Menduakan
Bahasa Sendiri
Gufran A Ibrahim ;
Profesor Antropolinguistik
Universitas Khairun, Ternate
|
KOMPAS, 29 Oktober
2016
Delapan puluh delapan tahun sudah usia Sumpah
Pemuda 1928 dan bahasa Indonesia telah menjadi bahasa kita. Ini ”anugerah
bahasa” luar biasa bagi bangsa ini. Sebab, pemilihan satu bahasa nasional di
antara ratusan bahasa daerah tersebut tanpa konflik dan disepakati jauh
sebelum kita menjadi bangsa merdeka.
Pilihan ini bukan sekadar peristiwa
linguistik, suatu peristiwa di mana sekelompok orang bersepakat menggunakan
satu bahasa bersama. Pemuda hebat-cerdas saat itu sesungguhnya sedang
menyiapkan titik berangkat yang memandu penghormatan atas kebinekaan, dengan
meletakkan ”bahasa kami”, bahasa daerah, yang ratusan jumlahnya itu ke dalam
kerangka ”bahasa kita”, bahasa Indonesia, sebagai titik-jumpanya.
Pilihan ini adalah ikhtiar profetik yang tidak
saja mengkhidmati kitaran historis saat itu, tetapi juga terbukti di kemudian
hari merupakan upaya perenial yang melampaui zamannya. Bukti nyata dari upaya
profetik-penerial itu adalah, kini, Indonesia yang berjumpa, bercakap,
memajukan diri, dan terus mengelola kebinekaan dengan menggunakan satu bahasa
kita: bahasa Indonesia.
Kuasa semantik
Dalam rentang masa 88 tahun, bahasa Indonesia
telah mengalami pencanggihan gramatika yang luar biasa melalui kuasa semantik
(semantic power) pemakainya.
Ilmuwan dan kaum cendekia telah membikin
bahasa Indonesia menjadi bahasa ilmu melalui reka-cipta kosakata dan
pencanggihan wacana ilmiah. Di tangan pakar dan cendekia, bahasa Indonesia
menjadi penghela ilmu.
Teknokrat, negarawan, dan politisi telah
membawa bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi dalam menumbuhkan
demokrasi. Sastrawan telah dengan hebatnya mengkreasi, mengeksplorasi,
menawarkan cara ”pengucapan” baru yang tidak saja semakin memperkaya
kosakata, tetapi juga tak hentinya menyodorkan keluhungan gaya dan laras
estetiknya.
Wartawan dengan daya pewartaannya, tidak saja
memberi kabar pada khalayak, tidak saja menggunakan kata dan kalimat, tetapi
lebih dari itu telah menemukan kata-kata baru, menemukan laras baru dan
semakin baru dalam kecanggihan pewartaannya. Wartawan telah menghidupkan
kata-kata yang nyaris ”mati” dalam lembaran kamus, mengeksplorasi kata-kata
baru, bahkan membikin idioma-idioma baru yang sebelumnya tak terbayangkan
dalam kesederhanaan bahasa Indonesia.
Bahasa kebencian
Tetapi dengan kuasa semantik itu pula, dalam
tahun-tahun terakhir ini, di saat sebagian dari kita semakin memilih berjumpa
di dunia maya, kita menyaksikan bahasa Indonesia telah dibawa ke tindak tutur
(speech act) yang ”buruk rupa”. Bahasa Indonesia telah disekap ke dalam ruang
personal, kelompok, bahkan dalam perseteruan warga daring (netizen) menjadi
bahasa yang defisit budi-bahasanya, kehilangan adab tuturnya.
Sekelompok manusia urban Indonesia, terdidik,
kawula muda, selapis generasi yang mungkin akan mengisi slot bonus demografi
pada tahun 2025 nanti, yang menyebut dirinya warga daring, telah dengan sadar
merayakan tuturan bernada ketus, cibir, hujat, dan saling menegasikan. Para
peraya—yang merayakan—kecibiran ini sedang menyekap bahasa Indonesia ke ranah
tutur personal-lokal dan mengabaikan prinsip-prinsip etik dan kesantunan.
Sudah begitu, bahasa mereka mendaku: ”aku
paling baik” dan ”kau yang buruk”, ”gua yang paling benar” dan ”lu yang
salah” dengan segala vokabulari performatifnya. Bahkan, dalam kedakuan itu,
para warga daring dengan begitu pongah dan tak malu-malunya mengklaim diri
sebagai pembenci (haters) saat
vis-á-vis dengan penyuka (lovers)
sebagai ”manusia seberang” yang dipersepsikan sebagai biang keburukan. Aku
adalah kebenaran dan kebaikan, kamu adalah kesalahan dan keburukan.
Bahkan, karena sebegitu dahsyatnya daya
sebar-tebar bahaya (tuturan) cibir, ketus, hujat, dan negasi, yang bisa
memberi efek kekacauan sosial dan instabilitas negara, Kepala Kepolisian
Negara RI pada akhir tahun 2015 pun sampai turun tangan mengeluarkan edaran
yang memastikan dan memaksa ujaran kebencian (hate speech) harus dihentikan.
Diduakan
Tak cukup dalam ujaran kebencian. Di ranah
lain pun dengan ”kekuasaan semantik” yang dimainkan pemilik modal—dengan
dalih bisnis dan klaim komunikasi global—bahasa Indonesia diduakan. Lihat
saja ruang-ruang publik kita di sejumlah kota besar di Indonesia. Penamaan
gedung, pusat belanja, pusat jajan, pusat kuliner, kluster, kondominium,
perhotelan, dan perkantoran penuh-sumpek dengan nama dalam bahasa asing.
Bahasa Indonesia yang telah dimarwahkan 88
tahun lalu dan menjadi perekat keindonesiaan kita telah disekap ke dalam
tempat yang tidak utama dalam ruang publik, dinomorduakan dengan ukuran
ortografi yang kecil dan tidak menarik pandang, bahkan diabaikan. Ruang
publik di kota-kota besar (mungkin juga kota kecil) kita sekarang seakan
kehilangan bahasa sendiri di negeri sendiri. Padahal, bukankah pengabaian
atas apa yang menjadi kekayaan bangsa adalah—meminjam terma Radhar Panca Dahana—menghina
bangsa sendiri?
Delapan puluh delapan tahun sudah bahasa
Indonesia merekat-kuatkan bangunan keindonesiaan, tetapi kini warga
daring—yang terdidik itu—justru menggunakannya untuk kemarahan, kejengkelan,
dan permusuhan. Delapan puluh delapan tahun sudah bahasa Indonesia menjangkau
jagat kesadaran kebangsaan kita, tetapi kini pemilik modal malah
mengabaikannya. Kita mungkin tak pernah membayangkan, bila bukan karena
deklarasi pemuda hebat-cerdas itu, bisa jadi keindonesiaan kita berwujud
lain. Dan, coba hentikan barang sejenak edar bahasa Indonesia dari jagat
percakapan dan perjumpaan keindonesiaan kita, lalu lihatlah apa yang terjadi
pada kebinekaan kita; dan saksikanlah apa masih tersisa dari ketunggalikaan
kita! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar