Pemimpin-pemimpin
yang Relasional
Limas Sutanto ;
Psikiater Konsultan
Psikoterapi; Tinggal di Malang
|
KOMPAS, 27 Oktober
2016
Menjelang pemilihan para pemimpin di segenap
wilayah Tanah Air, tebersit perasaan perlunya kita memperhatikan keadaan-keadaan
(kualitas-kualitas) yang terangkum dalam relasionalitas.
Kata relasional adalah adjektiva yang bermula
dari kata dasar relasi; ia bermaknakan 'terhubung, tersambung, terjalin'.
Karena setiap pemimpin itu berada dalam medan hidup orang-orang atau
pihak-pihak yang dipimpin, maka frase pemimpin yang relasional berartikan
'pengarah yang terhubung, tersambung, terjalin erat dengan khalayak luas yang
dipimpinnya'.
Menerima perbedaan
Begitu pentingkah relasionalitas seorang
pemimpin? Psikoanalis dan feminis Julia Kristeva menggambarkan apa yang ada
di balik setiap pernyataan atau pertanyaan yang diajukan seseorang kepada
sesamanya. Kristeva menghayati betapa di dalam setiap pernyataan atau
pertanyaan bersemayam penderitaan; oleh karena itu selayaknyalah seseorang
mau menjadikan dirinya terbuka terhadap penderitaan itu, mau menerimanya,
dan-jika bisa-membuka kedua telinga untuk mengerti makna yang berbeda dari
anggapan yang ada dalam dirinya sendiri.
Kristeva menggambarkan relasionalitas
seseorang sebagai keterhubungan dengan bagian penting dan tak menyenangkan
dari manusia;-penderitaan si manusia. Ketersambungan tersebut hanya terjadi
tatkala seseorang sungguh mendengarkan orang lain serta bersedia menerima dan
memafhumi makna yang lain.
Maka, relasionalitas sang pemimpin pun niscaya
ditandai dengan listening attitude dalam latar kerendahhatian dan keterbukaan
terhadap yang lain, yang berbeda, yang bukan seperti dirinya sendiri.
Pemimpin yang relasional memiliki pandangan dan keyakinannya sendiri, tetapi
keduanya selalu siap diperkaya dengan yang lain, bahkan diubah oleh yang
berbeda.
Setiap manusia, seperti diyakini psikoanalis
Frank Summers, adalah "subyek yang mengalami dengan caranya sendiri yang
tiada duanya". Maka, perbedaan antarmanusia itu tak terelakkan, dan pada
dasarnya setiap orang sulit menerima perbedaan dengan orang yang lain.
Namun, optimisme tetap dapat dipelihara jika
kita menyadari bahwa setiap manusia terlahir untuk menjadi terhubung dengan
orang-orang lain. Filsuf dan psikoanalis Hans Loewald bahkan melihat jiwa
atau pribadi (psyche) dalam keadaannya yang semula merupakan kesatuan padat
afek (perasaan)-primal density-yang tidak mengenal keterputusan (lawan dari
keterhubungan) dan perbedaan.
Kendati kemudian realitas psikososial
meniscayakan psike menjalani kehidupan dalam perbedaan-perbedaan yang keras,
kedambaan manusia untuk kembali ke dalam keterhubungan dengan sesamanya tidak
pernah hilang. Keinginan untuk tersambung itu begitu kuat dan mendasar, terus
membayang-bayangi manusia di sepanjang hidupnya.
Hidup seorang manusia dapat digambarkan
sebagai medan ketegangan antara perbedaan, ketaksukaan pada perbedaan, di
satu sisi, dan kedambaan untuk terhubung, menyatu, dalam ketiadaan perbedaan.
Namun, di sisi lain, betapa besarnya pun perbedaan dan penolakan,
sesungguhnya hasrat asali manusia untuk terjalin dengan sesamanya,
sebagaimana keadaannya yang semula, yang oleh Loewald dilukiskan sebagai
densitas asali, adalah senantiasa lebih besar dan kuat. Bahkan, psikoanalis
John Bowlby mengemukakan pendapat yang berbasis evidensi bahwa menjadi
terhubung dengan orang lain adalah naluriah.
Ketika hakikat manusia sebagai makhluk
relasional tak lagi jadi perdebatan, masalah yang mengemuka adalah: bagaimana
orang perlu meniti perjuangan mengatasi perbedaan-perbedaan demi
mengejawantahkan relasionalitas intim yang merupakan keadaan naluriahnya?
Psikoanalis Stephen A Mitchell melihat jalan
perjuangan itu sebagai evolusi relasionalitas, dari keterhubungan yang
nirreflektif menuju keterjalinan antarmanusia dalam keberanian mengungkap
rasa subyektif yang unik pada dirinya. Ia berlanjut ke relasi yang
mengakui keberadaan diri dan liyan,
serta menjadi nyaman dengan keadaan berbeda itu. Sampai akhirnya mengejawantahkan
keterhubungan intersubyektif yang menciptakan pengalaman yang sungguh baru
yang dimiliki bersama- sama.
Inilah "pengalaman ketiga", yang
sebelumnya tiada karena semula yang hadir adalah pengalaman pertama (dalam
diri) dan pengalaman kedua (dalam liyan) saja. Ketersambungan intersubyektif
menghidupi dan hidup dalam "pengalaman ketiga" itu.
Membuka mata-telinga
Masyarakat dan bangsa kita acap kali disebut
sebagai yang majemuk. Namun, yang plural itu bukan hanya Indonesia. Setiap
masyarakat-bangsa selalu menghadapi medan ketegangan antara perbedaan,
penolakan terhadap perbedaan, dan klaim kebenaran sepihak di kutub yang satu,
dan kedambaan menyatu, hasrat untuk terhubung yang kuat, bahkan naluriah, di
kutub yang lain.
Perjalanan melampaui medan ketegangan itu
memang tak gampang. Pada titik ini mencuat pengertian tentang peran teramat
penting pemimpin (lebih realistis, pemimpin-pemimpin) yang relasional.
Bagaimanapun, terciptanya pemimpin dalam komunitas manusia merupakan salah
satu buah hasrat dan keniscayaan manusia untuk menjadi terhubung dengan
sesamanya.
Pada perspektif relasionalitas manusia,
pemimpin adalah interface atau tempat berpadunya hasrat-hasrat dan
keniscayaan- keniscayaan untuk terhubung. Itulah sebabnya setiap pemimpin
perlu memiliki kualitas sebagai pemimpin yang relasional.
Kembali ke inspirasi Kristeva, sang pemimpin
itu menyadari betapa subjektivitasnya selalu membuahkan pendirian dan
pendapat, yang sesungguhnya hasil dari pembelokan atau pemelintiran terhadap
kebenaran dan realitas. Karena itu, dia mau membuka kedua telinganya buat
menerima dan mendengarkan secara saksama pertanyaan dan pernyataan
orang-orang lain, dalam kesiapan untuk mengalami makna yang lain.
Berbahagialah warga-bangsa yang dipimpin
pemimpin-pemimpin yang relasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar