Reformasi dan Daya Saing Ekonomi
A Prasetyantoko ;
Rektor Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya Jakarta
|
KOMPAS, 17 Oktober
2016
Oliver Hart dan Bengt
Holmstrom menerima Hadiah Nobel Ekonomi 2016 atas kontribusinya pada teori
kontrak yang kadang tak sempurna. Bukan saja pasar, institusi (kontrak) pun
mengandung "ketidaksempurnaan". Oleh karena itu, antara pasar dan
institusi (intervensi) harus dijalankan dalam komposisi yang pas dan sesuai
situasi.
Pemahaman ini amat
diperlukan guna memahami paket kebijakan ekonomi. Kini, paket deregulasi
dalam rangka reformasi ekonomi segera dilengkapi dengan paket reformasi hukum
sebagai bagian dari perombakan institusi. Presiden Joko Widodo tidak pernah
puas dengan wacana. Minggu lalu, seusai rapat pembentukan Tim Operasi
Pemberantasan Pungli, Presiden langsung melakukan inspeksi mendadak di
Kementerian Perhubungan terkait operasi tangkap tangan praktik pungutan liar
(pungli).
Paket kebijakan
reformasi hukum tidak bisa dipisahkan dari 13 paket kebijakan ekonomi yang
telah digulirkan. Fokus pada pungutan liar sangat relevan karena sudah sangat
mengakar.
Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati pernah menyebutkan bahwa belum ada negara yang begitu kuat
melakukan reformasi di tengah situasi ekonomi yang normal. Teori siklus
bisnis yang dipelopori Schumpeter mengajarkan bahwa perubahan radikal umumnya
dilakukan saat situasi sangat sulit pada pusaran krisis. Dalam hal ini,
Indonesia adalah pengecualian.
Meski sederet
reformasi dilakukan, hasilnya sering kurang menggembirakan sehingga kerja
keras masih harus dilanjutkan. Peringkat daya saing global dalam survei
2016-2017 oleh Forum Ekonomi Dunia menunjukkan kita melorot empat peringkat
dari peringkat ke-37 menjadi ke-41.
Meski hasilnya
mengecewakan, bisa dipahami. Ada tiga alasan penting mengapa kita turun.
Pertama, dampak paket kebijakan ekonomi belum bisa dirasakan. Jika pemerintah
terus konsisten, mungkin baru bisa ditangkap dalam survei tahun depan. Kedua,
meski kita terus berbenah, negara lain lebih cepat.
Hampir semua negara
ASEAN mengalami penurunan peringkat, kecuali Kamboja. Thailand turun dua
peringkat, Malaysia tujuh peringkat, dan Filipina terperosok 10 peringkat.
Bahkan, Vietnam pun turun empat peringkat dari peringkat ke-54 menjadi
peringkat ke-60.
Hanya Kamboja yang
naik satu peringkat menjadi peringkat ke-89. Pelambatan ekonomi global
memengaruhi lingkungan makro dan berdampak pada penurunan peringkat hampir
semua negara di ASEAN. Sementara beberapa negara di kawasan Afrika progresif
berbenah sehingga daya saing terdongkrak. Botswana naik tujuh peringkat dan
Afrika Selatan naik dua peringkat.
Non-ekonomi
Ketiga, dalam
peringkat daya saing, ada banyak faktor struktural nonekonomi yang belum
disentuh reformasi. Paling tidak ada tiga pilar persoalan yang perlu
diperhatikan.
Pertama, pilar
efisiensi pasar tenaga kerja yang berada pada peringkat ke-108. Kedua, pilar
pendidikan dasar dan kesehatan yang menempati peringkat ke-100. Ketiga, pilar
pendidikan tinggi dan pelatihan di peringkat ke-63.
Ketiga pilar ini
nyaris belum tersentuh reformasi. Pemerintah masih fokus pada percepatan
infrastruktur dan reformasi bidang ekonomi dan sekarang hukum. Hasilnya mulai
bisa dirasakan, peringkat infrastruktur kita sudah berada di peringkat ke-60,
sementara efisiensi pasar di peringkat ke-58.
Paket kebijakan
ekonomi dan hukum memang sangat diperlukan, tetapi tak mencukupi. Persoalan
struktural di bidang pendidikan dan kesehatan ternyata erat kaitannya dengan
kemampuan kita bersaing secara global. Konsultan swasta Deloitte Touche
Tohmatsu Limited (DTTL) baru saja merilis survei dua tahunan Global
Manufacturing Competitiveness Index (GMCI). Bedanya dengan survei daya saing
global, survei ini fokus pada indeks daya saing sektor manufaktur saja. Dalam
survei ini, Indonesia berada di peringkat ke-19, di bawah Vietnam (18) dan
Malaysia (17).
Dalam laporan itu juga
dibahas berakhirnya era Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok. Brasil dan Rusia
terus terpuruk, peran Tiongkok menurun, tetapi India akan terus melejit. Keempat
negara itu mempunyai nasib berbeda. Laporan ini juga memproyeksikan ada lima
negara yang akan sangat menjanjikan, yaitu Malaysia, India, Thailand,
Indonesia, dan Vietnam (MITI-V). Mereka disebut sebagai "The Mighty
Five".
Dalam laporan hasil
survei ini juga diungkap pentingnya daya inovasi, talent, dan ekosistem
industri. Jika dikaitkan dengan hasil survei daya saing global, terlihat
persoalan pendidikan menjadi faktor penting. Faktor paling penting berhasil
tidaknya sektor manufaktur adalah inovasi dan kualitas tenaga kerja.
Sangat jelas, jika
Indonesia ingin menaikkan peringkat daya saingnya, reformasi pendidikan dan
ketenagakerjaan tak bisa dihindari. Reformasi ekonomi dan hukum tetap
diperlukan. Namun, kinerja ekonomi tidak akan meningkat signifikan sesuai
target jika tidak diikuti reformasi pendidikan, kesehatan, dan
ketenagakerjaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar