Daya
Tahan Sekolah Swasta
Sidharta Susila ;
Pendidik di Muntilan, Magelang
|
KOMPAS, 26 Oktober
2016
Terbayangkankah apabila akhirnya kita harus
berjerih payah hebat apabila ingin mencintai dan mengabdi negeri ini? Itulah
yang terjadi pada dinamika mengelola sekolah swasta.
Sekolah-sekolah swasta hadir dari idealisme
pengabdian dan pemuliaan hidup. Sedikit saja yang lahir untuk kepentingan
bisnis. Sesungguhnya sekolah swasta adalah tanda cinta dan bakti warga negara
bagi negerinya. Lewat sekolah-sekolah swasta, warga negara membaktikan diri
dan hidupnya bagi saudara sebangsa dan setanah air, khususnya mereka yang tak
beruntung, yang terlupakan, dan terpinggirkan.
Dibakar idealisme
Sejatinya, pada sekolah swasta berhimpun abdi
negara. Pengelola sekolah swasta adalah abdi negara yang hidupnya tak
sepenuhnya ditopang (digaji) negara dari kumpulan pajak rakyat. Tak
mengherankan apabila di masa-masa lampau dari sekolah- sekolah swasta
lahirlah tokoh-tokoh berjiwa besar. Karakter abdi menitis dari guru dan
pengelolanya.
Sesungguhnya sumber daya hidup sejati sekolah
swasta adalah idealisme. Idealisme untuk hadir, terlibat, dan memberdayakan
sesamanya yang berkekurangan, lemah, miskin, beruntung, atau terpinggirkan.
Daya hidup sekolah swasta lahir dari keterkoyakan hati pada penderitaan dan
kebutuhan sesama. Itu wujud tanggung jawab moral hidup berbangsa dan
bernegara.
Apabila di masa lampau begitu banyak sekolah
swasta dikelola kelompok-kelompok agama, kehadirannya bukan untuk menyebarkan
agama. Sekolah hadir sebagai perwujudan iman. Itu panggilan jiwa. Sekolah
menjadi ruang dan waktu memuji Sang Pencipta sekaligus terlibat dalam
menyempurnakan proses penciptaan.
Maka, pada sekolah swasta berbasis agama
terjadi pilinan dinamika pendidikan nan elok, yaitu pilinan pencerdasan akal
dan budi serta penajaman spiritual. Jangan heran apabila dari sekolah-sekolah
swasta di masa lampau lahir tokoh-tokoh tajam akal budi, humanis, sekaligus
memiliki penghayatan spiritual yang mendalam.
Di masa lampau, sekolah-sekolah swasta
memiliki ruang ekspresi yang luas untuk sungguh- sungguh berkonsentrasi
mendidik. Pengelola dan pendidik sekolah swasta berdedikasi tinggi dan penuh
pengabdian. Keterawatan jiwa menjadi fokusnya. Pada pendidik yang terawat
jiwanya itu lahirlah guru, pribadi yang digugu dan ditiru, yang menjadi
panutan dan model hidup berkarakter.
Maka, pendidikan pada sekolah swasta di masa
itu bukan sekadar menambah pengetahuan dan keterampilan. Keberhasilan
pendidikan pada masa itu terjadi karena murid berjumpa sosok- sosok yang
merawat jiwanya. Di sekolah swasta terjadi perjumpaan jiwa guru dan murid.
Resonansi jiwa guru pada muridnya adalah bagian proses pembentukan karakter
yang istimewa bagi muridnya.
Dari idealisme ke
pragmatisme
Situasi saat ini jauh berbeda. Bukan berarti
kini tak ada guru- guru sekolah swasta yang tajam budi. Namun, sungguh tak
mudah lagi menyelenggarakan pendidikan sekolah swasta dengan terus merawat
jiwa dalam semangat pengabdian dan pembaktian diri.
Sejak negara sadar akan tanggung jawabnya
menyelenggarakan pendidikan gratis, dinamika penyelenggaraan sekolah swasta
mulai meriang. Demam kian meninggi ketika negara terus menaikkan gaji guru
PNS.
Penyelenggaraan sekolah gratis bagi siswa dan
lompatan besaran gaji guru PNS di sekolah- sekolah negeri bak dua pukulan
telak bagi sekolah swasta. Murid- murid, baik kaya maupun miskin, praktis
memilih sekolah negeri. Apalagi beberapa waktu lalu pemerintah terus
membangun sekolah negeri baru dan menambah lokal sekolah-sekolah negeri yang
sudah ada. Tak peduli di sekitar sekolah itu sudah ada sekolah-sekolah
swasta. Saat yang sama, tak sedikit guru dan calon guru memburu menjadi guru
PNS di sekolah negeri.
Sekolah swasta praktis hanya mendapat
anak-anak sisa.Acapkali guru-gurunya seadanya. Ironis! Anak-anak sisa itu
kebanyakan dari keluarga miskin. Karena kemiskinannya, orangtua mereka tak
mampu menyelenggarakan pendidikan yang baik. Mereka kaum kalah di negerinya
sendiri. Sudah begitu mereka tak mendapat pendampingan dari guru- guru terbaik
dan idealis ketika tak tertampung di sekolah negeri yang gratis. Guru-guru
bagus banyak berteduh di sekolah-sekolah yang mampu menggaji tinggi.
Pendidikan kaum miskin
Menyikapi masifnya gerakan negara
memberdayakan sekolah- sekolah negeri dengan meningkatkan sarana prasarana
dan gaji guru negeri, sekolah-sekolah swasta pun berbenah. Namun, pada
akhirnya hanya sekolah-sekolah swasta yang bermodal besarlah yang bertahan.
Kebanyakan sekolah swasta semacam ini mendidik (sebagian besar) anak- anak
dari keluarga berada. Ini pilihan logis dan pragmatis. Dengan pedih,
idealisme menampung dan mencerdaskan anak- anak miskin sering ditinggalkan
demi keberlangsungan hidupnya.
Kita bertanya: bagaimanakah nasib pendidikan
anak-anak miskin, terpinggirkan, dan terlupakan, di negeri ini yang
sebelumnya banyak ditampung di sekolah swasta? Selama ini pemerintah hanya
memberi kebijakan biaya sekolah gratis tanpa mempertimbangkan peluang kaum
miskin bersekolah di sekolah negeri yang diisi guru-guru berkualitas. Kebijakan
sekolah gratis berpotensi mencipta arena persaingan tak berimbang kaum muda
dari keluarga berada dan keluarga miskin.
Ketika daya tahan sekolah swasta merapuh,
sesungguhnya peluang generasi muda miskin beroleh pendidikan yang baik
merapuh. Mungkinkah juga hasrat mengentaskan rakyat dari kemiskinan lewat
pendidikan gratis pun justru sedang merapuh?
Kebijakan pendidikan gratis itu sangat baik,
tetapi harus disempurnakan demi nasib dan keadilan bagi kaum miskin. Pun
jangan sampai mematikan sekolah swasta yang baik, yang tekun merawat jiwa
pengabdian dan pembaktian bagi negeri ini. Semoga kaum miskin di negeri ini
tak kita pandang sebagai penyulit kehidupan berbangsa dan bernegara. ●
|
Memang sekolah swasta ini sudah menjadi suatu problematika bagi mereka yang berada di menengah ke bawah tapi ingin mendapatkan manfaat pendidikan yang layak dan merata, karena keadilan di sekolah negeri belum tercapai.
BalasHapusHal ini semua juga dpacu pada langkah untuk belajar sains