Hari
Santri dan Perdamaian Dunia
A Helmy Faishal Zaini ;
Sekretaris Jenderal Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS, 22 Oktober
2016
Setahun silam, Keppres
No 22/2015 tentang Hari Santri telah ditandatangani dan dibacakan langsung
oleh Presiden Joko Widodo. Di hadapan ribuan kalangan yang jauh-jauh datang
dari sejumlah daerah, Presiden membacakan keppres tersebut yang sempat
tarik-ulur dan melalui pelbagai dinamika perdebatan tersebut.
Kita masih ingat,
banyak pihak dengan penuh percaya diri mendasarkan argumen ketidaksetujuannya
pada Hari Santri. Hal itu disebabkan oleh kekhawatiran akan terjadinya
potensi eksklusivisme sektarian yang akan memecah belah bangsa.
Argumen ini, jika kita
cermati dengan saksama, sesungguhnya cacat logika. Sebab, pangkal utamanya ia
gagal memahami bahwa tujuan Hari Santri bukan semata-mata untuk memuliakan
santri. Hari Santri diajukan bukan untuk mengukuhkan serta memosisikan bahwa
santri lebih istimewa di muka republik ini. Ia diajukan untuk mengenang serta
menghargai semangat nasionalisme sipil dari kalangan umat beragama Islam yang
dipompa oleh fatwa Resolusi Jihad.
Pangkal alasan ini
tampaknya lahir dan bersumber dari kekhawatiran dan pemahaman bahwa Hari
Santri berarti upaya atau usaha guna menjadikan santri memiliki nilai lebih
di mata negara. Ia akan memiliki hak-hak istimewa sehingga akan berujung pada
efek eksklusivisme.
Jika kita dengan tidak
gegabah memahami arti filosofis pengajuan Hari Santri, sangat mungkin kita
tidak akan tergesa-gesa menyimpulkan bahwa perubahan usulan Hari Santri yang
mulanya 1 Muharram diubah menjadi 22 Oktober—yang merujuk pada fakta Resolusi
Jihad yang digaungkan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratusy Syaikh
Hasyim Asy’ari—adalah hal yang tidak tepat. Kita juga akan tidak mudah
terjatuh pada lubang pemahaman sempit dan cenderung meringkas kesimpulan
bahwa sejatinya pemilihan 22 Oktober sebagai Hari Santri adalah salah satu
usaha mempersempit sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kesimpulan tersebut
sungguh kesimpulan yang zonder logika dan terlalu mengada-ada. Sebab, jika
kita membaca buku klasik milik seorang jurnalis Mesir bertajuk Allamah Hasyim
Asy’ari Wadhiu Libinati Istiqlali Indonesia—yang sudah diterjemahkan oleh KH
A Mustofa Bisri ke dalam bahasa Indonesia berjudul Maha Guru Muhammad Hasyim
Asy’ari Peletak Kemerdekaan Indonesia—maka kita dengan segera akan bisa
berjumpa dengan jawabannya.
Dalam buku biografi
tersebut kita bisa menemukan bahwa sesungguhnya tonggak sejarah kemerdekaan
Indonesia dipicu oleh adanya fatwa Resolusi Jihad yang dipandegani oleh KH M
Hasyim Asy’ari. Artinya, memang benar bahwa Resolusi Jihad adalah fakta
periodik dari bagian kepingan sejarah kemerdekaan Indonesia. Namun, yang
penting untuk dicatat ialah bahwa periode itu adalah tonggak dari perlawanan
rakyat yang di kemudian hari bisa dijadikan ”argumentasi” dan ”bukti” bahwa
rakyat Indonesia masih ada dan ia berhak merdeka.
Berpaling dari trikotomisasi
Banyak kalangan
berargumen dengan cara mencoba membangkitkan kembali mayat trikotomisasi ala
Greetz (1988) yang aneh dan tidak relevan itu. Argumen tersebut kira-kira
seperti ini: ”jika menggunakan skala yang dibuat Geertz tentang trikotomisasi
itu, maka Hari Santri akan berpotensi mengotakkan umat Islam. Ia akan menjadi
penanda buruk bagi kerukunan umat Islam di Indonesia.”
Argumen di atas
sesungguhnya argumen yang sangat usang dan nyaris tak relevan untuk
ditanggapi. Sebab, argumen seperti ini didasarkan atas konsepsi yang keliru,
yakni trikotomi santri-abangan-priayi-nya Geertz.
Santri, meminjam Nur
Syam (2007), adalah kategori yang didasarkan pada kualifikasi ketaatan
beragama, sementara priayi itu adalah konsepsi yang didasarkan pada kelas
sosial dalam sebuah struktur masyarakat Jawa. Mengukur diri kita menggunakan
kacamata orang lain dan cara pandang orang lain yang nyatanya ”terbata-bata”
mengeja kita adalah pekerjaan yang keliru, kalau tidak mau dikatakan salah.
Lebih dari itu, jika
kita lebih teliti dan tidak gegabah, kata santri—sebagaimana tercatat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)—berarti orang yang mendalami agama Islam.
Jadi jelas santri bukanlah milik golongan serta sekte tertentu. Santri adalah
predikat yang disematkan bagi segenap anak bangsa yang dengan tekun mendalami
agama Islam serta—dalam konteks Hari Santri—adalah mereka yang memiliki rasa
nasionalisme yang tinggi pada bangsa dan negara.
Penting untuk dicatat
bahwa dalam Ikrar Santri Indonesia yang dibacakan oleh segenap santri di
pelosok pesisir utara Pulau Jawa dalam Kirab Resolusi Jihad, yang diselenggarakan
kali kedua oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menyusuri radius
tidak kurang dari 2.000 kilometer—yang berawal dari Banyuwangi dan berujung
di Jakarta—seluruh butir ikrar tersebut memuat rasa nasionalisme dan
kesetiaan kepada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), dan juga UUD 1945.
Semangat menolak diskriminasi dan penjajahan
Di sisi lain, patut
pula dikemukakan bahwa sejarah kemerdekaan adalah sejarah kebangkitan kaum
sipil yang agamis. Yang lebih penting lagi adalah bahwa Resolusi Jihad yang
menandai meletusnya pertempuran dahsyat di Surabaya tidak hanya milik satu
golongan dan ormas.
Sebut saja, misalnya,
nama Sutomo yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo. Ia jelas tak pernah
mengenyam pendidikan pesantren. Ada juga nama KH Sa’dullah Khumaidi asal
Jombang, yang merupakan tokoh Muhammadiyah, juga ikut berperan aktif dalam
melaksanakan fatwa jihad. Ia menjadi komandan batalyon di daerah Buduran,
Sidoarjo, yang membawahkan sekitar 1.500 anggota pasukannya.
Yang lebih penting
untuk dicatat adalah bahwa semangat Resolusi Jihad yang tertuang dalam fatwa
yang dikeluarkan oleh KH M Hasyim Asy’ari bukan semangat peperangan. Fatwa
Resolusi Jihad dilandasi oleh semangat untuk menolak diskriminasi dan juga
penjajahan. Semangat ini pada gilirannya menjadi dasar serta landasan NU
dalam bertindak sampai saat ini.
Apa yang pernah
dikatakan Mitsuo Nakamura (2007) bahwa NU adalah organisasi yang didirikan
dengan semangat perdamaian, kesetaraan, dan juga kemanusiaan adalah benar
adanya. Nahdlatul Ulama selalu mendasarkan tindakan praksisnya pada upaya
perdamaian, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Walhasil, Hari Santri
adalah momentum yang tepat untuk kembali merenungi sekaligus beraksi untuk
mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan sejahtera. Semoga.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar