Desa
dalam Rezim Pemerintahan
Ivanovich Agusta ;
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS, 26 Oktober
2016
Seraya membuka pintu calon kepala desa dari
luar wilayah, Mahkamah Konstitusi menegaskan desa sebagai mata rantai
terbawah rezim pemerintahan. Tafsir MK ini condong kepada paradigma local
self-government ketimbang self-governing community sebagaimana termaktub pada
penjelasan UU No 6/2014 tentang Desa.
Tindak lanjut putusan MK dalam edaran
Kemendagri terfokus pada kebebasan calon luar dalam pemilihan kepala desa.
Ini tidak memadai karena MK menorehkan yurisprudensi tata kelola desa masuk
hierarki pemerintahan. Guna mengantisipasi efek negatif birokratisasi atas ke
bawah ini, deliberasi politik harus dikembangkan sampai ke desa.
Putusan MK
Sejak 1970-an, percepatan kemajuan desa
dilumasi pihak luar, seperti pedagang dan penyuluh lapangan. Migran asal desa
juga mengobarkan pembaruan. Inilah basis sosiologis saat MK menganulir Pasal
50 UU No 6/2014. Mulai 23 Agustus 2016, peserta pilkades boleh dari luar
desa.
Di sisi seberang, putusan MK membuka peluang
calon titipan pejabat kabupaten, provinsi, atau pusat. Apalagi, pencitraan
calon baru kepada 4.000-an pemilih di wilayah sesempit desa mudah disusun
selama 2-3 bulan.
Ini melengkapi kasus campur tangan pemerintah
daerah dalam pilkades. Pengunduran waktu pilkades membuka hak bupati
menempatkan aparat kabupaten sebagai pejabat sementara kepala desa. Taktik
ini memastikan kepentingan kabupaten dijalankan desa, tapi pada 2015 sempat
menggagalkan pencairan dana desa (DD). Musababnya, pejabat sementara dilarang
meresmikan rencana pembangunan jangka menengah desa, serta anggaran
pendapatan dan belanja desa. Padahal, kedua dokumen menjadi syarat pencairan
DD.
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada),
gula-gula disalurkan ke desa, tapi ditarik kembali setelah kepala daerah
terpilih. Nurul Syaspri Akhdiyanti (2015) mencatat, alokasi dana desa (ADD)
dari kabupaten dan provinsi melonjak menjelang pilkada, tapi menguncup dua
tahun berikutnya. Penerbitan peraturan bupati sebagai landasan legal
pencairan DD juga sempat dipadati citra perhatian petahana kepada desa.
Intervensi pemerintah dalam politik desa
bermula dari manipulasi kajian Clifford Geertz (1965), kala menemukan elite
beserta rakyat desa masa bodoa (pasif) terhadap politik. Pemerintahan
Soeharto menyucikan ruang kosong massa mengambang itu dari partai politik,
tapi memenuhinya dengan kader politik pemerintah penggerak teritorial desa.
Selama masa reformasi, pendamping ganti menguasai desa melalui seleksi akses
sumber daya pembangunan.
Agar udara politik desa kembali sehat, taktik
pelambatan pilkades, ADD, dan DD harus dicegah melalui batasan waktu
penyusunan turunan peraturan di daerah. Jika pemerintah daerah tidak mengatur
hingga periode tertentu, maka otomatis berlaku aturan pemerintah pusat.
Adapun pencitraan calon kepala desa dapat dilunturkan melalui luberan
informasi dari berbagai media, sehingga warga berkesempatan membanding data
yang satu dengan lainnya.
Deliberasi
pemerintahan
MK mengonstruksi desa jadi kepanjangan tangan
terbawah fungsi-fungsi resmi pemerintahan negara. Pemerintahan desa tidak
lagi terpisahkan dari sistem pemerintahan Indonesia. Satuan pemerintahan desa
berkedudukan sebagai unit terbawah organisasi pemerintahan daerah.
Konstruksi legal itu memusat pada peran
Kemendagri sebagai poros pemerintahan dari pusat sampai daerah serta
koordinator instansi teknis secara horizontal. Sayang, realitasnya sulit
dilaksanakan karena sejak 2014 berdiri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi. Sisa konflik antarkementerian masih menyisakan
paradoks: Kemendagri berwenang atas 19 aspek penataan desa, tapi pendanaannya
sepersepuluh Kemendesa PDTT yang mengelola tiga wewenang saja.
Kerja sama antarkementerian utama penataan
desa terhalang posisi pada kementerian koordinator dan komisi legislatif yang
berlainan. Sebenarnya, tata naskah tiap kementerian menyajikan celah
koordinasi, yaitu seluruh aturan penataan desa disusun kembali sebagai peraturan
bersama Mendagri, Mendesa PDTT, Menkeu, dan Bappenas. Alternatifnya,
menetapkan peraturan presiden bagi 22 urusan penataan desa sebagaimana
tercantum pada PP No 47/2015.
Mengikuti konstruksi MK tentang posisi desa,
harmonisasi aturan harus dikaitkan dengan peran pemerintah provinsi dan
kabupaten. Sesuai UU No 6/2014, peraturan bersama menteri atau peraturan
presiden harus memastikan pemerintah daerah memenuhi hak desa atas status
hukum, pencairan DD dan ADD, pilkades, serta pembangunan pedesaan.
Agar penguatan pemerintahan desa tak abaikan
masyarakat, keputusan yang berkonsekuensi pada aset desa dan kesejahteraan
rakyat harus dimusyawarahkan bersama warga. Norma yang diacu ialah
partisipasi warga dan kesejahteraan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar