Pendidikan dan Pekerjaan
Dodi Mantra ;
Ketua Umum Aliansi Pemuda
Pekerja Indonesia (APPI);
Dosen Hubungan Internasional
Universitas Paramadina
|
KOMPAS, 20 Oktober
2016
Semakin tinggi
pendidikan, semakin baik kondisi pekerjaan. Peluang karier pun kian terbuka
luas dengan tingkat pendapatan yang semakin tinggi. Muaranya, kehidupan
masyarakat pun akan semakin sejahtera.
Demikian bingkai
pemahaman linier yang mengakar dan terus diyakini secara luas di negeri ini.
Pendidikan diyakini membawa pengaruh langsung terhadap pekerjaan dan tentunya
peningkatan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat. Tak heran, ketika
sebuah permasalahan lama yang tak kunjung usai tersingkap kembali, narasi
kekhawatiran dan keterancaman segera membungkusnya.
Tepat di halaman depan
harian Kompas (4/10), diungkap sebuah permasalahan dalam wujud rendahnya
tingkat pendidikan dari sebagian besar tenaga kerja di Indonesia. Betapa
tidak, 42,9 persen dari masyarakat di negeri ini kenyataannya hanya mampu
mengecap jenjang pendidikan tertinggi di tingkat sekolah dasar (SD). Sebuah
permasalahan yang semakin suram, seiring fakta tingginya jumlah siswa SD yang
tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat sekolah menengah pertama (SMP), serta
yang putus di bangku SD, yakni sebanyak 1.014.079 orang pada tahun 2015/2016.
Dengan segera, bingkai
pemahaman linier yang sama mengemas arah dari fakta permasalahan ini. Dampak
dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat ini, diarahkan langsung pada
ancaman permasalahan buruknya mutu angkatan kerja di masa depan. Betapa makna
dan arti penting pendidikan di sini bahwa ia tidaklah dapat dipisahkan dari
pekerjaan. Semakin jelas pula bingkai pemahaman yang selama ini melandasi
arah pembangunan pendidikan di Indonesia, di mana pekerjaan selalu menjadi
tujuan dan muaranya yang paling utama.
Pendidikan selalu
diletakkan sebagai variabel bebas yang dinamikanya berpengaruh langsung
terhadap pekerjaan sebagai variabel yang terikat. Bahkan, tidak jarang
pengaruh pendidikan ditarik lagi lebih jauh, hingga menjangkau perubahan pada
struktur perekonomian masyarakat.
Benarkah demikian
kenyataannya? Benarkah pendidikan yang menentukan kondisi dari pekerjaan dan
pada gilirannya membentuk struktur perekonomian masyarakat? Ataukah
sebaliknya? Di mana justru struktur perekonomian—dengan corak pekerjaan
dominan yang berlangsung di dalamnya—yang menentukan dan mendikte arah dari
pembangunan pendidikan di Indonesia selama ini?
Keterampilan rendah: upah murah
Adalah fakta bahwa
struktur perekonomian Indonesia hingga hari ini masih didominasi oleh
aktivitas produksi dengan tingkat keterampilan rendah dan upah murah sebagai
penopang utamanya. Sebuah fakta yang tecermin dengan sangat jelas dari
kontribusi besar sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia
selama ini. Sebuah sektor yang didominasi oleh klasifikasi industri padat
kerja tidak terampil dan yang berbasis sumber daya alam.
Diperkuat fakta
besarnya persentase masyarakat yang bekerja di sektor informal, tak bisa
dimungkiri bahwa sejatinya jenis pekerjaan dengan tingkat keterampilan rendah
dan upah murah adalah yang secara luas menggerakkan perekonomian negeri ini.
Kelompok tenaga kerja tidak terampil dengan tingkat upah murah adalah yang
paling dibutuhkan dalam kondisi struktur perekonomian yang seperti ini. Jenis
pekerjaan yang tidaklah mensyaratkan tingkat pendidikan yang tinggi bagi
masyarakat untuk mendapatkannya.
Alhasil, permasalahan
rendahnya tingkat pendidikan yang terjadi di masyarakat tersebut lebih
sebagai konsekuensi dari corak aktivitas ekonomi berbasis keterampilan rendah
dan upah murah, yang hingga kini terus dominan berlangsung di Indonesia.
Sebagai manifestasinya, tidak sedikit dari masyarakat yang memutuskan tidak
melanjutkan pendidikan pada tingkat yang lebih tinggi, lebih dikarenakan
ketiadaan peluang peningkatan jenis pekerjaan bagi mereka. Tidak sedikit pula
dari masyarakat yang memiliki pola pikir, ”untuk apa melanjutkan sekolah
hingga ke jenjang yang lebih tinggi jika pada akhirnya hanya menjadi buruh
kasar”.
Pekerja terampil dan upah murah
Perluasan akses
terhadap pendidikan dengan demikian tidak secara langsung bermuara pada
peningkatan partisipasi pendidikan masyarakat. Bahkan paradoks rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat ini terjadi di sebuah negara dengan jumlah
perguruan tinggi yang sangat banyak. Hingga Oktober 2016, tercatat jumlah
perguruan tinggi di Indonesia sebanyak 4.420 perguruan tinggi. Jumlah yang
bahkan lebih banyak dibandingkan dengan yang tersebar di semua negara Eropa.
Terjawab sudah,
bukanlah dinamika pendidikan yang mendorong perbaikan kondisi pekerjaan dan
struktur perekonomian. Justru corak dominan dari struktur perekonomian negeri
inilah yang membentuk dan menentukan arah serta dinamika di sektor pendidikan
di negeri ini.
Situasi serupa tampak
pula berlangsung pada nasib pekerja terampil dengan tingkat pendidikan yang
relatif tinggi. Corak dominan struktur perekonomian yang sama adalah yang
menjadi penggeraknya.
Posisi perekonomian
Indonesia dalam jejaring produksi global—yang didominasi oleh aktivitas
pengalihan produksi (alih daya) dari perusahaan-perusahaan asing, maraknya
perusahaan-perusahaan sub- kontraktror yang memasok kebutuhan rantai produksi
global—membawa pengaruh besar terhadap kondisi dan arah perkembangan
pendidikan di masyarakat. Kerja-kerja teknis dalam produksi komponen,
perakitan, dan barang jadi dengan nilai tambah rendah adalah yang dominan
menyusun aktivitas ekonomi sebuah negara pada posisi ini.
Kondisi dan arah
perkembangan pendidikan di Indonesia pun tampak jelas digerakkan selaras
dengan kebutuhan corak kerja tersebut. Perluasan dan penekanan pada program
pendidikan teknis, mulai dari sekolah kejuruan hingga perguruan tinggi,
adalah wujud nyatanya. Kurikulum dirancang sedemikian rupa untuk dapat
menghasilkan lulusan yang siap pakai, dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh
pasar kerja.
Sekalipun tenaga kerja
dalam kelompok ini tergolong terampil dan berpendidikan relatif tinggi, tak
ada jaminan bahwa tingkat upah mereka juga tinggi. Hal ini tidak terlepas
dari posisi perekonomian Indonesia dalam jejaring produksi global, yang
sebagian besar aktivitasnya bertumpu pada pengalihan produksi dari perusahaan
asing, di mana tingkat upah murah adalah daya tarik utama pengalihan
aktivitas produksi tersebut ke Indonesia.
Buruh immaterial
Adalah kegaliban di
negeri ini, di mana standar upah pekerja terampil—dengan latar belakang
pendidikan yang relatif tinggi—masih jauh di bawah standar internasional
pekerja dengan kompetensi dan jenis pekerjaan yang sama.
Sampai titik ini, semakin
terang bagaimana kondisi dan perkembangan pendidikan di Indonesia sejatinya
diabdikan dan digerakkan oleh kebutuhan dan corak dominan dari struktur
perekonomian yang selama ini berlangsung. Tecermin lebih terang lagi melalui
dinamika pendidikan yang tampak bergerak mengikuti transformasi yang terjadi
di dalam struktur perekonomian.
Dapat disaksikan
selama satu dekade terakhir, sebuah pergeseran mendasar terjadi dalam corak
aktivitas produksi di Indonesia. Transformasi materialitas alat produksi,
dalam wujud perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah mendorong
perubahan corak aktivitas produksi dan tentunya corak kerja yang berlangsung
di masyarakat. Sebagai manifestasinya, kandungan material tak lagi menjadi
penyusun utama dari nilai suatu produk. Sebaliknya, lebih banyak ditentukan
oleh kandungan dalam bentuk yang nonmaterial, dalam rupa-rupa wujudnya mulai
dari informasi, komunikasi, pengetahuan, hingga afeksi.
Generasi pekerja baru
pun lahir, terutama di kota-kota besar di Indonesia. Lapisan pekerja yang
bergeliat tidak dalam memproduksi barang material, tetapi produk dan
kandungan yang bersifat immaterial. Mereka adalah buruh immaterial. Buruh
yang tidak hanya memiliki keterampilan dan tingkat pendidikan yang relatif
tinggi, juga kompetensi yang spesifik dan daya kreativitas yang tinggi.
Berbasis pengerahan
pengetahuan, kreativitas, dedikasi, hingga emosi, mereka bekerja dengan penuh
gairah untuk menghasilkan produk immaterial atau konten nonmateri dari suatu
produk. Tersebar di berbagai industri, terutama industri kreatif dan media,
keberadaan buruh immaterial kian hari kian meluas di masyarakat. Kendati
demikian, nasib mereka kenyataannya tidaklah lebih baik daripada kelompok
pekerja industri (material), baik yang terampil maupun tidak terampil.
Bahkan, lebih parah
lagi, selain tingkat upah yang tetap murah, corak kerja dalam kategori ini
ditandai oleh aktivitas produksi berbasis kegemaran dan hasrat. Alhasil,
ruang kerja pun melebur dengan ruang kehidupan. Waktu kerja merangsek ke
dalam tiap detik waktu hidup dan relasi sosial. Sayangnya, sedari kerja
dilandasi oleh mobilisasi kegemaran, buruh dalam kategori ini tetap saja
menikmati pekerjaan mereka. Bahkan mengabdikan kehidupan untuk pekerjaan
mereka sekalipun dibayar dengan upah yang rendah dan dengan jam kerja yang
sangat padat menyusup ke dalam kehidupan.
Lagi-lagi,
kecenderungan corak produksi ini membawa perubahan pada dinamika perkembangan
pendidikan di Indonesia. Pertumbuhan pesat jumlah program studi ilmu
komunikasi dengan berbagai turunan spesialisasinya, seiring dengan minat
masyarakat yang semakin besar atas program ini, adalah buktinya yang sangat
nyata. Demikianlah, kondisi dan arah perkembangan pendidikan di Indonesia
yang diperbudak dan digerakkan untuk pemenuhan pasokan tenaga kerja yang
selaras dengan kebutuhan dari struktur industri dalam coraknya yang kental
dan lekat dengan permasalahan.
Bingkai sempit neksus
pendidikan dan pekerjaan harus segera ditinggalkan. Pendidikan, sejatinya,
memiliki kekuatan dan cita-cita yang lebih besar ketimbang hanya diabdikan
sebagai wadah produksi dan reproduksi tenaga kerja semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar