Jalan
Ekonomi Presiden Jokowi
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS, 25 Oktober
2016
Dua tahun silam, ketika Presiden Joko Widodo
memulai tugasnya pada 20 Oktober, lalu membentuk kabinet 27 Oktober 2014,
saya berpikir betapa ”beruntungnya” dirinya. Bayangkan, pada pemerintahan
sebelumnya, perekonomian Indonesia begitu terpukul oleh harga minyak yang
menggila hingga di atas 100 dollar AS per barrel. Konsekuensinya, anggaran
pemerintah mengalami tekanan hebat (fiscal distress).
Pemerintah harus menganggarkan Rp 350 triliun
hanya untuk subsidi energi, yang terdiri dari subsidi BBM Rp 250 triliun
ditambah subsidi listrik Rp 100 triliun. Presiden saat itu, Susilo Bambang
Yudhoyono, tidak berani mengambil risiko menurunkan subsidi. Dia memilih
membiarkan APBN terkoyak.
Beruntung bagi Presiden Jokowi, ketika dia
menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi pada 14 November 2014, harga
minyak dunia juga berangsur turun. Dengan kata lain, Jokowi mempunyai ruang
fiskal yang cukup untuk membiayai proyek-proyek impiannya, terutama
pembangunan infrastruktur, selain program jaminan sosial (social security)
kesehatan dan pendidikan. Jokowi naik menjadi presiden pada momentum yang
amat baik, yakni saat harga minyak dunia sedang menapaki jalan menurun. Ini
akan menjadi energi besar bagi ruang fiskal kita.
Hipotesis Krugman
Namun, dugaan saya tidak sepenuhnya benar.
Penurunan harga minyak yang semula ”cuma” 20-30 persen ternyata berlanjut
kian parah hingga 70 persen. Peraih Nobel, Paul Krugman, menulis, ”Jika harga
minyak turun 10-20 persen, itu akan menguntungkan seluruh dunia karena biaya
produksi akan turun. Namun, jika harga minyak turun berlebihan hingga 70
persen, itu justru akan memukul perekonomian dunia” (”Oil Goes Nonlinear”,
The New York Times, 16/1/2016).
Hipotesis Krugman tersebut ternyata valid dan
sudah terbukti di Indonesia. Harga minyak pernah terjun bebas ke 27 dollar AS
per barrel (Februari 2016), atau turun 70 persen dari posisi 2014, yang berakibat
menyakitkan bagi perekonomian Indonesia. Terlalu rendahnya harga minyak
menyebabkan harga komoditas substitusinya ikut terjun bebas. Harga batubara
dan kelapa sawit yang pernah menjadi primadona saat krisis global 2008-2009,
anjlok.
Akibatnya, daya beli sekian banyak orang yang
terlibat pada industri ini merosot. Ini merembet ke industri lain, melalui
proses contagion effect. Secara agregat, terjadi penurunan permintaan.
Likuiditas yang mestinya digunakan untuk transaksi malah menumpuk di laci bank-bank
sebagai rekening ”dana pihak ketiga”. Selanjutnya, bank-bank tersebut justru
kini dihinggapi ketakutan untuk mendorong ekspansi kredit karena
bayang-ancaman kredit bermasalah. Industri perbankan pun cenderung stagnan.
Lesunya daya beli tecermin dari dua industri
besar yang biasanya dipakai sebagai indikator gairah perekonomian, yakni
otomotif dan properti. Penjualan mobil tahun ini diperkirakan lebih rendah
daripada tahun lalu, atau kurang dari 1 juta unit. Normalnya, penjualan mobil
pernah mencapai 1,2 juta unit per tahun. Sepeda motor juga sama. Dari level
penjualan normal 8 juta unit per tahun kini diperkirakan hanya 6 juta unit
setahun, atau bahkan kurang.
Akibatnya, keinginan Presiden Jokowi untuk
merealisasikan ”tahun 2016 ini dapat disebut sebagai tahun percepatan
pembangunan nasional”, sebagaimana disampaikan pada pidato kenegaraan dalam
rangka ulang tahun ke-71 Republik Indonesia, menjadi kian sulit. APBN 2016
akan defisit sekitar 2,5 persen terhadap produk domestik bruto, dan
pertumbuhan ekonomi tertahan di level 5 persen.
Infrastruktur dan
faktor Papua
Meski jalan perekonomian Presiden Jokowi
tampak terjal, pemilihan prioritasnya sudah benar. Ada tiga fokus besar,
yakni pembangunan infrastruktur, pembangunan manusia, dan relaksasi regulasi
(deregulasi) di banyak sektor. Semua hal itu akan bermuara pada peningkatan
daya saing. Meski umumnya semua kebijakan tersebut berdimensi jangka menengah
dan panjang, hal itu sudah mampu meniupkan sentimen positif pasar.
Percepatan pembangunan infrastruktur dilakukan
dengan membangun 52 proyek jalan tol, 17 proyek bandara, 13 proyek pelabuhan,
dan 19 proyek kereta api. Daftar proyeknya memang banyak karena memang harus
mengatasi ketertinggalan. Masalah dwelling time yang masih terlalu tinggi di
Tanjung Priok, misalnya, menurut saya tak mudah diselesaikan karena pelabuhan
ini sudah jenuh, melampaui kapasitas. Cara lebih masuk akal tentunya adalah
pembangunan pelabuhan baru di sebelah timur Jakarta, yang direncanakan di
Kabupaten Subang. Tetapi hal itu akan makan waktu.
Terhadap semua program ini, The Wall Street
Journal (18/4/2016) mengapresiasi Indonesia sebagai negara emerging market
yang merespons pelambatan ekonomi global dengan mengakselerasi pembangunan
infrastruktur. Hal ini akan mendorong kenaikan permintaan agregat yang bisa
bermuara pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini berbeda dengan jalan yang ditempuh
Brasil. Brasil juga mendorong infrastruktur, tetapi sayangnya hal itu diikuti
dengan defisit fiskal yang terlalu besar. Brasil menderita defisit hingga 10
persen terhadap PDB. Jelas angka ini tidak bisa diterima karena tak bisa
menggaransi keberlanjutan fiskal.
Presiden Jokowi secara khusus memberi
perhatian pada pembangunan Papua. Inilah untuk pertama kalinya seorang
presiden memerintahkan membangun jalan untuk membuka konektivitas kota-kota
di pesisir dengan di pegunungan Papua. Dalam sebuah pertemuan para pengamat
ekonomi dengan Presiden, saya katakan, untuk membangun infrastruktur Papua
tidak perlu dilakukan kalkulasi kelayakan studi. Kalau itu dilakukan,
hasilnya hampir pasti tidak layak. Dengan jumlah penduduk Papua yang cuma dua
juta orang, pasti sulit membangun jalan dan rel kereta api yang bisa layak
secara finansial. Membangun infrastruktur Papua adalah upaya besar untuk
mengatasi ketertinggalan, menurunkan harga semen, harga BBM, dan seterusnya.
Karena itu, saya agak menyayangkan ketika
muncul rencana penundaan pembangunan jalan dan rel kereta api di Papua karena
terimbas pemangkasan APBN. Saya masih berharap agar hasil uang tebusan
program amnesti pajak yang mencapai Rp 97 triliun—dan bisa jadi menembus Rp
100 triliun pada akhir tahun—akan menjadi ”energi baru” bagi APBN 2016.
Mudah-mudahan hasil amnesti pajak ini masih bisa dialokasikan untuk membangun
Papua yang sudah lama kota-kotanya terisolasi dan hanya dapat terhubung
melalui udara dengan kota lainnya. Akibatnya, harga semen bisa sejuta rupiah,
dan harga BBM puluhan ribu rupiah. Hal ini menyebabkan Papua menjadi wilayah
yang tidak memiliki daya saing tinggi.
Konsolidasi perbankan
Salah satu obsesi besar Presiden Jokowi adalah
menurunkan suku bunga bank. Fakta menunjukkan bahwa suku bunga bank di
Indonesia—baik suku bunga deposito maupun kredit—merupakan yang tertinggi di
Asia Tenggara. Karena itu, jika ingin bersaing dalam konteks Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEA), suku bunga juga harus diturunkan. Karena itu, berbagai
inisiatif dilakukan untuk menuju ke suku bunga rendah.
Momentum penurunan suku bunga itu kini tiba.
Berbekal inflasi yang tahun ini akan ”cukup jinak”, yakni 3,07 persen (year
on year September) dan 1,97 persen (year to date Januari-September 2016),
Bank Indonesia berani menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,75 persen. BI
berharap bank-bank segera menurunkan suku bunganya sehingga tahap berikutnya
adalah mendorong ekspansi kredit.
Namun, isu ini sebenarnya kompleks. Tidak
semudah membalikkan tangan. Pada dasarnya, industri perbankan kita sudah lama
bermasalah dengan keberadaan jumlah bank yang terlalu banyak (ada 118 bank
umum). Jumlah ini relatif stagnan dalam 10 tahun terakhir. Belum banyak
berubah, belum banyak terjadi aksi korporasi berupa merger dan akuisisi.
Padahal, sejak 10 tahun silam, sejak otoritas perbankan masih dipegang BI,
sudah disadari bahwa jumlah bank yang banyak menyebabkan inefisiensi.
Dari 118 bank, yang bisa disebut efisien
hanyalah 10-20 bank terbesar saja. Selebihnya adalah bank-bank kecil yang
dalam rangka merayu deposannya lebih banyak menggunakan daya tarik suku bunga
tinggi (price competition). Jadi, sepanjang bank-bank kita jumlahnya banyak
dengan ukuran (size) yang kecil-kecil, maka inilah sumber suku bunga tinggi
yang belum berhasil dienyahkan.
Menggabungkan bank-bank bukanlah pekerjaan
mudah. BI, dan sekarang Otoritas Jasa Keuangan, telah mengalaminya dalam
belasan tahun terakhir. Harus ada inisiatif raksasa untuk memulainya. Mau
tidak mau, hal ini mestinya dilakulan oleh pemerintah melalui empat bank
BUMN. Keempat bank bisa sekaligus digabung melalui skema merger, sebagaimana
dulu dialami Bank Mandiri yang dibentuk dari empat legacy bank BUMN. Bisa
pula empat bank BUMN saat ini digabung menjadi dua bank BUMN saja. Alternatif
lain: dibentuk holding company sebagai transisi menuju merger. Holding
company relatif lebih tidak sensitif dibandingkan merger.
Biasanya, inisiatif ini akan mengundang resistensi
yang tidak kecil. Hanya dengan gaya kepemimpinan yang kuat, baik oleh Menteri
BUMN dan bahkan oleh Presiden Jokowi, hal ini bisa dilakukan. Saat ini
pemerintah tengah memproses pembentukan holding company di sektor energi,
yang melibatkan Pertamina dan PGN. Di kemudian hari, hal ini bisa diterapkan
di industri perbankan. Tanpa keberanian melakukan konsolidasi bank (penciutan
jumlah bank), penurunan suku bunga sungguh masih terjal untuk diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar