Pembangunan
Gizi
Nila F Moeloek ;
Menteri Kesehatan RI
|
KOMPAS, 25 Oktober
2016
Ketika berkunjung ke sejumlah daerah untuk
memantau kesehatan masyarakat, Presiden Joko Widodo menemukan kondisi
kesehatan masyarakat yang masih berfluktuasi. Di 10 kabupaten/kota itu: Nias,
Sibolga, Lebak, Pandeglang, Serang, Kabupaten Bandung, Kota Bandung,
Situbondo, Ponorogo, dan Banyuwangi, ada yang kondisi kesehatannya baik ada
pula yang masih bermasalah kurang gizi
dan tinggi badan di bawah normal (stunting).
Dalam hal ini, nutrisi memegang peran sentral
dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih sehat dan sejahtera. Nutrisi
menjamin tumbuh kembang yang akhirnya bermanfaat kesehatan dan ekonomi.
Keberhasilan dalam implementasi pembangunan
kesehatan nasional sangat bertumpu pada bagaimana kita memberikan perhatian
pada nutrisi dalam keluarga, terutama pada anak-anak dalam masa tumbuh
kembang.
Capaian nasional
Ibu hamil yang tidak cukup gizi akan
melahirkan bayi dengan berat badan rendah sehingga berisiko terkena
penyakit-penyakit yang mengancam kelangsungan hidup anak. Para gadis yang
kekurangan gizi berisiko tidak mampu mengandung dan melahirkan anak
sehat. Kekurangan gizi menciptakan
lingkaran jahat (vicious circle) karena akan menghambat tumbuh kembang anak
hingga dewasa.
Menurut Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef),
biaya ekonomi dari kekurangan gizi mencapai 10 persen dari pendapatan
individu di sejumlah negara. Negara-negara di Asia dan Afrika kehilangan 11
persen dari pendapatan nasional bruto (PNB) setiap tahun akibat gizi buruk.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat,
gizi buruk menghadirkan risiko terbesar terhadap kesehatan di negara-negara
berkembang. Secara global, terdapat
3,1 juta anak balita meninggal setiap tahun sebagai akibat gizi buruk,
yang berarti 45 persen dari semua
kematian anak balita.
Secara nasional, upaya pembangunan kesehatan
masyarakat melalui peningkatan gizi keluarga menunjukkan hasil
menggembirakan, meskipun masih perlu
terobosan untuk mempercepat perbaikan gizi rakyat.
Pemantauan Status Gizi (PSG) 2015
menunjukkan, 3,8 persen anak balita mengalami gizi buruk. Angka ini
turun dari tahun sebelumnya, yakni 4,7%.
Untuk
status gizi anak balita menurut Indeks Berat Badan per Usia (BB/U)
adalah 79,7% gizi baik; 14,9% gizi kurang; 3,8% gizi buruk, dan 1,5% gizi
lebih.
Untuk status gizi anak balita menurut Indeks
Tinggi Badan per Usia (TB/U) hasilnya 71% normal dan 29,9% anak balita pendek
dan sangat pendek.
Untuk
status gizi anak balita menurut Index Berat Badan per Tinggi Badan
(BB/TB) adalah 82,7% normal, 8,2% kurus, 5,3% gemuk, dan 3,7% sangat kurus.
Terdapat berbagai kondisi kesehatan keluarga
yang masih harus ditingkatkan melalui upaya peningkatan gizi keluarga.
Peningkatan ini terutama dapat ditempuh melalui akselerasi program seperti
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk anak balita dan ibu hamil ataupun
program-program pendamping inovatif lainnya.
Secara geografis, malnutrisi umumnya tersebar
di sejumlah wilayah di Tanah Air yang rentan kerawanan pangan. Namun,
malnutrisi juga berkaitan dengan perilaku
dan konsumsi masyarakat. Temuan studi tentang kondisi ketahanan pangan
dan gizi di Indonesia-dilaksanakan Smeru, UKP4 dan WFP (2014)-menunjukkan
bahwa malnutrisi juga tersebar dalam
semua spektrum pendapatan. Ini menunjukkan bahwa malnutrisi tidak hanya merupakan
persoalan kelompok berpendapatan rendah atau yang menetap di wilayah rawan
pangan, tetapi juga rumah tangga kaya
di perkotaan.
Namun, upaya meningkatkan status gizi
masyarakat menjadi berat jika
bidang-bidang pembangunan yang terkait
kecukupan nutrisi, seperti ketahanan pangan, infrastruktur, air bersih dan
sanitasi, masih bermasalah.
Peran pemerintah
Mengatasi masalah kekurangan gizi, pemerintah
mengupayakan pendekatan preventif dan promotif berupa Gerakan Masyarakat
Hidup Sehat (Germas) dan Program Keluarga Sehat.
Germas,
antara lain, mencakup penurunan beban penyakit menular dan tidak menular,
menghindari penurunan produktivitas penduduk, serta menurunkan beban biaya
layanan kesehatan. Germas berbasis pada kerja sama multisektor; keseimbangan
masyarakat, keluarga, dan individu; pemberdayaan masyarakat; penguatan sistem
kesehatan; Jaminan Kesehatan Nasional (JKN); dan pemerataan layanan.
Kebijakan lain untuk menunjang pembangunan
kesehatan melalui pendekatan preventif dan promotif adalah Program Keluarga
Sehat yang dilaksanakan oleh puskesmas.
Untuk memastikan agar baik Germas ataupun
Program Keluarga Sehat dapat berfungsi optimal, perlu pembinaan pada
puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan. Pembinaan tersebut
terutama mencakup penyiapan data berbasis
keluarga di wilayah kerja dan pelayanan sesuai dengan permasalahan kesehatan.
Susun standar
Saat ini Kementerian Kesehatan bersama
Kementerian Dalam Negeri sedang menyusun RPP Standar Pelayanan Minimal (SPM)
dan revisi peraturan tentang Struktur Organisasi Dinas Kesehatan. SPM
mencakup ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan
urusan pemerintahan.
Terkait dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
dan Program Keluarga Sehat adalah
Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Gerakan 1000 Hari Pertama
Kehidupan merupakan salah satu jawaban terhadap permasalahan status gizi.
Gerakan 1000 HPK ini bertolak pada
pemikiran bahwa periode terpenting
dalam kehidupan manusia adalah masa
1.000 hari pertama dalam kehidupan, yang mencakup 270 hari dalam kandungan
dan 730 hari setelah kelahiran. Masalah gizi selama periode tersebut akan
memengaruhi tumbuh kembang anak, mengakibatkan kondisi kerdil, kurus kering,
ataupun obesitas, dan pada gilirannya memperburuk kualitas hidup saat dewasa.
Salah satu fokus Germas adalah pemenuhan kebutuhan gizi melalui konsumsi
sayur dan buah sebagai landasan mewujudkan kehidupan keluarga yang sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar