Politik
Melihat ke Dalam
Azyumardi Azra ;
Guru Besar Fakultas Adab dan
Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS, 25 Oktober
2016
Dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla meninggalkan semacam kesan campur aduk. Ada
sejumlah pencapaian yang membangkitkan harapan warga, tetapi juga ada
beberapa agenda yang cenderung terabaikan—membuat gundah masyarakat.
Salah satu pencapaian terpenting Presiden
Jokowi adalah konsolidasi basis kekuasaan pemerintahan Jokowi-Kalla. Pada
tahun pertama sempat berkembang kekhawatiran, Presiden Jokowi yang didukung
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menghadapi kekuatan ”oposisi” Koalisi Merah
Putih (KMP) lebih besar, yang bisa membuat pemerintahan tidak efektif
menjalankan programnya.
Menjelang tahun kedua, Jokowi berhasil
merangkul sebagian besar pendukung KMP. Namun ”harga” yang dia bayar cukup
signifikan, yaitu membagi kursi kabinet bagi Partai Golkar dan PAN. Sebelumnya
sudah ada wakil-wakil parpol yang menjadi menteri (PDI-P, PKB, Nasdem,
Hanura). Kini, tinggal Gerindra dan PKS yang tidak punya menteri di kabinet;
menjadi ”oposisi minimalis”.
Konsolidasi politik pemerintahan Jokowi-Kalla
bisa dibilang tuntas. Kelompok ”oposisi” atau ”kekuatan pengimbang” tinggal
”pemanis”. Tuntasnya konsolidasi politik ini perlu diapresiasi karena
menciptakan stabilitas politik yang sangat urgen. Meminjam paradigma Orde
Baru, ”tanpa stabilitas politik, tidak ada pembangunan ekonomi”.
Pencapaian terpenting lain dalam masa dua
tahun pemerintahan Jokowi-Kalla adalah percepatan pembangunan infrastruktur;
percepatan ketersambungan jalan tol Trans-Jawa dan jalan tol serta jalan baru
lain di tempat tertentu di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua;
pembangunan dan perluasan bandara dan pelabuhan serta proyek infrastruktur
lain.
Dalam konteks ini, Presiden Jokowi jelas
memiliki obsesi besar mengatasi ketertinggalan Indonesia dalam hal
infrastruktur. Obsesi ini membuat Jokowi sering menghabiskan waktu meninjau
berbagai proyek di tempat tertentu di daerah sambil terus blusukan ke pusat
kerumunan warga.
Gaya kepemimpinan Presiden Jokowi ini
menyisakan pertanyaan dan skeptisisme di kalangan politisi dan pengamat.
Apakah memang perlu Presiden sendiri yang terus turun ke lapangan meninjau
proyek yang sudah berjalan baik? Tidak cukupkah menteri terkait atau pejabat
tinggi lain yang mengecek kemajuan proyek? Apakah tidak lebih baik jika
Presiden Jokowi menangani program lain yang juga tidak kurang strategisnya?
Pertanyaan semacam ini juga menyeruak ketika
Presiden Jokowi yang disertai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Tito Karnavian turun langsung dalam operasi pemberantasan pungutan liar di
Kementerian Perhubungan, Selasa (11/10). Seolah menjawab pertanyaan publik,
Presiden Jokowi menegaskan, meski jumlah uang yang disita relatif sedikit
(total Rp 60 juta dan Rp 1,2 miliar dalam rekening), dia perlu turun untuk
memastikan pemberantasan pungli berjalan baik.
Penjelasan ini tampaknya tetap belum bisa
memuaskan kalangan publik yang berpendapat Presiden Jokowi tak perlu turun
langsung dalam kasus semacam itu. Meski pemberantasan pungli (dan berbagai
bentuk KKN lain) amat urgen, sebaiknya Presiden Jokowi mendelegasikan kepada
Kapolri, misalnya, sehingga dia dapat melakukan hal besar lain.
Dengan obsesi percepatan pembangunan
infrastruktur beserta peninjauan langsung ke lapangan, Presiden Jokowi
mengonfirmasi prediksi banyak ahli dan pengamat sejak awal pemerintahan.
Mereka melihat kecenderungan kuat Presiden lebih melihat ke dalam (inward
looking).
Politik inward looking dengan memberi lebih
banyak perhatian pada percepatan pembangunan infrastruktur tentu saja tidak
salah, bahkan amat perlu. Namun, dalam konteks dalam negeri saja, Presiden
Jokowi patut pula memberikan perhatian besar pada berbagai urusan besar lain.
Dalam konteks terakhir ini, bisa dipahami
kenapa aktivis HAM, misalnya, menilai pemerintah Jokowi-Kalla belum berhasil
banyak meningkatkan penegakan HAM di negeri ini. Misalnya menyelesaikan
tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Hal sama juga terlihat dalam bidang pendidikan
dan kebudayaan. Meskipun Presiden Jokowi memberlakukan Kartu Indonesia Pintar
(KIP) secara universal di Tanah Air, berbagai masalah akut dan serius
menyangkut pendidikan sejak tingkat dasar, menengah, sampai tinggi belum
terselesaikan.
Begitu pula di bidang kebudayaan. Presiden
Jokowi pernah mengundang sejumlah budayawan makan siang bersama di Istana.
Namun, Presiden tidak datang membuka Forum Kebudayaan Dunia (WCF) di Bali
(10-14 Oktober). Padahal, Indonesia menjadi aktor utama forum internasional
ini.
Ketidakhadiran Presiden membuka WCF hanyalah
satu dari indikasi kian surutnya Indonesia dari kancah internasional.
Presiden Jokowi, misalnya, juga tidak hadir dalam Sidang Umum PBB (2015),
padahal Indonesia dinyatakan PPB sebagai salah satu dari lima negara kunci
utama (key central players) dalam perumusan agenda Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) 2030. Presiden Jokowi juga absen dalam Sidang Umum PBB
2016. Dalam kedua kesempatan itu, Indonesia diwakili Wapres Jusuf Kalla.
Ketidakhadiran Presiden Jokowi dalam sejumlah
forum internasional kontras dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan
Indonesia sebagai negara besar. Namun, Presiden Jokowi tampaknya berhenti
sampai pada pernyataan itu. Indonesia, yang memang dalam berbagai segi
merupakan negara besar, bertanggung jawab memainkan peran lebih besar dalam
kancah internasional. Sebagai negara besar, Indonesia memiliki bobot dan daya
tekan (leverage) dalam percaturan internasional. Dalam bahasa studi hubungan
internasional hal itu disebut punch its weight—”menonjok” sesuai bobotnya
yang besar.
Untuk itu, Presiden Jokowi sepantasnya
mengambil inisiatif agar Indonesia lebih aktif dalam diplomasi internasional
guna menciptakan dunia lebih damai dan adil. Dengan begitu, kebesaran
Indonesia tidak sekadar retorika belaka.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar