidat.
Tren Kemenangan
Kampanye di era demokrasi terbuka seperti
sekarang seharusnya memberi ruang lebih terang- benderang bagi penguatan
politik warga. Kandidat tidak terjebak semata pada kepentingan sesaatnya,
yakni meraih kekuasaan, tetapi membawa publik pada geliat kebersamaan. Tren
kemenangan di banyak praktik elektoral belakangan menunjukkan gejala
unggulnya politik populis yang berporos pada nilai kekitaan kandidat dengan
pemilih.
Kampanye yang unggul tak cukup hanya bermodalkan
retorika dan karisma, terlebih di daerah-daerah yang akses informasinya
berlimpah seperti Jakarta. Kandidat dituntut lebih piawai meyakinkan zona
penerimaan pemilih bahwa mereka adalah bagian dari penyelesaian masalah
dengan sejumlah programnya.
Bukan sebaliknya, pemilih melihat para
kandidat sebagai bagian dari masalah. Kandidat harus membangun kepercayaan
publik bahwa mereka berkomitmen melakukan perubahan. Tahap berikutnya adalah
menggerakkan kerja berjejaring dalam semangat kekitaan yang kuat.
Tak cukup lagi hanya mengandalkan mesin
partai, guyuran uang, dan konstruksi citra di media massa. Kandidat butuh
terhubung langsung dengan basis pemilih di akar rumput. Kampanye harus
transformasional atau menggerakkan warga sehingga agenda kandidat menjadi
agenda para pemilih juga.
Arogansi, supremasi, dan elitisme yang melekat
pada citra kandidat akan merugikan dan memberi peluang pada pasangan kandidat
lain untuk mengambilnya. Kampanye modern tak lagi semata-mata bersifat
simbolis- instrumental seperti mementingkan atribut nomor urut, warna,
pilihan baju dan lain-lain meskipun hal tersebut juga lumrah digunakan.
Kampanye harus lebih maju pada hal-hal yang
substansial seperti program dan orientasi penyelesaian masalah yang
ditawarkan. Selain itu pola komunikasi juga harus berubah dari model linear
atau searah ke model resiprokal atau dua arah. Berkampanyelah dengan
menggerakkan bukan memuakkan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar