Lembaga
Intelijen Keuangan
Arief Wibisono ;
Pengamat Hukum Perbankan;
Alumnus School of Laws Boston University Amerika Serikat
(LL.M in Banking and Financial
Law) dan Fakultas Hukum UI
|
KOMPAS, 24 Oktober
2016
Ada tanggapan menarik yang disampaikan Kepala
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Muhammad Yusuf mengenai
rencana pemerintah yang akan menerbitkan paket reformasi bidang hukum.
Menurut Yusuf, perlu ada upaya
penguatan substansi hukum dan yang diperlukan untuk penguatan tersebut saat
ini adalah penerbitan UU perampasan
aset koruptor, penerbitan UU pembatasan transaksi tunai dan optimalisasi
hasil analisis PPATK bagi negara.
Dalam usulan yang disampaikan kepada Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Yusuf menginginkan
pemerintah mengoptimalkan fungsi PPATK
dalam reformasi hukum. Namun, Yusuf
menegaskan, lembaganya tak perlu penambahan kewenangan. "Dengan
kewenangan sekarang sudah cukup," ucapnya.
Cukup disayangkan, Kepala PPATK-yang akan
segera berakhir masa tugasnya akhir Oktober 2016-justru tidak secara spesifik
mengusulkan penguatan kewenangan
PPATK. Selama ini upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang di Indonesia selalu diidentikkan dengan penguatan kelembagaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan hanya berfokus pada tindak pidana
pencucian uang (TPPU) dengan "kejahatan asal" (predicate crime)
dari tindak pidana korupsi.
Bahkan, dengan menafsirkan ketentuan Pasal 74
UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, kewenangan
penyidikan TPPU "dititipkan" kepada KPK. Pasal 74 UU No 8/2010 mengatur
"penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak
pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU ini".
Dengan ketentuan pasal tersebut, penyidikan
TPPU menjadi beragam sesuai penyidik "kejahatan asal" TPPU.
Padahal, kejahatan awal TPPU tidak
semata korupsi, tetapi juga lebih dari 20 kejahatan lainnya, termasuk narkotika
dan penyelundupan manusia.
Apalagi saat ini ketika membicarakan KPK
selalu saja publik kemudian terjebak dengan diskursus mengenai apakah KPK
merupakan lembaga ad hoc atau lembaga permanen. Hal itu artinya manakala
indeks korupsi sudah dapat ditekan, maka upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi akan dikembalikan pada penegak hukum dalam kondisi normal, yaitu
kejaksaan dan kepolisian. Di sisi lain, beberapa pihak, termasuk tentu saja KPK, menganggap
lembaga tersebut adalah lembaga permanen.
Tulisan ini tidak hendak berpihak pada salah
satu pendapat tersebut, tetapi justru menawarkan satu pilihan upaya
pemberantasan korupsi melalui penguatan kewenangan PPATK untuk mencegah uang
hasil korupsi dapat digunakan atau disamarkan sehingga masuk dalam sistem
keuangan melalui penyedia jasa keuangan, baik bank dan nonbank, penyedia
barang dan jasa, maupun profesi tertentu. PPATK yang telah dibentuk sejak
2002, dengan diundangkannya UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, dalam best practice internasional nama
"generik"-nya adalah financial intellegence unit (FIU) atau secara
harfiah lembaga atau unit intelijen
keuangan.
Kewenangan
penyelidikan
FIU merupakan lembaga yang wajib ada di setiap
negara. Ketiadaan lembaga ini dalam satu negara akan menyebabkan negara
bersangkutan terkena measure atau sanksi dari gugus tugas anti pencucian uang
atau financial action task force on money laundering (FATF) sebagai NCCT atau
non cooperative countries and territories dalam pemberantasan kejahatan lintas
batas pencucian uang.
Memang FATF tidak memberikan patokan mengenai
model FIU yang ideal sehingga kewenangan FIU di sejumlah negara berbeda-beda.
Dari yang minimalis seperti Indonesia yang hanya memiliki kewenangan
penyelidikan awal atau yang maksimalis seperti Anti Money Laundering Office
of Thailand (AMLO) yang memiliki kewenangan penyelidikan.
Berkaca dari pengalaman Thailand, maka dengan
indeks korupsi dan kejahatan narkoba di atas Thailand, model FIU Indonesia
saat ini, yaitu PPATK, terasa sangat tidak memadai. PPATK semestinya memiliki
kewenangan penyelidikan, bahkan dengan tingginya tingkat "kejahatan
asal", seperti korupsi atau narkoba yang demikian tinggi, perlu
dipikirkan memberikan kewenangan penyidikan TPPU kepada PPATK sebagaimana
kewenangan KPK atas tindak pidana korupsi.
Upaya "membonsai" kewenangan PPATK
sudah ditengarai gejalanya sejak awal pembahasan RUU TPPU di parlemen tahun
2002. Demikian pula dalam pembahasan perubahan UU tersebut tahun 2003 dan
2010. Kewenangan PPATK yang merupakan elemen kunci rezim pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang hanya dibatasi pada kewenangan yang sering
disebut sebagai "penyelidikan awal".
Dalam UU No 15/2002 yang diubah dengan UU
Nomor 25 Tahun 2003, kewenangan PPATK dibatasi hanya melakukan analisis
terhadap transaksi keuangan. Selanjutnya, analisis tersebut diserahkan kepada
penyidik untuk ditindaklanjuti. Sementara itu, dalam UU No 8/2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, kewenangan itu "diperkuat" jadi
melakukan pemeriksaanlaporan dan informasi transaksi keuangan yang
terindikasi TPPU. Namun tetap saja PPATK tak punya kewenangan penyelidikan.
Dengan pembentukan FIU disertai model yang
memiliki kewenangan terbatas di tahun 2002, saat itu Indonesia terkesan hanya
menggugurkan kewajiban untuk memenuhi salah satu dari 40 rekomendasi FATF,
gugus tugas kerja sama internasional dalam memberantas pencucian uang yang
didirikan tujuh negara industri maju (G-7) di Paris tahun 1989.
Meski Indonesia bukan anggota FATF, sebagai
anggota kerja sama pemberantasan pencucian uang regional Asia Pasifik (Asia
Pacific Group on Money Laundering/APG), saat itu, Indonesia memang terikat
aneka rekomendasi FATF. Hal ini mengingat APG dan organisasi regional anti
pencucian uang lain yang telah mengikatkan diri untuk mengikuti rekomendasi
FATF itu. Bahkan, akibat tidak mematuhi rekomendasi FATF dua tahun
berturut-turut sejak 2002, Indonesia
dan beberapa negara berkembang masuk daftar hitam negara-negara yang
dinyatakan gugus tugas itu sebagai non- cooperative countries and territories
(NCCT).
Model minimalis
Sebagaimana diuraikan di muka, meski
merekomendasikan pembentukan FIU, FATF tidak spesifik memberi arahan mengenai
nama, kewenangan, model, dan struktur organisasi lembaga intelijen keuangan
itu. Karena itu, beberapa negara memberi penamaan berbeda-beda untuk
organisasi FIU-nya.
Di Amerika Serikat diberi nama FinCen
(Financial Crime Enforcement Network), Thailand menyebutnya AMLO (Anti Money
Laundering Office). Kanada dan Australia memberi nama yang kira-kira sejenis
dengan PPATK, yaitu FINTRAC (Financial Transaction & Report Analysis
Centre of Canada) dan AUSTRAC (Australian Transaction Reports and Analysis
Centre).
Dari segi kewenangan, AMLO Thailand, misalnya,
berwenang menyelidiki sebagaimana dimiliki kepolisian. Adapun AUSTRAC dan
FinCen hanya memiliki wewenang sebatas melaporkan hasil analisisnya kepada
kepolisian atau hanya memiliki kewenangan pada penyelidikan awal (preliminary
investigation). Australia merupakan negara yang memberikan asistensi saat
perumusan draf UU TPPU tahun 2002. Oleh karena itu, dapat dimaklumi jika
model PPATK meniru model AUSTRAC.
Ironisnya, kewenangan minimalis PPATK,
sebagaimana kewenangan FIU di negara dengan indeks korupsi rendah seperti
AUSTRAC dan FinCen tersebut, terus dipertahankan meski UU TPPU telah dua kali
disempurnakan melalui perubahan pada 2003 dan kemudian dicabut dengan UU
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU tahun 2010. Pilihan model FIU dengan
kewenangan "minimalis" mengundang kesan Indonesia tak serius dalam
pencegahan dan pemberantasan TPPU. Lebih jauh lagi, kewenangan minimalis
tersebut membuat pemberantasan TPPU, termasuk kejahatan asalnya, tidak
membuahkan hasil maksimal. Karena itu, FATF saat ini menilai Indonesia masih
dikelompokkan sebagai negara yang memiliki kelemahan struktural dalam
pemberantasan pencucian uang.
Pemberian kewenangan penyelidikan dan
penyidikan kepada PPATK merupakan terobosan yang dapat membuat paket
reformasi bidang hukum mempunyai "gereget". Apalagi TPPU merupakan
tindak pidana yang berdiri sendiri sebagaimana dalam putusan Pengadilan
Negeri Karawang tahun 2009 atas tiga orang pegawai pajak yang terbukti
melanggar TPPU tanpa terlebih dahulu membuktikan kejahatan asal.
Demikian pula "kelebihan" PPATK yang
sering dipamerkan dan dibandingkan dengan
beberapa FIU negara lain, yaitu struktur atau kedudukan PPATK yang
independen dan langsung di bawah presiden juga perlu dievaluasi. Meski
kedudukan PPATK lebih "kuat" dibandingkan kedudukan Direktur
AUSTRAC yang "hanya" berada
di bawah jaksa agung, menteri kehakiman, dan bea cukai Australia, tetapi-jika
kewenangannya ditingkatkan- PPATK perlu independen dan bebas dari pengaruh
presiden, sebagaimana KPK saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar