Politik
Kebangsaan Gerakan Mahasiswa
Halili ;
Dosen Politik Universitas
Negeri Yogyakarta; Peneliti di Setara Institut
|
KOMPAS, 22 Oktober
2016
Dalam satu dekade
terakhir, kesadaran publik kerap dilambungkan dengan mimpi Indonesia Emas
2045. Dinyatakan, pada usia seabad republik itu kita akan memanen buah dari
musim yang sedang berpihak pada kita: bonus demografi.
Dalam konteks itu,
kita harus merefleksikan gerakan mahasiswa di kampus-kampus. Mereka merupakan
laskar Indonesia muda yang sangat kita harapkan. Sayangnya, secara internal
mereka dihadapkan pada persoalan akut. Padahal secara eksternal, mereka
dihadapkan pada situasi bangsa yang berada ancaman penjajahan modern yang
masif dan mulai merasuk dalam detak jantung kehidupan berbangsa dan
bernegara. Patut dicatat, kolonialisme baru akan bagi kita Secara makro,
bangsa besar hampir selalu berpijak pada tiga modal; modal ekonomi (economic
capital), modal sosial (social capital), dan modal manusia (human capital).
Modal ekonomi dan
modal sosial kita berada dalam ancaman sangat serius yang diakibatkan oleh
penetrasi fundamentalisme pasar global yang menguasai industri strategis kita
serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membuat kita lebih
sering duduk pasif sebagai konsumen.
Satu modal mahapenting
yang mesti kita terus pertahankan dan kita jadikan medium untuk ”merebut” dua
modal lainnya adalah modal manusia. Modal manusia yang fitrah dan ”siap
cetak” selalu dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada kita. Generasi
manusia adalah generasi patah tumbuh hilang berganti. Artinya, selalu ada modal
hakiki bagi bangsa ini untuk merebut zaman. Persoalannya hanya terletak pada
bagaimana kita mencetak manusia Indonesia itu sendiri.
Mahasiswa dan gerakan
mahasiswa, sebagai simpul dinamika dan transformasi kaum muda kelas menengah,
mesti berada dalam kesadaran tersebut. Dengan demikian, gerakan politik yang
mereka lakukan mestinya bukan semata-mata gerakan partikular dan partisan berkaitan
dengan politik kekuasaan menjelang pemilu, pilpres, pilkada, dan hajatan
elektoral lainnya.
Narasi dan orientasi
gerakan mereka haruslah politik kebangsaan, yang melampaui afiliasi pada
partai politik yang kerap mereka jadikan patron.
Persoalan internal
Secara internal,
gerakan mahasiswa mengalami persoalannya sendiri. Dari pengalaman
mendampingi, pengamatan, dan kontemplasi yang penulis lakukan, secara inward
looking banyak persoalan yang dihadapi gerakan mahasiswa.
Pertama,lemahnya basis
material gerakan. Untuk mendorong dan mengisi aktivitas gerakan, mahasiswa
diniscayakan memiliki basis material yang kuat. Keberpihakannya jelas.
Intelektualitasnya mumpuni. Sensitivitasnya tinggi untuk menyentuh
persoalan-persoalan riil masyarakat. Kualitas demikian hanya mungkin dicapai
dalam sistem dan kultur pendidikan yang sehat, yang memberikan ruang bagi
kebebasan nalar dan pikiran serta galvanisasi mentalitas mahasiswa.
Di samping itu, musuh
bersama gerakan mahasiswa juga semakin absurd. Mahasiswa kesulitan
mendefinisikan mana yang harus diposisikan sebagai musuh bersama gerakan
mahasiswa. Hal ini berdampak pada berlangsungnya fragmentasi gerakan, yang
dalam beberapa kasus berbenturan satu sama lain. Satu fragmen gerakan
menghajar obyek perlawanan tertentu, sementara fragmen lainnya menempel erat
pada obyek tersebut.
Dalam banyak kasus,
gerakan mahasiswa tidak aware mengapa sebuah obyek dilawan. Gerakan
berlangsung sporadis karena gagalnya memaknai gerakan dan mendefinisikan
”musuh” yang harus dilawan. Dan karena ”tidak mau susah”, akhirnya aktivis
mahasiswa terjebak pada aktivitas seremonial. Mereka di kampus ataupun di
luar kampus sering kali hanya berperan sebagai event organizer dalam banyak
rutinitas aktivitas.
Kedua,rendahnya
kesadaran kelas. Mahasiswa merupakan kelas terdidik. Mahasiswa merupakan
kelas menengah yang potensial untuk melakukan perubahan tertentu di dalam
masyarakat. Banyak contoh yang telah didedahkan oleh gerakan mahasiswa pada
masa yang lalu untuk memberikan bakti tertentu bagi masyarakat berbangsa dan
bernegara, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Beberapa di antaranya
sudah dicatat dalam sejarah perjalanan bangsa. Perhimpunan Indonesia, pada
tahun 1922, yang dimotori oleh Hatta muda di Belanda, bergerak mewujudkan
visi kemerdekaan Indonesia dalam cara pandang mahasiswa. Tahun 1970, gerakan
mahasiswa yang dimotori waktu itu oleh Wilopo bergerak untuk melawan praktik
korupsi pemerintahan Orde Baru, yang kemudian membentuk Gerakan Anti Korupsi.
Tahun 1974, gerakan
mahasiswa, yang dimotori Hariman Siregar, Adnan Buyung Nasution, dan
kawan-kawan, juga turun ke jalan untuk melawan liberalisasi dan menolak
kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Gerakan ini kemudian
meletuskan Tragedi Malari. Satu dasawarsa lebih yang lalu, gerakan mahasiswa
juga turun ke jalan-jalan dan melawan otoritarianisme Orde Baru dan akhirnya
berhasil memaksa Soeharto lengser keprabon.
Kini, mahasiswa
mengalami persoalan kesadaran kelas. Gerakan mahasiswa mengalami pelemahan
(weakening)karena mereka sendiri gagal menunjukkan tingginya kesadaran bahwa
mereka adalah motor yang bisa menggenerasi perubahan di tengah-tengah
masyarakat. Mahasiswa gagal mengartikulasikan spirit perubahan dalam diri
mereka sendiri.
Ketiga,dampaknya,
terjadi perapuhan ideologis gerakan mahasiswa. Idealisme gerakan mahasiswa
mengalami penurunan dan terjun bebas. Terjadi deideologisasi gerakan. Gerakan
mahasiswa tidak banyak dipandang sebagai gerakan perlawanan dan gerakan
perubahan, tetapi lebih banyak mewujud sebagai labeling identitas simbolik
dan aktivitas ”daripada tidak”.
Keempat,penetrasi arus
hedonisme dan konsumerisme. Tren hedonis dan konsumeris secara masif
menggerogoti gerakan mahasiswa. Ada kecenderungan, mahasiswa tidak kuat
melawan arus ”gaya” yang menempel bersama modernisasi ini. Perilaku
konsumeris sangat jamak kita lihat. Kita bisa renungkan perbandingan konsumsi
mahasiswa untuk buku dengan konsumsi mereka untuk pulsa.
Revitalisasi gerakan
Melihat dua tantangan
tersebut, eksternal dan internal, gerakan mahasiswa harus melakukan
revitalisasi melalui dua langkah utama. Pertama, battle of values
(pertarungan nilai). Ke dalam, mahasiswa harus mendefinisikan ulang identitas
dirinya, mengontemplasikan peran-perannya, dan melakukan gerakan absorbsi
atas komponen-komponen negatif mahasiswa. Oleh karena itu, basis material
mahasiswa harus diperkuat. Mahasiswa harus menjadi iron stock kepemimpinan
nasional. Mahasiswa harus mengoptimalisasi diri menjadi—meminjam Antonio
Gramsci—intelektual organik.
Kedua,reaktualisasi
gerakan mahasiswa. Mereka harus menata ulang keberpihakannya, pada
kepentingan masyarakat berbangsa dan bernegara. Jangan membayangkan bahwa
musuh gerakan mahasiswa adalah penjajahan konvensional sebagaimana
dibayangkan oleh Perhimpunan Indonesia yang digagas oleh Bung Hatta muda.
Kapitalisme yang harus dilawan juga bukan kapitalisme simbolik yang
dibayangkan oleh mahasiswa pada periode 1970-an. Otoritarianisme yang
dihadapi saat ini bukan otoritarianisme kasatmata yang ditampilkan oleh Orde
Baru melainkan built-in authoritarianism yang sistemik dan tak teraba.
Akhirnya, gerakan
mahasiswa di sini kini harus meneguhkan relevansinya. Mereka mesti
berkontribusi bagi liberasi bangsa. Gerakan sosial mereka harus menjadi
bagian dari gerakan kolektif untuk tegaknya harkat dan martabat bangsa.
Merekalah salah satu yang akan menentukan apakah mimpi Indonesia Emas 2045
akan nyata atau hampa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar