Antara
Retorika dan Restorasi Gambut
Suhardi Suryadi ;
Direktur LP3ES 2005-2010; Saat Ini Bekerja sebagai Konsultan Knowledge
Management pada Proyek LESTARI-USAID
|
KOMPAS, 24 Oktober
2016
Selain faktor alam (cuaca, iklim), pemicu
kebakaran hutan dan lahan gambut adalah ulah manusia dalam bentuk pembakaran
lahan yang sengaja dan pembangunan kanal baru yang terencana.
Studi UGM tahun 2015 di sejumlah lokasi
menunjukkan, dengan pembangunan kanal-kanal baru justru memicu bertambahnya
titik api, terutama di areal yang dekat kanal. Namun, yang ironis,
pembangunan kanal baru atau pelebarannya oleh pemerintah justru terus
berlangsung di sejumlah wilayah. Sebutlah seperti kasus pembangunan kanal
oleh Pemerintah Kota Palangkaraya yang telah menuai banyak kritik dan
penolakan dari LSM dan petanikarena dianggap kurang tepat dalam membantu
restorasi gambut (Kompas, 13/10).
Dampak kanal
Pemerintah beralasan bahwa pembangunan kanal
baru untuk ”normalisasi” sungai/saluran air agar tidak mengakibatkan banjir
di lahan-lahan pertanian warga. Sepintas tujuan pembangunan ini sangat mulia
dalam kerangka meningkatkan produktivitas hasil pertanian dan kesejahteraan
petani. Padahal, faktanya kanal baru justru membuat lahan petani cepat kering
dan mudah terbakar. Hal ini tidak terlepas dari rusaknya kubah gambut yang
tercerabut ketika proses pengerukan berlangsung.
Padahal, kubah gambut merupakan unit ekosistem
gambut yang berfungsi mengatur tata air pada musim kemarau dan musim hujan.
Tanpa ada pembangunan kanal sekalipun, fungsi ”normalisasi” dapat diperankan
oleh kubah gambut secara alami.
Memang tak dimungkiri bahwa kondisi
kanal-kanal di lahan gambut tak seluruhnya berfungsi dengan baik dalam
mendukung pengairan pada lahan pertanian. Selain banyak ditumbuhi rumput dan
pohon, juga adanya perubahan tutupan dan perluasan lahan oleh petani yang
berakibat penyempitan dan pendangkalan pada kanal. Keadaan inilah yang
mendasari pemerintah melakukan pelebaran dan pendalaman kanal. Pemerintah
acap kali melihat keberadaan kanal dengan perspektifsemata-mata
fisik.Sementara aspek ekologis dan sosial-ekonomi sering diabaikan.
Dengan kanal diperdalam hingga 4 meter, petani
jadi kesulitan mencuci sayur karena harus turun ke bawah. Bahkan, tanaman
sayuran akan kekurangan air ketika kemarau panjang. Termasuk juga mengganggu
perkembangan tanaman perkebunan dan kehutanan, seperti karet, kelapa sawit,
dan jelutung
Secara umum, kondisi hidrologilahan gambut
pada dasarnya mencerminkan keseimbangan antara sumber pasokan air yang hanya
dari air hujan dan pemanfaatan air untuk lahan. Sistem hidrologi (tata air)
amat menentukan kelestarian lahan dan jasa lingkungannya bagi perkembangan
ekonomi pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Sebagai contoh, pembukaan lahan gambut sejuta
hektar tahun 1995 melalui pembuatan saluran primer induk (SPI) sepanjang 187
kilometer telah mengubah pola tata air, kualitas, dan dampak negatifnya
terhadap kegiatan ekonomi berbasis lahan (Masterplan 2008; Kajian Cepat
Hidrologi Gambut, LESTARI-USAID, 2016). Pembuatan kanal-kanal tersebut telah
membongkar lapisan gambut yang bukan saja menyebabkan kebakaran, melainkan
juga telah membuat senyawa pirit yang bersifat racun pada lahan.
Memang pembasahan kembali lahan gambut
diperlukan sebagai upaya dini mencegah kebakaran dalam skala luas dengan
mendayagunakan jejaring kanal yang ada melalui penyekatan kanal secara
menyeluruh dan terpadu.Dan itu tanpa harus membangun kanal baru atau
memperlebar/ memperdalamnya karena kelak dapat membawa dampak ekologis dan
ekonomi masyarakat. Misal saja, dengan pembasahan di kawasan lindung,
terutama punggungan dan kubah gambut, akan mendukung pemulihan alami dan
penyediaan cadangan air sepanjang musim. Termasuk melindungi kawasan lindung
dan budidaya pertanian dan perkebunan dari limpahan air permukaan pada curah
hujan tinggi dan musim kemarau panjang.
Pembangunan kanal, sebagaimana terjadi di
sektor lain, senantiasa menampakkan dua sisi yang paradoks. Pada satu sisi
merupakan aset yang menjanjikan perubahan dalam kesejahteraan masyarakat.
Sementara di sisi lain jadi liability yang justru dapat mematikan kehidupan
sosial-ekonomi masyarakat. Karena itu, banyak kasus dari pembangunan sekat
kanal yang akhirnya dibongkar karena bentuk, penempatan, dan fungsinya tidak
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Paradoks pembangunan
Menurut Susan Page dari University of
Leicester, 2016, lahan gambut yang mengalami deforestasi dan pengeringan
berada pada tingkat risiko kebakaran tertinggi karena permukaannya yang
keringakibat lahan gambut terdrainase. Kondisi lahan seperti ini sangat mudah
terbakar, baik karena faktor disengaja oleh aktivitas pembukaan lahan maupun
karena iklim yang sangat panas. Bahkan, kondisi lahan yang terlalu lama
kering berakibat mengubah sifat serap air (hydrophilik) jadi menolak air
(hydrophobik).
Hal ini memberi isyarat bahwa pembangunan
kanal sangat pentinguntuk tidak bersifat pragmatis, yaitu semata-mata proyek
dengan mengalkulasi secara matematis, teknis, dan logis. Sebaliknya,
pembangunan kanal mutlak mengedepankan dimensi kemanusiaan dan
mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup sebagai jasa untuk pertumbuhan
ekonomi pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Dengan demikian, jika warga dilarang membakar
ketika membuka lahan, pembangunan kanal baru sepatutnya juga dilarang. Hal
ini mengingat keduanya adalah penyebab kebakaran lahan dan hutan di rawa
gambut. Paradigma gambut lestari tidak hanya melarang pemanfaatan api, tetapi
juga melarang pembangunan kanal: stop api, stop kanalisasi!Jika tidak,
restorasi gambut yang dicanangkan oleh pemerintah hanyalah retorika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar