Teologi
Politik Jelang Pilkada
Zuly Qodir ;
Sosiolog;
Direktur Sekolah Politik Ahmad
Syafii Maarif, Pascasarjana UMY
|
KOMPAS, 29 Oktober
2016
”Muhammadiyah
menyadari bahwa politik sarat dengan kontroversi dan kepentingan perebutan kekuasaan.
Oleh sebab itu, kita berharap kontestasi itu berlangsung demokratis, elegan,
bermartabat, dan berkeadaban.”
Haedar Nashir, 13
Oktober 2016
Amanat Ketua Umum PP Muhammadiyah kepada warga
Muhammadiyah khususnya dan bangsa Indonesia menyambut pilkada yang mulai
panas perlu mendapatkan perhatian agar bangsa ini tetap bermartabat.
Sebab, kita merasakan detik- detik menjelang
pilkada serentak, Februari 2017, suhu politik semakin memanas. Tensi
antarkelompok kepentingan demikian keras, baik di media sosial ataupun di
lapangan nyata.
Ancaman politik
kebencian
Beberapa daerah yang hendak menyelenggarakan
pemilihan kepala daerah (pilkada), seperti Jakarta dan Yogyakarta, tentu
berharap tak menumbuhkan politik kebencian yang didasarkan pada kandidat karena
faktor agama dan etnis. Hal ini perlu diantisipasi karena demokrasi kita
tidak didasarkan pada kebencian etnis atau agama, apalagi partai. Demokrasi
kita adalah inklusif atas agama, etnis, dan partai apa pun namanya, kecuali
Partai Komunis Indonesia.
Survei Wahid Foundation menemukan sejumlah
data yang dinilai cukup mengkhawatirkan. Dari 1.520 responden, 59,9 persen
memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang
berlatar belakang agama non-Muslim, kelompok Tionghoa, komunis, dan lainnya.
Dari 59,9 persen itu, 92,2 persen tidak setuju jika anggota kelompok yang
mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Sebanyak 82,4 persennya
bahkan tidak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.
Ini sungguh sebuah temuan yang mengkhawatirkan
mengingat Indonesia merupakan negara yang beragam. Kebencian tentu tidak
sesuai dengan ajaran teologi agama-agama.
Kebencian atas kelompok lain yang tertera
dalam survei Wahid Foundation di atas bisa dikatakan sebagai bagian dari
ancaman teologi kebencian. Politik kebencian merupakan salah satu turunan
dari pemahaman teologi yang tak bersedia menerima adanya perbedaan. Teologi
yang dihadirkan adalah kehendak keharusan adanya keseragaman dari semua
penganut agama. Jika ada perbedaan, yang berbeda harus mengikuti yang
mayoritas atau yang memaksa kaum minoritas mengikutinya.
Politik yang dilandaskan pada teologi semacam
ini akan melahirkan kebencian kepada pihak lainnya sehingga tidak bersedia
dengan lapang dada, hati yang jernih, serta pikiran sehat menerima bahwa
perbedaan merupakan karunia ilahi yang harus disyukuri dan menjadi ciri khas
keagamaan. Keharusan adanya kesamaan teologi yang berlebihan akhirnya
menciptakan kebencian pada pihak lain yang berbeda. Siapa saja yang berbeda
dianggap musuh, lawan, dan harus ditaklukkan. Teologi politik kebencian pun
pada akhirnya menghadirkan semangat penaklukan atas orang yang berbeda.
Teologi politik kebencian, karena itu,
merupakan teologi yang dikemas dalam perspektif teologi jangka pendek, pendek
akal, dan kepicikan. Teologi semacam ini jika terus berkembang akan mengarah
pada munculnya teologi kematian, bukan teologi kehidupan dan kemuliaan. Hal
ini akhirnya akan sangat berdampak pada munculnya kekerasan berbasiskan
teologi (keagamaan) karena menganggap yang berbeda adalah musuh yang harus
dimusnahkan dari muka bumi.
Mendialogkan perbedaan
Kasus yang beberapa kali terjadi di Indonesia,
yang melibatkan antaragama, sebenarnya menunjukkan adanya teologi politik
kebencian. Apalagi situasi politik jelang pilkada di DKI Jakarta, yang
berkembang di media sosial, sungguh jadi bagian dari teologi politik
kebencian yang senantiasa ditabuh ketika pergolakan politik hendak digelar di
Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya politik kita belum bisa dilepaskan
dari teologi politik yang agak kurang santun.
Berbeda pandangan harusnya bisa dijelaskan
dengan santun. Kesalahan seseorang juga bisa dimaafkan jika menyangkut
pemahaman.
Kita tentu harus adil dengan hukum. Jika
menyangkut persoalan pidana dan kriminal, jika terbukti, pelakunya harus
diberi sanksi atau hukuman. Namun, bukan dengan cara mengancam, apalagi
hendak membunuh yang salah. Hal seperti itu perlu dijelaskan sehingga
peristiwa tak jadi kapitalisasi kebencian yang akan terus berulang di
kemudian hari.
Apa yang terjadi di DKI Jakarta, buat saya,
adalah salah satu bentuk dari kebencian yang muncul ke permukaan dari
sekelompok orang beragama yang ada di Indonesia, kemudian dikapitalisasi
dengan mempergunakan teologi politik kebencian atas nama seluruh umat.
Sekalipun sebenarnya lebih banyak karena faktor perbedaan pilihan politik
saat pilkada.
Bagaimana jika hal serupa terus terjadi di
belahan bumi Indonesia? Bukankah negeri ini akan jadi negeri penuh ”kebencian
atas adanya praktik keagamaan” yang beragam? Sungguh mengherankan dan
mengerikan sebab negeri ini merupakan negeri dengan beragam perbedaan kultur
ataupun agama.
Oleh sebab itu, kita harus memperbanyak dialog
agar menghindari adanya pemaksaan-pemaksaan dalam hal keagamaan (teologi).
Kita tidak bisa memaksakan perspektif teologi kita kepada pihak lain yang
berbeda. Biarlah perbedaan teologi itu jadi kekayaan spiritual yang harus
kita hadapi. Biarkan perbedaan teologi itu jadi warna dalam kehidupan
keagamaan di Indonesia. Kita tak perlu risau, apalagi takut dengan perbedaan
teologi sebab kita berbeda bukan untuk dipersamakan semuanya.
Hal yang harus dikembangkan adalah memahami
bahwa perbedaan teologi itu dapat membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.
Perbedaan teologi itu khazanah yang telah termaktub dalam kitab suci
agama-agama. Kita tak perlu memaksakan pandangan teologi kita kepada pihak
lain agar sama dengan kita. Kita tak pula harus mengancam pihak lain yang
berbeda teologinya.
Biarkan perbedaan teologi terus berlangsung
dalam khazanah saling memahami, menghormati, dan saling menjaga perasaan.
Bukankah Tuhan juga menegaskan: tidak ada pemaksaan dalam hal agama
(teologi)? Lantas, mengapa kita seakan lebih berkuasa daripada Tuhan? Dialog
teologis, karena itu, perlu dilakukan untuk menjaga keberlangsungan perbedaan
teologi agar saling memahami, menghargai, menghormati serta membiarkan
perbedaan itu tetap terjaga; bukan memusuhi dan menebarkan teologi politik
kebencian.
Menghentikan kebencian
Kebencian yang menghadirkan kekerasan bukanlah
ajaran agama-agama. Kebencian dan kekerasan dikutuk oleh semua agama yang
mencintai kemanusiaan. Kebencian dan kekerasan hanya akan menciptakan
kehancuran.
Agar kita terhindarkan dari kehancuran
peradaban dunia di Indonesia, agaknya sinergi antarkelompok agama mayoritas
(Islam dan Kristen) di Indonesia perlu dikuatkan kembali untuk menumbuhkan
pemahaman yang menghadirkan penghargaan, penghormatan, dan menebarkan kasih
sayang kepada sesama umat Tuhan.
Dengan menghadirkan pemahaman seperti itu,
pada akhirnya teologi politik kebencian yang menjadi kekhawatiran bersama
akan tereduksi dari Bumi Pertiwi. Kita tak ingin kekerasan yang terjadi di
negara-negara lain kemudian menjadi bagian nyata dari kehidupan negara kita
dengan penduduk mayoritas Muslim ini. Syaratnya hanyalah kita mampu
menghindarkan lahirnya teologi politik kebencian tersebut secara bersama.
Amanat Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar
Nashir, (13/10), ketika menyikapi perkembangan politik di Indonesia, Jakarta
khususnya, memberikan penjelasan bahwa agar umat Islam tidak saling melakukan
penghakiman dan tidak melakukan provokasi atas yang lain. Namun, haruslah
tetap berjalan pada koridor hukum, menjaga keamanan, dan tetap berkhidmat
dalam pembangunan bangsa serta menciptakan peradaban yang mulia untuk
Indonesia yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar