Berbagi Risiko Tata Kelola Riset
Y Budi Widianarko ;
Rektor Unika Soegijapranata;
Anggota Dewan Riset Daerah Jawa
Tengah
|
KOMPAS, 20 Oktober
2016
Kritik Johanes Eka
Priyatma di harian ini (27/9/2016) terhadap rekomendasi "Diskusi
Kompas" tentang kuantitas, kualitas, dan kontribusi riset untuk
pembangunan nasional menarik untuk ditanggapi. Intinya, Johanes Eka Priyatma
(JEP) memandang solusi yang ditawarkan "Diskusi Kompas" itu tak
menyentuh akar masalah. Sebagai alternatif, JEP menawarkan pendekatan yang
lebih struktural dan komprehensif. Menurut dia, persoalan riset di Indonesia
tidak cukup dianalisis dengan hanya pendekatan input sumber daya, seperti
dana, sumber daya manusia, regulasi, dan agenda jangka panjang.
JEP menunjukkan
peningkatan anggaran riset dari pemerintah telah terbukti tak serta-merta
meningkatkan kualitas riset. Demikian pula halnya penambahan jumlah peneliti
ternyata juga tak mengungkit kinerja riset. Bagi JEP, kegiatan riset harus
dipandang sebagai sebuah realitas yang tidak terpisah dan sebagai akibat dari suprastrukturnya, yakni strategi
pembangunan, khususnya perihal inovasi.
JEP menilai kegiatan
riset yang ada tidak terkait langsung dengan kegiatan inovasi di dunia nyata
(baca: industri). Sebagian besar kegiatan riset, terutama di universitas,
hanya berorientasi pada pengakuan akademik. Singkatnya, riset tidak
berkembang karena memang tak dibutuhkan.
Gagasan JEP di atas
merangsang kita untuk mengernyitkan dahi. Sayangnya, alih-alih memberikan
jalan keluar yang sederhana, saya khawatir JEP justru mengajak kita masuk ke
palung yang dalam dan gelap. Dalam kondisi saat ini, mengganti paradigma
pembangunan mungkin sama muskilnya dengan memindahkan gunung batu.
Pengembangan riset
harus ditempuh melalui cara-cara yang lebih pragmatis. Salah satu langkah
yang dapat dilakukan adalah memutus gejala saling asing (mutually exclusive)
di antara kegiatan penelitian di perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan
praksis pengembangan produk baru (inovasi) oleh industri. Untuk itu perlu
terobosan kebijakan tentang tata kelola riset berbasis pada prinsip pembagian
risiko di antara para pihak.
Saling asing
Dalam perekonomian
berbasis ilmu pengetahuan, universitas merupakan unsur inti dari
infrastruktur intelektual suatu daerah (Lendel, 2010). Idealnya, kegiatan
penelitian universitas berkontribusi langsung terhadap pembangunan daerah.
Salah satu bidang yang
memungkinkan terjadinya kontribusi penelitian terhadap pembangunan
perekonomian suatu daerah adalah bidang pangan. Pertumbuhan bisnis dan industri pangan yang
sangat pesat, seiring pertambahan penduduk dan peningkatan kesejahteraan
serta daya beli masyarakat , memerlukan pasokan pengetahuan, teknologi, dan
produk pangan baru. Sayangnya, ada gejala saling asing yang akut antara kegiatan
penelitian di universitas dan praksis pengembangan oleh pelaku usaha. Kaitan
antara riset pangan universitas atau lembaga penelitian dan praksis
pengembangan produk pangan oleh pelaku usaha sangat minimal.
Pengalaman di Jawa
Tengah menunjukkan telah berlangsung proses saling asing antara kegiatan
penelitian pangan oleh universitas di satu sisi dan pengembangan produk
pangan oleh pelaku usaha di sisi lain. Pelaku usaha berhasil mengembangkan/
merekacipta banyak produk pangan baru yang bukan saja inovatif, melainkan
juga bernilai tambah tinggi dan sekaligus berhasil di pasar (Widianarko,
2011).
Produk pangan yang
berhasil dikembangkan pelaku usaha tanpa melalui jalur penelitian formal
(oleh universitas) antara lain ceriping, getuk, sirup berbasis buah lokal,
bandeng duri lunak, marning, "dodol" tomat, manisan buah, olahan
tahu, dan aneka minuman serbuk. Produk-produk seperti Gethuk Trio Magelang,
Bandeng Duri Lunak Semarang, Marning Boyolali, Gethuk "Putih"
Salatiga, Tomat Rasa Korma Bandungan, dan Tahu Bakso Ungaran berhasil menjadi
ikon daerahnya masing masing.
Salah satu rahasia di
balik keberhasilan mengembangkan
produk-produk pangan lokal itu adalah kemampuan mereka dalam mendengar suara
konsumen. Namun, dari perspektif penelitian sebenarnya yang mereka lakukan,
sebagian besar masih bertumpu pada metode coba-coba (trials and errors) yang
diramu dengan intuisi bisnis.
Berbagi risiko
Dari tahun ke tahun,
pendanaan penelitian yang tersedia untuk universitas cenderung terus
meningkat dan sudah selayaknya tidak jadi masalah lagi. Yang diperlukan
sekarang adalah penetapan prioritas penelitian yang berorientasi pada produk.
Gejala saling asing
antara penelitian universitas dan pengembangan produk komersial bersumber
pada ketiadaan prinsip berbagi risiko. Hal ini menyebabkan pelaku penelitian
menghasilkan penelitian yang tak memiliki nilai terap sehingga hasil
penelitiannya tidak akuntabel. Untuk itu diperlukan sebuah tata kelola
penelitian baru yang didasarkan pada prinsip berbagi risiko.
Kerja sama penelitian
berbasis berbagi risiko memang tuntutan alamiah dari knowledge economy. Dalam
pendekatan baru ini, institusi pelaku penelitian dituntut mampu
menciptakan nilai ekonomi dari kegiatan penelitian. Dengan kata lain,
kegiatan penelitian dan ilmiah harus bermuara pada value creation. Di samping
itu, dalam knowledge economy, setiap kerja sama maka para pihak memiliki hak
dan tanggung jawab.
Hal ini tentu juga
berlaku bagi pekerja ilmu yang bernaung di universitas. Definisi formal untuk
risk-sharing agreement dalam kerja sama penelitian, menurut De
Pouvourville (2006), adalah
"kontrak di antara dua pihak yang sepakat bertransaksi dengan kesadaran
penuh bahwa ada ketidakpastian yang melekat pada hasil dan nilai akhir produk
penelitian yang dihasilkan".
Dengan demikian, kedua
pihak siap menerima imbalan dan sanksi sesuai status produk penelitian yang
dihasilkan. Jika hasil penelitian terbukti memiliki nilai komersial yang
tinggi, pihak pemberi proyek harus bersedia memberikan imbalan (sesuai
kesepakatan), sedangkan jika terjadi sebaliknya, pihak pelaksana proyek harus
bersedia menerima sanksi.
Model tata kelola
penelitian berbasis berbagi risiko di atas tentu saja sangat berbeda dari
kelaziman pelaksanaan proyek penelitian di universitas hingga saat ini.
Kebiasaan yang berlaku selama ini masih mengasumsikan bahwa setiap pelaku
kegiatan penelitian-bagaimanapun status hasilnya-sudah selayaknya mendapatkan
imbalan atas jerih payahnya. Dalam kerangka ini, penetapan imbalan dan sanksi
menjadi hal yang strategis.
Imbalan (finansial)
yang disediakan untuk produk pangan yang berhasil harus menarik peneliti
untuk melaksanakan proyek penelitian. Sanksi (finansial) yang dapat
dibebankan kepada peneliti yang gagal menghasilkan produk yang sukses adalah
peniadaan imbalan bagi jerih payahnya. Meski demikian, direkomendasikan agar
semua biaya penelitian tetap ditukar (at cost) oleh pemberi proyek.
Dengan tata kelola
baru ini, setiap kegiatan penelitian pangan dengan sendirinya akan akuntabel
dan berpeluang besar untuk menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi
dan berhasil di pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar