Kalkulasi
Ekonomi Industri Gula
Adig Suwandi ;
Praktisi Agribisnis
|
KOMPAS, 21 Oktober
2016
Terseretnya ketua
Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman dalam kasus dugaan alokasi
pendistribusian gula impor seolah menjadi justifikasi betapa kuatnya tarik
ulur kepentingan di antara para pemburu rente (rent seekers) pada mata rantai
impor bahan pangan setelah diketahui menghasilkan banyak uang.
Namun, apabila
ditelusuri lebih dalam lagi, semuanya bersumber dariketidakmampuan Indonesia
memasok kebutuhan gula dari produksi lokal meskipun dari sisi sumber daya
lahan dan agroklimat negeri ini menebar potensi terwujudnya kedaulatan
pangan.Impor menjadi opsi tak terelakkan ketika terjadi disparitas begitu
besar antara kebutuhan dan produksi.
Harga murah, mutu
lebih baik, dan dapat didatangkan kapan pun adalah daya tarik tersendiri
produk impor yang selalu menggoda siapa pun.
Permasalahan bertambah
kompleks akibat belum adanya keterpaduan di antara para pemangku kepentingan.
Usulan ihwal urgensi kebijakan gula terintegrasi dan melalui satu pintu
hingga kini juga belum jelas responsnya. Setiap kementerian masih terjebak
ego sektoral sehingga permasalahan gula kurang mendapat perhatian saksama.
Hanya ketika harga
melambung dan bergerak seperti bola liar, semua pihak dilanda kepanikan
kolosal. Upaya meredam gejolak harga pun tak dapat dilakukan secara cepat. Selain
negara tidak memiliki stok dalam jumlah cukup yang dapat dilepas setiap
terjadi kekurangan pasok, harga pun telanjur diserahkan ke mekanisme pasar.
Perilaku negara dalam
mengendalikan hargaseolah kehilangan efikasinya. Paling banter negara hanya
bisa menugaskan korporasi tertentu melakukan gerakan stabilisasi harga dengan
kompensasi diberikannya lisensi impor. Dalam jangka panjang, kondisi demikian
jelas tidak bisa dipertahankan, apalagi posisi Indonesia sebagai produsen
sekaligus importir gula pastilah gejolak akan muncul dari berbagai penjuru.
Setiap eksekusi
keputusan dipersepsikan berpotensi merugikan pelaku ekonomi tertentu,
terutama petani dan pabrikan gula berbahan baku tebu yang pasti
terpolarisasikan apabila tidak mendapatkan perlindungan memadai dari gempuran
liberalisasi perdagangan tidak fair.
Basis daya saing
Dewasa ini, 62 pabrik
gula (PG) berbahan baku tebu di Indonesia baru bisa menghasilkan paling
banyak 2,5 juta ton gula untuk keperluan konsumsi langsung. Itu pun
berfluktuasi dan bisa lebih rendah saat terjadi gangguan meteorologis dan
dipicu berkurangnya areal budi daya tebu jika pada masa panen sebelumnya
harga tidak bersahabat bagi petani.
Untuk memenuhi
kebutuhan 2,8 juta ton, negara bisa melakukan impor gula kristal putih secara
langsung, tetapi terkadang mengalihkannya ke bentuk gula kristal mentah (raw
sugar) dengan harapan dapat diolah PG yang ada saat ini (existing) sekaligus
upaya strategis memaksimalkan kapasitas menyusul berkurangnya tebu. Di luar
domain gula konsumsi, terdapat sekitar 3,0 juta ton gula rafinasi (refined
sugar), yakni gula untuk keperluan bahan baku industri makanan/minuman
berbahan baku raw sugar impor.
Apa pun jenis dan
spesifikasinya, impor gula tetap menguras devisa dalam jumlah besar sekaligus
menutup peluang pengembangan ekonomi regional. Namun, kita juga tak dapat
berbuat banyak menyusul tak mudahnya mendapatkan lahan untuk menunjang
pembangunan PG baru dan rendahnya efektivitas program peningkatan
produksipada PG yang ada saat ini. Dari aspek operasional, PG yang ada saat
ini tampak kedodoran menghadapi liberalisasi perdagangan, tak hanya gula
tetapi juga tebu di lapangan.
Kompetisi di antara PG
untuk mendapatkan tebu cenderung mengarah pada gontokan bebas. Fakta
menunjukkan, tebu hanya unggul di sejumlah daerah, sementara di sebagian
besar wilayah historis justru kalah bersaing dibandingkan komoditas
agribisnis lain, terutama tanaman pangan dan hortikultura yang sudah bisa
menghasilkan pengembalian investasi (return on investment) hanya dalam
bilangan waktu empat bulan. Bandingkan dengan tebu, perlu waktu tunggu selama
setahun.
Model bisnis dalam
industri gula berbentuk kemitraan antara petani dan PG melalui pola bagi
hasil gula dan tetes kini tengah diuji keandalannya oleh keinginan sebagian
petani dan pedagang tebu dengan pola beli tebu secara putus. Secara selintas,
potensi konflik terkait perhitungan kadar gula (rendemen) dapat dieliminasi
karena begitu tebu masuk PG, langsung sudah ditetapkan harga belinya.
Dengan begitu, risiko
jika terjadi selisih antara rendemen contoh dan realisasi diambil pihak PG.
Petani juga dapat dengan cepat mendapatkan uang dari hasil penjualan tebu
tanpa harus menunggu terjualnya gula dengan harga penuh ketidakpastian.
Pembelian tebu
memungkinkan semua gula berada dalam kendali PG sehingga memudahkan negara
melakukan program stabilisasi jika diketahui harga naik hingga di luar batas
kewajaran. Dalam kondisi terjepit dan terpaksa, tidak ada pilihan lain bagi
PG kecuali mengadopsi pola beli tebu meskipun dikemasbagi hasil melalui
pemberian jaminan pendapatan kepada pemasok.
Setidaknya, pola beli
tebu dilakukan untuk sejumlah tertentu yang jika tak dilakukan, kapasitas
optimal menganga menyusul kurangnya pasokan dari petani sekitar. Dalam
praktik bisnis, PG telah melakukan kalkulasi ekonomi di bawah kondisi
keterpaksaan membelisebagian tebu agar kerugian terlalu besar bisa dihindari.
Meskipun pola yang
sudah lazim diterapkan di India ini dinilai kurang mengedukasi petani dalam
meningkatkan daya saing agribisnis tebu, setidaknya adanya alternatif di luar
pola lama akan memunculkan perlunya redesain model bisnis yang lebih
menguatkan posisi petani.
Publik memahami bahwa
fenomena tebu wisata dan cenderung tidak dipasok ke PG terdekat, baik sebagai
imbas persepsi efisiensi antar-PG tidak sama atau maksimalisasi profit,
secara makroekonomi kurang menguntungkan. Jalanan menjadi padat dan ramai
oleh truk pengangkut tebu yang seharusnya tidak perlu terjadi. Dari model
bisnis baru tersebut, upaya merekonstruksi peran dan responsibilitas setiap
pihak akan mendorong layanan lebih baik dan cepat sejalan tendensi era
digitalisasi.
Jebakan baru
Skenario tentang
kapasitas teknis PG yang ada saat ini untuk menghasilkan gula berlimpah telah
dibuat. Luas areal saat ini berkisar 430.000 hektar. Apabila dapat
diangkatsedikit ke arah 500.000 hektar, dalam kalkulasi aritmatika sederhana
dengan asumsi produktivitas 8 ton gula per hektar, akan dapat dihasilkan
setidaknya 4 juta ton.
Jumlah tersebut untuk
sementara cukup guna memenuhi kebutuhan konsumsi dan sebagian dialokasikan
untuk bahan baku industri gula rafinasi sehingga impor raw sugar pun
berkurang. Namun, angka ini bisa terkesan jebakan retorika mengingat
produktivitas sekarang baru kisaran 6 ton gula per hektar.
Angka moderat, areal
450.000 hektar dengan produktivitas 7,5 ton gula per hektar, akan
menghasilkan 3,4 juta ton gula.
Revitalisasi jelas
tidak bisa dilakukan secara serampangan.Aspek teknis, ekonomis, dan ekologis
menjadi pertimbangan dengan menyiasati fakta obyektif ketersediaan bahan baku
dan potensi pengembangannya. Sebagian besar PG warisan kolonial yang sejak
satu dekade dirundung masalah efisiensi rendah umumnya berskala kecil kurang
dari 2.000 ton tebu per hektar (ton cane per day/TCD), jarak antar-PG kurang
dari 10 kilometer, daya saing tebu jeblok, teknologi sudah uzur,
overstaffing, dan posisi geografis mengarah ke kota.
Secaraevolutif, PG
pada kelompok tersebut berguguran alamiah dalam bentuk beku operasi atau
tidak melaksanakan giling. Opsi rasional mengacu kalkulasi ekonomi disertai
solusi menyeluruh atas keberadaan PG menjadi kata kunci. Inovasi dan
improvisasi diperlukan dengan pengarusutamaan teknologi budidaya untuk bisa
diadaptasikan pada lahan-lahan marginal yang selama ini bukan merupakan
sentra penyangga ketahanan pangan. Negara harus bertanggung jawab mengingat
sebagian PG dalam kelompok tersebut berada dalam naungan BUMN.
Untuk menutup kebutuhan
gula rafinasi, setidaknya diperlukan tambahan PG baru sebanyak 16 unit dengan
asumsi masing-masing berkapasitas minimal 8.000 ton tebu sehari (ton cane per
day) diikuti kemampuan produksi masing-masing 150.000-200.000 ton setahun.
Kebutuhan lahan sekitar 600.000-800.000 hektar. Upaya pembangunan PG baru
terasa jauh panggang dari api akibat tidak mudahnya investor dalam
mendapatkan lahan bebas permasalahan.
Kehadiran negara
diperlukan di sini guna memastikan bahwa swasembada telah menjadi pilihan
politik yang diimplementasikan melaluipeningkatan produksi, baik dari aspek
revitalisasi PG existing berikut penataan format bisnisnya dan pembangunan PG
baru secara terintegrasi.
Jalan panjang,
menikung,dan berliku mewujudkan swasembada gula tampaknya harus dilalui
kendati tidak ada hal yang tidak mungkin. Keunggulan kompetitif sumber daya
alam Indonesia berikut dukungan agroklimatnya memungkinkan negeri tercinta
berswasembada, bahkan ekspor gula dan bahan pangan utama lainnya.
Impor gula akan
menjadi kegiatan permanen mendestruksi semangat kewirausahaan petani tebu dan
kompetensi teknis PG, kecuali kalau kita berkeinginan tetap bergantung pada
surplus di pasar global dengan segala konsekuensinya. Suka atau tidak,
pastilah semuanyamenuntut kejelasan sikap tentang penataan PG secara lebih
rasional dan akuntabel. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar