Liarnya
Bahasa Indonesia
P Ari Subagyo ;
Penggulat Linguistik;
Dekan Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
|
KOMPAS, 24 Oktober
2016
”Bahasa Indonesia itu liar!” Demikian
kegelisahan Lian Gouw (82) saat berbagi pengalaman menulis kepada mahasiswa
di Yogyakarta (23/8). Novelis kelahiran Jakarta (1934)—besar di Bandung, lalu
sejak 1962 tinggal di San Francisco, AS—itu dikenal setia pada bahasa
Indonesia.
Ia mirip Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)
yang amat jeli memilih kata untuk menyedikitkan—dalam istilah
Pram—belang-bonteng bahasa Indonesia.
Kecintaan Lian pada bahasa Indonesia terwujud
secara nyata dalam tuturan-tuturan lugasnya. Sekadar contoh, ia menghardik
mahasiswa yang menggunakan kata solusi saat bertanya jawab. ”Mengapa kamu
pilih kata itu? Bukankah bahasa Indonesia memiliki kata penyelesaian?”
katanya balik bertanya.
Kegelisahan Lian tentang liarnya bahasa
Indonesia rupanya bermula dari genitnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
edisi keempat (2008). Begitu banyak kata asing diserap di sana. Masalah bisa
makin parah karena bakal diluncurkan KBBI edisi kelima yang agaknya
sama—bahkan bertambah—genitnya.
Kemalasan kita
Kecemasan Lian—pemilik Dalang Publisher yang
giat menginggriskan novel-novel Indonesia—bukan isapan jempol belaka. Pada
minggu yang sama (Kamis, 25/8) terdengar kabar lebih mengejutkan dari Kepala
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dadang Sunendar, saat Kongres
Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia di Universitas Udayana,
Denpasar, yang diulang-ulang dalam beberapa kesempatan. Dalam KBBI edisi
kelima bertambah menjadi sekitar 100.000 lema, sedangkan KBBI edisi keempat
memuat sekitar 90.000 lema. Jadi bertambah sekitar 10.000 lema selama 10
tahun.
Bertambahnya lema tentu menggembirakan sebab
menunjukkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa
negara. Namun, jika pertambahan lema malah meneguhkan liarnya bahasa
Indonesia, lalu apa gunanya? Bukankah itu justru membuktikan perkembangan
bahasa Indonesia yang liar tak terkendali?
Solution menjadi solusi merupakan contoh
penyerapan yang diikuti pengucapan dan penulisan sesuai kaidah bahasa
Indonesia. Sayangnya, penyerapan semacam itu lalu berkelindan dengan sifat
tak terpuji bangsa ini: malas! Kita malas merekacipta kata-kata baru sehingga
penyerapan menjadi satu-satunya pilihan. Kemalasan berlanjut ketika kata-kata
baru dicetuskan: malas menggunakan. Bahkan, kita merasa kata-kata baru itu
lebih asing daripada kata serapan.
Sejarah peradaban membuktikan bahwa meluasnya
pergaulan manusia meluaskan pula kebutuhan akan bahasa. Bahasa apa pun tidak
memiliki kosakata lengkap sehingga harus menyerap dari kata-kata bahasa lain.
Hal ini bahkan terjadi pada bahasa Inggris yang sekarang menjadi bahasa utama
dunia. Sekitar 60 persen kosakata bahasa Inggris merupakan serapan dari
kata-kata bahasa Yunani, Latin, Perancis, dan lain-lain.
Kembali menjadi
”bahasa pasar”?
Penyerapan hanyalah satu kemungkinan untuk
pengembangan bahasa Indonesia. Pedoman Umum Pembentukan Istilah (2007)
menyebutkan bahwa bahan istilah diambil dari (1) bahasa Indonesia dan bahasa
Melayu, (2) bahasa Nusantara yang serumpun, serta (3) bahasa asing. Jadi,
penyerapan sesungguhnya merupakan pilihan terakhir ketika bahasa Indonesia,
bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa daerah di Nusantara tak sanggup memasok kata
yang tepat.
Hingga surutnya tokoh-tokoh awal pengembang
bahasa Indonesia—Amran Halim (1929- 2009), Anton Moeliono (1929- 2011), JS
Badudu (1926-2016), dan sebagainya—penyerapan sungguh merupakan pilihan terakhir.
Kata mengunduh (untuk download), mengunggah (upload), perangkat keras
(hardware), dan perangkat lunak (software) membuktikan kesanggupan bahasa
Indonesia mengikuti lesat (pelesat) kemajuan bidang lain.
Penyerapan memang paling mudah dilakukan, tanpa
perlu menelisik kekayaan kata bahasa Indonesia, bahasa Melayu, atau bahasa
daerah. Cukup menjumput sebuah kata asing—terutama bahasa Inggris—lalu
pengucapan dan penulisannya diindonesiakan lewat naturalisasi. Beres! Murah
meriah! Masuk akal jika Alif Danya Munsyi (2003) menulis judul bukunya
Sembilan dari Sepuluh Kata Bahasa Indonesia adalah Asing.
Namun, penyerapan yang membabi buta bukannya
tanpa perkara. Pelan-pelan terjadi ”pijinisasi”. Pijin (pidgin) adalah a
language with no native speakers (Wardhaugh, 2010: 58): bahasa tanpa penutur
asli. Pijin muncul sebagai jalan-tengah-terbaik ketika pihak-pihak yang
berbeda bahasa ibu harus bertutur dalam hubungan dagang yang serba tergesa.
Yang penting mereka dapat saling memahami.
Pijin dapat meluas menjadi lingua franca atau
bahasa bersama dalam pergaulan luas. Itulah sosok asli bahasa Melayu yang
pada 28 Oktober 1928 diikrarkan dalam Sumpah Pemuda dengan nama bahasa
Indonesia. Tidak lebih, tidak kurang. Maka, penyerapan membabi buta kata-kata
asing dapat dikatakan sebagai ”pijinisasi kedua”. Celakanya, ”pijinisasi
kedua” itu bakal mengembalikan bahasa Indonesia pada sosok aslinya sebagai
”bahasa pasar”.
Hadirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
membuka peluang besar bagi bahasa Indonesia menjadi bahasa ASEAN. Namun,
kedudukannya mungkin sekadar sebagai ”bahasa pasar”. Bahasa Indonesia memang
telah berhasil menumbuhkan nasionalisme Indonesia, dan bukan nasionalisme
menumbuhkan bahasa bersama (Anderson, 2004). Sayangnya, sekarang tekanan
pasar begitu kuat sehingga keliaran pasar tak terhindarkan.
Liarnya bahasa Indonesia memang tak sedahsyat
pungutan liar di kantor-kantor pemerintah. Namun, keliaran bahasa Indonesia
tetap perlu dikendalikan agar KBBI edisi kelima tidak menjadi kamus bahasa
pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar