Panca
Wajib Reformasi Hukum
Denny Indrayana ;
Guru Besar Hukum Tata Negara
UGM; Visiting Professor pada Melbourne
Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne
|
DETIKNEWS, 27 Oktober
2016
Banyak isu hukum yang bisa dicatat dalam
minggu ini. Minggu lalu, setelah mendampingi Profesor Moh. Mahfud MD di
Adelaide, kami kembali berdiskusi tentang berbagai isu aktual di Melbourne
University Law School, sebelum akhirnya membahas isu dwi kewarganegaraan di
Monash University.
Awal minggu ini, rekan-rekan Pusat Kajian Anti
(PuKAT) Korupsi Fakultas Hukum UGM dengan sukses menyelenggarakan
Anti-Corruption Summit II, setelah yang pertama diadakan pada tahun 2005,
juga di UGM, Yogyakarta. PuKAT Korupsi sendiri terbentuk berdasarkan salah
satu hasil ACS I yang merekomendasikan pembentukan pusat kajian antikorupsi
di fakultas hukum seluruh Indonesia, guna menguatkan gerakan antikorupsi
berbasis kampus. Lalu kemarin, di Australian National University, saya kembali
mempresentasikan pengalaman pemberantasan korupsi di era Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.
Semua isu di atas menarik untuk dijadikan
catatan kamisan. Namun, setelah menimbang-nimbang, saya memutuskan untuk
kembali menuliskan (lagi-dan-lagi) isu reformasi hukum. Beberapa saat yang
lalu, Presiden Joko Widodo mengundang para ahli hukum ke Istana Negara. Dari
informasi yang saya dapat, Presiden mengatakan, memasuki tahun ketiga
pemerintahannya, Beliau akan lebih fokus pada agenda reformasi hukum. Pertemuan
dengan Presiden itu ditindaklanjuti oleh Menkumham dengan mengadakan beberapa
FGD, terakhir rabu lalu, dengan kembali mengundang para Begawan hukum di
Bogor.
Catatan Kamisan yang pendek ini tidak akan
mampu mengulas seluruh isu hukum di tanah air dan kompleksitasnya. Namun,
bersamaan dengan momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober yang akan kita peringati
besok, saya ingin menegaskan bahwa reformasi hukum adalah sumpah bangsa ini
yang masih memerlukan banyak pembenahan—karena itu, setiap ikhtiar untuk berfokus
pada perbaikan carut-marutnya dunia hukum kita haruslah diapresiasi.
Seberapa carut-dan-kacrutnya kah kondisi hukum
kita? Banyak cara mengukurnya. Namun izinkan saya hanya menyampaikan
fakta-fakta sederhana ini. Para pimpinan lembaga tinggi negara kita sebagian
besar terjerat masalah hukum dan etika, semuanya terkait dengan persoalan
integritas dan antikorupsi. Pada jajaran yudikatif (bukan judicaThief), ada
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang menjalani hukuman penjara seumur hidup
karena kasus korupsi, ada pula yang dihukum melanggar etika karena memberikan
katabelece yang kolutif.
Di Mahkamah Agung, berbagai kasus terkait
makelarisasi perkara sedang pada tahap proses penegakan hukum. Ada panitera,
hakim, mantan Sekretaris MA yang disinyalir terlibat. KPK lagi-lagi
menghadapi tantangan yang tidak ringan untuk mengungkap mafia besar dibalik
jual-beli perkara di MA tersebut. Di cabang kekuasaan legislatif (bukan
legislaThief), saat ini, hanya Ketua MPR Zulkifli Hassan yang tidak terjerat
persoalan hukum. Ketua DPD sedang berkasus di KPK, sedang Ketua DPR beberapa
saat yang lalu berhenti karena persoalan etika dan dugaan tindak
pidana—meskipun terakhir mendapatkan angin segar melalui putusan MK yang
menyoal bukti rekaman "papa minta saham". Di luar itu, menurut data
penanganan kasus di ACCH-KPK, sampai tanggal 31 Agustus 2016, ada 121 anggota
DPR/DPRD yang terjerat kasus korupsi.
Pada cabang eksekutif (bukan execuThief),
masih dari data ACCH-KPK, ada 24 kepala lembaga/kementerian—termasuk mantan
menteri, 17 gubernur dan 50 bupati/walikota/wakilnya yang terjerat kasus
korupsi. Di lembaga audit negara, Ketua BPK telah diputuskan dan dijatuhi
sanksi pelanggaran etika terkait Panama Paper.
Dengan jeratan hukum yang dihadapi para
pimpinan lembaga negara itu—apalagi semuanya terkait persoalan integritas dan
antikorupsi, maka kita memang sudah pada tahap darurat reformasi hukum,
bahkan tidak keliru pula untuk berpendapat kita perlu revolusi hukum, yaitu
perbaikan dan perombakan mendasar di seluruh bidang penegakan hukum di tanah
air. Untuk itu, saya menawarkan panca wajib reformasi hukum berikut: 1)
reformasi bukan restorasi kostitusi; 2) pemberantasan (combating) bukan
perlindungan (protection) korupsi; 3) penguatan demokrasi, dan bukan
duitokrasi (pemerintahan dari-oleh-untuk duit); 4) penegakan hukum dan bukan
pengampunan pelanggaran HAM; dan 5) redistribusi dan bukan sentralisasi
kepemilikan aset.
Panca wajib reformasi hukum di atas
mensyaratkan perubahan dan perombakan total—mengutip Lawrence M. Friedman—substansi,
struktur dan kultur hukum. Karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah
reformasi lanjutan konstitusi, dan bukan justru restorasi konstitusi kita
kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen. Dalam konteks itulah, ide memunculkan
lagi syarat "Indonesia asli" untuk menjadi presiden, adalah salah
pemikiran yang sebaiknya ditolak, karena mengembalikan nuansa diskriminatif
kolonial yang memisahkan warga negara Indonesi menjadi tiga kasta: Eropa,
Timur Asing dan Pribumi. Pengotakan yang diskriminatif demikian harus kita
tolak, termasuk dengan cukup mensyaratkan presiden adalah warga negara sejak
kelahirannya (natural born citizen), sebagaimana sekarang diatur dalam Pasal
6A UUD 1945 pasca amandemen.
Reformasi lanjutan konstitusi itu mencakup
penguatan sistem kontrol, penegasan visi antikorupsi, perlindungan
lingkungan, dan penegasan keIndonesiaan dalam keberagaman. Terkaitan
penguatan sistem saling-kontrol-saling-imbang, DPD perlu diberikan kewenangan
yang lebih setara dengan DPR, agar kita konsisten menerapkan bikameral yang
efektif. Termasuk dalam penguatan checks and balances adalah merubah sistem
seleksi pimpinan BPK yang saat ini dimonopoli DPR, dengan lebih melibatkan
Presiden dan panitia seleksi independen yang kompeten dan berintegritas.
Karena rekrutmen BPK yang monopolistik demikian berkontribusi pada hasil
seleksi yang kolutif dan cenderung tidak sejalan dengan semangat BPK sebagai
salah satu lembaga yang harus menegakkan agenda antikorupsi.
Terkait penegasan visi antikorupsi, KPK perlu
diangkat menjadi organ konstitusi, sehingga menghilangkan stigmanya sebagai
lembaga ad hoc, tetap dengan kewenangan pencegahan dan penindakan yang luar
biasa. Soal perlindungan lingkungan saya sepaham dengan Profesor Jimly
Asshiddiqie bahwa green constitution adalah penguatan konstitusionalisasi
norma hukum lingkungan ke dalam konstitusi. Dengan demikian, prinsip
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan perlindungan
terhadap lingkungan hidup menjadi punya pijakan lebih kuat. Karena itu, green
constitution perlu mengintrodusir terminologi dan konsep yang disebut dengan
ekokrasi (ecocracy) yang menekankan pentingnya kedaulatan lingkungan.
Terakhir soal penegasan konstitusi untuk
keIndonesian yang beragam, saya mengusulkan tidak hanya soal NKRI yang menjadi
norma konstitusi yang tidak dapat diubah (non-amendable), tetapi yang juga
sebaiknya tidak boleh diubah adalah soal Indonesia adalah negara beragama
berdasarkan Pancasila, tetapi bukan negara agama. Soal ini, tentu harus
didiskusikan dengan tenang demi menjaga keutuhan kita sebagai bangsa yang
beragam, bangsa yang berbhineka.
Panca wajib kedua reformasi hukum adalah
pemberantasan dan bukan perlindungan korupsi. Dalam agenda ini, target utama
adalah menghadirkan hukum yang betul-betul adil, dan sama sekali bukan obyek
yang diperjualbelikan. Momentum pemberantasan pungli yang sekarang
dicanangkan Presiden Jokowi, salah satunya harus diarahkan bagi pemberantasan
mafia peradilan oleh oknum hakim, jaksa, polisi, advokat, panitera dan
makelar kasus lainnya yang sudah sangat merusak marwah dunia hukum kita.
Hukum dan keadilan bukan barang dagangan!
Panca wajib ketiga reformasi hukum adalah
penguatan demokrasi dan bukan duitokrasi. Dalam hal ini fokusnya adalah
melakukan reformasi partai politik di tanah air. Parpol adalah aktor utama
kehidupan politik di tanah air. Maka aturan dan penegakan hukum kepartaian
kita harus diarahkan untuk menghadirkan parpol yang mandiri dari sisi
keuangannya dan berkemampuan untuk membangun sistem kaderisasi dan suksesi
yang makin merekrut orang-orang berintegritas dan antikorupsi.
Panca wajib keempat reformasi hukum adalah
penegakan hukum dan bukan pengampunan pelanggaran HAM. Soal pelanggaran HAM
kita masih dibeluti dengan kecenderungan impunitas. Ambil contoh aktual,
hingga saat ini pelaku utama pembunuhan Begawan Pejuang HAM Munir disinyalir
masih bebas, bahkan mungkin makin menguat pengaruh dan afiliasi politiknya.
Konsep forgive but not forget belum bisa kita terapkan untuk kasus
pelanggaran HAM di tanah air, karena instrumen pencarian kebenaran dan
rekonsiliasi belum pernah kita lakukan secara tuntas. UU KKR yang pernah
menjadi tumpuan harapan telah dibatalkan MK, dan belum ada gantinya.
Panca wajib kelima reformasi hukum adalah soal
redistribusi dan bukan sentralisasi aset, dalam soal ini kembali saya kutip
data mutakhir World Bank tentang konsentrasi kekayaan yang menunjukkan
kondisi ketimpangan ekonomi yang amat tinggi. Indonesia menjadi negara
peringkat ketiga terburuk setelah Rusia dan Thailand. Satu persen rumah tangga
Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Jika angkanya dinaikkan
menjadi 10 persen terkaya, maka mereka menguasai 77 persen kekayaan nasional.
Jadi 90 persen penduduk Indonesia sisanya hanya menikmati tidak sampai
seperempat kekayaan nasional. Dalam hal ini, target utama reformasi hukum
adalah menegaskan lagi agenda reformasi agraria, utamanya kepemilikan tanah
kepada kaum marjinal. Tata ruang kita yang sudah amburadul dan dikuasai oleh
sangat gelintir pengusaha yang berkolusi dengan pengusaha, harus kembali
digelontorkan kepada mayoritas rakyat, pemilik tunggal kedaulatan republik.
Demikianlah sejumput pemikiran dan masukan yang ingin saya sumbangsihkan bagi
ikhtiar reformasi hukum yang kabarnya akan menjadi agenda utama tahun ketiga
Presiden Jokowi.
Satu catatan penting terakhir, dalam
sejarahnya, tantangan reformasi hukum tidak hanya akan datang dari luar
presiden, tetapi tidak jarang dari dalam lingkaran utama presiden sendiri.
Dengan konsolidasi politik yang makin kuat, termasuk bergabungnya partai
Golkar ke pemerintahan setelah terpilihnya Ketua Umum Setya Novanto,
pertanyaannya apakah makin terbuka peluang bagi Presiden Jokowi untuk
mendorong reformasi hukum yang mendasar dan antikorupsi? Di bidang HAM,
dengan jajaran kementerian yang ada sekarang, termasuk beberapa tokoh kunci
di sekitar Presiden, apakah pelanggar HAM akan diproses hukum, atau makin
terlindungi? Saya yakin, Presiden Jokowi sedang berpikir dan berusaha keras,
dan semua anak bangsa harus berdiri di barisan pendukungnya, agar reformasi
hukum—utamanya Panca Wajib di atas, betul-betul menjadi kenyataan.
Keep on fighting for
the better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar