Pemuda
Berkecerdasan Kewargaan
Yudi Latif ;
Cendekiawan
|
MEDIA INDONESIA,
28 Oktober 2016
"AKHIRNYA," tulis Ben Anderson,
'saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada
permulaannya memang ditentukan oleh 'kesadaran pemuda' ini." Mohammad
Hatta, sebagai pengamat yang terlibat, mengajukan pertanyaan retoris,
"Apa sebabnya pemuda-pemuda, mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut
berpolitik?" Lantas ia jawab sendiri, "Kalau mahasiswa Belanda,
Prancis, dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda yang serbamenggembirakan,
pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut
syarat-syarat lain.
Tidak ada jalan lain yang sudah siap dirintis
baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya,
dia harus membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang
serbasukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian.
Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat dia menjadi
orang yang cepat tua dan serius untuk usianya."
Kesadaran revolusioner kaum muda Indonesia itu
tidaklah jatuh dari langit, tetapi sengaja diusahakan melalui penaburan
benih-benih kecerdasan yang disemai di ruang publik. Memasuki dekade kedua
abad ke-20, generasi baru, yang terdidik secara baru, melahirkan kesadaran
baru bahwa untuk masa yang panjang Bumiputera hidup bagaikan katak dalam
tempurung, dan tempurung itu dipercaya sebagai langit luas. Mereka melihat
dengan mata sendiri kesengsaraan yang diderita oleh massa rakyat, dan menyadari
sepenuhnya bahwa 'senjata' lama dengan impian ratu adilnya tak lagi memadai
sebagai sarana perjuangan.
Generasi baru tampil dengan menawarkan
'senjata' baru, cara pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru.
Senjata itu bernama kecerdasan dan ilmu (ideologi). Manakala elemen-elemen
kemapanan menyeru pada 'kejumudan' dan 'kesempitan', kaum muda menerobosnya
dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme yang lebar
dan inklusif.
Dengan kecerdasan dan ideologi, generasi baru
menyadari bahwa rakyat Indonesia dengan pecahan-pecahan yang banyak dan
beraneka tak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebersamaan jika tidak memiliki
'bilangan penyebut' yang sama. Perjuangan dari keragaman posisi subjek
memerlukan titik temu (common denominator).
Penyebut bersama sebagai titik temu itu mereka temukan dalam nama Indonesia,
dengan imaji komunitas bersama yang dikonstruksikan melalui Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928: bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu,
bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dalam menggagas imaji kebangsaan baru itu,
Sumpah Pemuda berisi kecerdasan pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan serbaragu,
konformis, parokialis, dan status quois dari generasi tua, para
pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun itu, datang dengan
etos kreatif. Etos kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative Mind (1968), bersendikan
kecerdasan dengan kepercayaan diri dan kesanggupan menanggung risiko sehingga
memiliki kemampuan untuk mendekonstruksi bangunan lama demi konstruksi baru
yang lebih baik.
Sumpah Pemuda itu juga berisi tekad dari suatu
kaum yang progresif bahwa pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia,
melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind). Dalam ungkapan Samuel
Ullman, "Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan
pipi yang berona kemerahan; melainkan masalah tekad, kualitas imaginasi,
kekuatan emosi; kesegaran musim semi kehidupan."
Sumpah Pemuda itu berisi kebesaran. Kebesaran
jiwa yang mengatasi kekerdilan kepentingan sempit demi kebaikan hidup
bersama. Meski Jawa merupakan bahasa dengan jumlah penutur paling banyak, dan
pemuda-pelajar yang menghadiri Kongres Pemuda itu juga banyak yang berasal
dari Tanah Jawa, bahasa Jawa tidak dipilih sebagai bahasa persatuan. Demi
mengusung gagasan kebangsaan yang egaliter, mereka sepakat menjadikan bahasa
melayu-Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Sumpah Pemuda itu berisi keluasan. Keluasan
horizon imajinasi kebangsaan yang mengatasi kesempitan primordialisme agama
dan kedaerahan. Di bawah payung 'nasionalisme kewargaan', segala kesempitan
dan keragaman dipertautkan ke dalam keluasan imaji keindonesiaan. Kesanggupan
mentransendensikan kesempitan etnosentrisme menuju keluasan solidaritas
kebangsaan itu pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu
gerbang kemerdekaannya.
Elan vital jiwa Sumpah Pemuda itu sangat
penting kita bangkitkan manakala kehidupan publik-kenegaraan saat ini
cenderung mengabaikan kecerdasan. Kehormatan pikiran kembali dihinakan
politik dinasti dan kekuatan uang, yang membawa mediokritas dalam berbagai
bidang kehidupan. Dengan merajalelanya mediokritas, etos kreatif dan ekonomi
kreatif sebagai basis daya saing global pada era pascaindustri tak bisa
berkembang secara kondusif.
Dengan peluluhan daya pikir, kelebaran
semangat nasionalisme kewargaan juga disempitkan kembali oleh semangat
partaiisme, tribalisme, koncoisme, fundamentalisme, dan daerahisme. Dalam
situasi demikian, proyek nasionalisme kewargaan yang digagas Sumpah Pemuda
berjalan surut ke belakang. Kita dihadapkan pada situasi yang pahit, harus
menerima nubuat dari Edward Shils, "Kendati intelektual negara-negara
terbelakang telah menciptakan ide tentang bangsa di negeri mereka sendiri,
mereka belum sanggup mencipta sebuah bangsa. Mereka sendiri adalah korban
dari kondisi itu karena nasionalisme tidak dengan sendirinya menjelmakan
semangat kewargaan."
Gerak mundur keindonesiaan sebagai kebangsaan
yang tidak mewujudkan kewargaan itu sangat tampak dari melemahnya jati diri
manusia Indonesia dalam aspek kedirian yang bersifat publik bahwa pribadi
yang baik tidak dengan sendirinya menjadi warga negara dan penyelenggara
negara yang baik. Kita juga bisa menyaksikan hampir semua hal yang bersifat
kolektif mengalami dekadensi: partai politik sakit, lembaga perwakilan sakit,
birokrasi sakit, aparatur penegak hukum dan keamanan-pertahanan sakit, bahkan
organisasi-organisasi keagamaan yang berskala besar pun mulai menunjukkan gejala
sakit.
Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini
mencerminkan kegagalan pembangunan bangsa dalam mengembangkan 'kecerdasan
kewargaan' (civic intelligence).
Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal, dengan mengabaikan usaha
mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan
kolektif-kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret 'huruf' alfabet
tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika) ke dalam
'kata' dan 'kalimat' bersama. Akibatnya, banyak manusia baik dan cerdas tidak
menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar
akan kewajiban dan haknya).
Padahal, pengembangan 'kecerdasan kewargaan'
lebih fundamental bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari
kolonisasi individualisme. Berbeda dengan individualisme, Pancasila
memandang, dengan segala kemuliaan eksistensi dan hak asasinya, setiap
pribadi manusia tidaklah bisa berdiri sendiri terkucil dari keberadaan yang
lain. Setiap pribadi membentuk dan dibentuk jaringan relasi sosial. Semua
manusia, kecuali mereka yang hidup di bawah keadaan yang sangat luar biasa,
bergantung pada bentuk-bentuk kerja sama dan kolaborasi dengan sesama yang
memungkinkan manusia dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya dan dalam
mengamankan kondisi-kondisi material dasar untuk melanjutkan kehidupan dan
keturunannya.
Kebajikan individu hanya mencapai
pertumbuhannya yang optimum dalam kolektivitas yang baik. Oleh karena itu,
pengembangan jati diri bukan saja harus memberi wahana kepada setiap individu
untuk mengenali siapa dirinya sebagai 'perwujudan khusus' ('diferensiasi')
dari alam. Pengembangan jati diri juga harus memberi wahana setiap orang
untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem
pengetahuan, dan sistem perilaku bersama yang terkristalisasi dalam
Pancasila.
Pancasila sebagai sistem nilai, sistem
pengetahuan, dan sistem prilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan
sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter perseorangan
berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Maka dari itu, pengembangan
'kecerdasan kewargaan' berbasis Pancasila merupakan kunci integrasi dan
kemajuan bangsa. Namun, persis pada titik itulah simpul terlemah dari proses
pendidikan dan pembangunan selama ini. Peringatan Hari Sumpah Pemuda harus
dijadikan momentum untuk mengembalikan trayek kebangsaan Indonesia pada rel
nasionalisme kewargaan, dengan mengembangkan 'kecerdasan kewargaan' berjiwa
Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar