Bahasa
Menunjukkan Apa?
Yudhistira ANM Massardi ;
Sastrawan
|
KOMPAS, 28 Oktober
2016
Judul tulisan ini diambil dari peribahasa yang
lengkapnya berbunyi, ”Bahasa menunjukkan bangsa”. Ungkapan filosofis yang
mencerminkan nilai luhur warisan nenek moyang kita itu oleh sebuah kamus
peribahasa dimaknai sebagai: baik-buruk kelakuan, menunjukkan tinggi-rendah
asal/keturunan.
Pengertian itu merujuk pada pentingnya menjaga
akhlak mulia dalam hidup manusia. Itu suatu kode etik yang dirumuskan sebuah
kearifan lokal.
Setiap bangsa yang berbudaya memiliki
peribahasa masing-masing, yang menunjukkan tinggi-rendahnya kualitas akhlak
yang hendak dijaga bersama sebagai nilai ideal dalam masyarakatnya.
Keringkasan dan keindahan kalimatnya menunjukkan ketinggian kadar
seni/intelektualitasnya.
Jati diri
Ungkapan ”bahasa menunjukkan bangsa” bisa
dimaknai secara lebih luas. Selain merujuk pada identitas primordial, itu
juga menegaskan ihwal mahapentingnya bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus
alat bukti yang unik dan otentik bagi sebuah jati diri. Di dalam makna itu
terkandung pula isyarat dan pemahaman bahwa apabila suatu bangsa berteguh
hati menjaga kualitas bahasanya, niscaya ia akan menjadi bangsa yang bisa
berdiri tegar di antara bangsa lain di dunia. Sejarah membuktikan bahwa
bangsa-bangsa terdahulu yang mengalami kepunahan secara etnis juga mengalami
kepunahan bahasa. Begitu pula sebaliknya.
Harus juga dikatakan bahwa bahasa-bahasa yang
mampu bertahan dalam arus perubahan zaman adalah bahasa-bahasa yang juga
memiliki keunikan keaksaraan dan, karena itu, kesejarahan. Di zaman modern
ini—di luar bahasa dan aksara Arab yang eksistensinya diabadikan karena
dipilih Tuhan bagi agama Islam— kita menyaksikan bahwa bangsa-bangsa yang
berbahasa dan beraksara serumpun kanji (Tiongkok, Jepang, Korea), dan di
belahan bumi yang lain, seperti India, Rusia, dan Thailand, mereka adalah
bangsa-bangsa dan bahasa yang digdaya dan berbudaya.
Sumpah Pemuda
Bagaimana dengan bangsa dan bahasa Indonesia?
Muhammad Yamin, tatkala menuliskan rumusan ikrar Sumpah Pemuda yang dibacakan
pada 28 Oktober 1928 ternyata sepenuh sadar memberi tempat khusus pada
bahasa, bahkan kedudukannya lebih ditinggikan ketimbang dua unsur lain.
Perhatikan:
Sumpah Pemuda
Pertama: Kami Putra dan
Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah yang Satu, Tanah Indonesia. Kedua:
Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa yang Satu, Bangsa
Indonesia. Ketiga: Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa
Persatuan, Bahasa Indonesia.
Pada teks di atas kita melihat kata yang
dipilih untuk meneguhkan identitas unsur negara dan bangsa pada dua kalimat
pertama dan kedua adalah mengaku. Namun, khusus untuk ikrar kalimat ketiga,
tentang bahasa Indonesia, dipilih kata yang berbeda, yakni menjunjung, bukan
repetisi mengaku.
Mengapa? Pada hemat saya, dengan memilih kata
menjunjung, para pemuda kita di masa itu sudah ingin memberi isyarat dan
menekankan pentingnya pemaknaan yang lebih dari sekadar mengakui, melainkan
sekaligus menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa
persatuan bangsa.Mengapa? Karena suku bangsa dan bahasa di Nusantara
jumlahnya ratusan. Jika bahasa Indonesia tak dijunjung tinggi harkatnya oleh
seluruh bangsa, eksistensi Indonesia sebagai negara dan bangsa yang mau
bersatu akan runtuh!
Kini, 88 tahun sesudah Sumpah Pemuda
diikrarkan, apa yang terjadi pada, khususnya, bahasa Indonesia? Berapa
gelintir orangkah, berapa banyak lembagakah, yang peduli pada pemeliharaan
dan peningkatan kualitas bahasa Indonesia di negeri ini? Berapakah nilai
rata-rata yang dicapai siswa SD, SMP, SMA untuk mata pelajaran Bahasa
Indonesia dalam setiap ujian nasional, dari tahun ke tahun? Berapa banyak
orang Indonesia yang suka membaca dan menulis buku? Berapa banyak jumlah buku
terjual yang digolongkan sebagai best seller di sini? Berapa banyak orang
yang mampu menulis dan bertutur dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar?
Jawaban semua pertanyaan itu adalah satu kata: menyedihkan!
Harus diakui, kualitas berbahasa Indonesia
bangsa kita makin hari makin merosot, terlebih lagi jika menyaksikan bahasa
yang diungggah di media sosial. Tak hanya kualitas bahasanya, lebih dari itu,
akhlak dan adab dalam berkomunikasi pun semakin menurun kadarnya. Padahal,
sifat bahasa yang sistemik dan berstruktur adalah cerminan karakter dan cara
kerja sistem otak. Para ahli neurosains menunjukkan keterlibatan sistem kerja
rumit multiarea otak dalam kebahasaan manusia. Pemrosesan bahasa melibatkan
aktivitas bagian otak yang berhubungan dengan pendengaran, penglihatan, gerak
lidah dan bibir, pengendalian organ-organ suara, sampai indera peraba.
Pemrosesan bahasa juga melibatkan kerja bagian
otak yang berhubungan dengan penyimpanan (memori), kondisi emosi, cita rasa
keindahan, referensi dan persepsi visual-ruang dll.Hubungan intim bahasa
dengan proses perolehan pengetahuan, dinamika sosial, pertumbuhan budaya, dan
bangunan peradaban adalah isyarat menempatkan bahasa di posisi yangjauh lebih
mulia dari target-target akademis, yang dalam praktik pendidikan di
Indonesia, semakin tereduksi menjadi keterampilan mengerjakan soal-soal
ujian.
Paparan bahasa adalah bagian tak terpisahkan
dari proses instalasi atau pembangunan jaringan antarsel otak. Paparan bahasa
akan menentukan postur kapasitas otak dan, karena itu, menentukan kualitas
kemampuan belajar anak di kemudian hari. Itu artinya, periode ”pendidikan
rumah” sesungguhnya lebih berkepentingan terhadap investasi bahasa ketimbang
periode pendidikan formal prasekolah maupun sekolah. Jendela periode brain-wiring
terbuka sampai anak usia sekitar tujuh tahun. Itu sebabnya 0-7 tahun: usia
emas.
Bisa dikatakan, kecerdasan tumbuh dari dan,
seiring dengan, kemampuan berbahasa anak. Bagaimanapun, bekal utama dan
mula-mula untuk belajar adalah bahasa, dari kemampuan berbahasa reseptif
(mendengarkan dan membaca) hingga kemampuan berbahasa ekspresif (berbicara
dan menulis). Tanpa itu, tidak akan terjadi pembelajaran dan, karena itu, tak
ada pembangunan kecerdasan. Tak ada pula pembangunan karakter dan akhlak
mulia.
Perangkat bawaan
Menurut Noam Chomsky, seorang manusia memiliki
perangkat bawaan sejak lahir yang disebut language acquisition device (LAD)
atau perangkat perolehan bahasa di suatu tempat di dalam otak. Perangkat itu
memfasilitasi terserapnya bahasa oleh anak. Saat lahir anak memiliki
kemampuan membedakan setiap suara dalam sistem bahasa mana pun. Pada akhir
tahun pertama, suara-suara yang tak digunakan cenderung hilang dari
percaturan bahasa sehingga celotehan bayi pelan-pelan mengarah ke bentuk
bunyi bahasa tertentu, entah itu Rusia, Inggris, atau bahasa saja yang
dituturkan orangtuanya.
Seorang anak yang berkembang normal cenderung
mencapai kelancaran bahasa pada usia sekitar tiga tahun. Namun, anak-anak
yang hidup dalam lingkungan yang dicirikan trauma, penelantaran, stres, atau
salah perlakuan, bisa mengalami perubahan fisik abnormal dalam struktur otak
yang mengganggu akuisisi bahasa secara normal. Pada anak-anak telantar,
area-area vital otak tampak seperti lubang hitam gelap, tak berkembang, dan
tidak aktif.
Ringkas kata, bahasa adalah kunci pembuka bagi
aneka pintu ilmu dan akhlak dalam kehidupan manusia. Jika ia diabaikan dan
mengalami abnormalitas, tentu akan tertutuplah kesempatan bagi peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Apalagi karena dunia persekolahan kita tahun
demi tahun hanya menghasilkan jutaan anak putus SD dan puluhan juta
pengangguran lulusan SMA/ SMK serta perguruan tinggi.
Tanpa keterampilan mendasar, yakni berbahasa
Indonesia yang baik dan benar, tak ada jalan bagi perbaikan. Kuncinya adalah
para orangtua dan guru. Maka, jika, pertama-tama, para orangtua dan guru
sekaligus merangkap sebagai ”guru bahasa Indonesia”, tentu segalanya akan
lebih mudah bagi bangsa kita untuk melangkah. Bahasa menunjukkan masa depan
bangsa! Karena itu, kemampuan berbahasa harus dibangun sejak anak usia dini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar