”Kiamat”
Aceh 2028
Teuku Kemal Fasya ;
Dosen Antropologi FISIP
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
|
KOMPAS, 29 Oktober
2016
Dalam sebuah diskusi kelompok terfokus pada
awal September lalu, seorang pemimpin pesantren dari Kota Subulussalam
menyebutkan berkah otonomi khusus Aceh. Salah satunya adalah hadirnya lembaga
khusus yang mengurus pesantren, seperti Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah.
Sayangnya, lembaga itu tak mampu membangun
kemandirian dan integritas pengelolaan anggaran di tingkat pesantren atau
dayah. Sejak itu berkembang pula perilaku jahat dalam mengelola keuangan.
”Bahkan, kini, kalau kita periksa isi tas pemimpin dayah isinya laptop, bukan
kitab; dan di dalam laptop isinya bukan bahtsul
masail, melainkan proposal,” katanya. Segera teringat peribahasa (hadih maja) Aceh: ”pemimpin menjadi
culas ketika membuang adat, ulama menjadi pandir ketika melempar kitab,
rakyat menjadi jahat ketika tak lagi bermufakat”.
Desentralisasi
asimetris
Pemberlakuan otonomi khusus pasca reformasi
secara logis dimaksudkan sebagai politik desentralisasi tidak simetris karena
kekhasan beberapa daerah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.
Politik desentralisasi asimetris dipicu dua faktor: pemenang dan remuk-redam.
Faktor pemenang terkait daerah yang punya keandalan dan posisi vital dalam
pembangunan nasional. Faktor remuk-redam terkait kondisi daerah pasca konflik
yang sulit mengatasi ketertinggalan pembangunan jika politik asimetrisme
tidak diberikan.
Aceh dan Papua memiliki beban sejarah sebagai
”daerah yang tercabik dan terluka” oleh pusat. Di Aceh ketercabikan malah
bertambah oleh gulungan tsunami 2004. Kebijakan asimetrisme diberikan berupa
kewenangan dan keistimewaan, baik pengelolaan anggaran, politik identitas,
pembentukan kelembagaan khusus, pengakuan sosiokultural, hingga diskresi
dalam pemerintahan.
Latar Perdamaian Helsinki 15 Agustus 2005 tak
bisa dilepaskan ketika melihat desentralisasi asimetris Aceh. Perdamaian itu
memungkinkan Aceh mendapatkan undang-undang otonomi khusus baru, yaitu UU No
11/2006. Sejak diberlakukan, UU itu membuka ruang privilese politik-ekonomi-kultural,
seperti calon independen dalam pilkada, hadirnya Komisi Independen Pemilihan
yang kualifikasinya berbeda dengan KPU daerah lain, politik syariat Islam,
rasio jumlah anggota DPRD 25 persen lebih banyak, partai politik lokal,
kelembagaan Wali Nanggroe, dan lain-lain. Paling tidak, ada 26 keistimewaan
yang dimiliki Aceh melalui UU No 11/2006 (Taqwaddin, 2016).
UU otonomi khusus juga diperkuat dengan
hadirnya peraturan organik. Sejak 2006 hingga 2015, ada sembilan peraturan,
yaitu enam peraturan pemerintah dan tiga peraturan presiden untuk memperkuat
lex specialis Aceh.Sejak 2008, paket anggaran otonomi khusus pun mulai
diluncurkan. Dari ”hanya” Rp 3,5 triliun (2008) membesar menjadi Rp 7,7
triliun (2016). Hingga tahun ini, Aceh menerima Rp 49,2 triliun dana otonomi
khusus.
Namun, dana itu bukanlah salju abadi. Ia
berjangka hingga 20 tahun sejak diberlakukan: 15 tahun pertama anggarannya
setara 2 persen plafon dana alokasi umum nasional. Lima tahun berikutnya
menyusut menjadi 1 persen. Pada 2027 jadi tahun terakhir keran anggaran itu
dikucurkan hingga diperkirakan berjumlah Rp 163 triliun. Bisa dikatakan dana
otonomi khusus ”berkah tersembunyi” dari sejarah konflik dan damai, hancur
dan membangun Aceh.
Yang tidak disadari, bandul waktu berdentang
sedemikian genting. Saat ini dana otonomi khusus Aceh hampir menjelang satu
dekade, tetapi belum teraba wujudnya. Upaya membangun politik kesejahteraan
dan keadilan malah berdialektika negatif jadi mundur, rusak, miskin, dan
tidak adil.
Kegentingan menghadang
Saat ini, kajian-kajian tentang pelaksanaan
otonomi khusus Aceh mulai marak membeberkan fakta. Sembilan tahun
pelaksanaan, pertumbuhan ekonomi tak berjalan wajar.
Tata kelola pemerintahan sedemikian tak
efektif, konservatif, dan miskin inovasi. Aceh malah menjadi daerah termiskin
kedua di Sumatera (16,73 persen) dan angka pengangguran terburuk keempat
nasional (8,13 persen).
Pemubaziran anggaran untuk kegiatan yang tak
perlu, nepotisme di lingkaran pemerintah, dan pembagian kue anggaran, dana
aspirasi menggiurkan untuk anggota DPR Aceh (Rp 885 miliar), dan program cet langet atau narasi mimpi tanpa
perencanaan pembangunan yang jelas menjadi penyebab katastrofi itu. Badan
Pemeriksa Keuangan Perwakilan Aceh sedikitnya menemukan Rp 5,1 triliun
anggaran otonomi khusus Aceh salah kelola, tidak fokus, dan melenceng dari
perencanaan awal (Kompas, 2/10/2013).
Sayangnya, indikasi korupsi anggaran tak
kunjung ditindaklanjuti. Publik Aceh frustrasi. Setelah prestasi menangkap
Abdullah Puteh pada 2004, praktis Komisi Pemberantasan Korupsi tak memiliki
jejak apa pun untuk menghadang laju kejahatan birokrasi dan keuangan di Aceh.
Bahkan, kepercayaan publik Aceh terhadap KPK termasuk rendah. Atas dasar
kritik itu, kini KPK mulai proaktif menetapkan Aceh sebagai salah satu
”provinsi binaan”, terutama terkait pengelolaan dana otonomi khusus (Kompas,
2/8/2016).
Di sisi lain, kerusakan ekologis, sumber daya
alam, moral, dan kultural menghebat. Sketsa pada awal tulisan menunjukkan
”jahatnya” anggaran otonomi khusus ikut menggerogoti kelembagaan kultural,
seperti pesantren dan lembaga pemerintah keagamaan. Pembangunan fisik,
seperti kantor, sekolah, jalan, dan meunasah, memang membaik. Namun,
pembangunan mental, seperti kualitas pendidikan dan kebudayaanserta perbaikan
manajemen, tak terjadi. Banyak proyek infrastruktur mewah dari otonomi khusus
terbengkalai jadi ”rumah hantu”, ”kandang ternak”, atau semak belukar.
Upaya Pemerintah Aceh memperbaiki tanggul
pembangunan otonomi khusus belum berdampak. Pola pengelolaan anggaran telah
berubah tiga kali. Dari 100 persen dikelola provinsi, lalu pembagian 60
persen provinsi dan 40 persen kabupaten/ kota, tetapi ”ekor” tetap dipegang
provinsi. Terakhir, pembagian 40 persen kabupaten/kota dan 60 persen provinsi
dengan pola transfer langsung belum menyejahterakan dan memacu pertumbuhan
ekonomi, termasuk penyehatan fiskal.
Satu hal yang paling sering diulas, ”kaum
pemberontak” tak menunjukkan bakatnya dalam pemerintahan. Mereka masih kaum
pinggiran yang gagap berada di sentral kekuasaan. Lebih nyaring sebagai
oposisi yang nyinyir dibandingkan dengan pelaku pembangunan yang bekerja
nyata. Sebabnya: rendah visi pembangunan, tiada kaum intelektual yang
mengawal proyek otonomi khusus, hingga turunan birokrasi yang majal dan
bobrok.
Tentu Aceh tak harus menunggu 2028 seperti
novel George Orwell, 1984. Tahun 2028 adalah tahun ketika Aceh tanpa dana
otonomi khusus dan disambut bak impian futuristik buram sekaligus mendebarkan
karena ”kiamat” berkelebat datang. Berkah otonomi khusus gagal diemban.
Pelan-pelan menjadi kutukan, frustrasi, dan konflik baru: kian horor dan
menggidik bulu kuduk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar