Hilangnya
Kedaulatan Dokter
Emir Soendoro ;
Dokter Spesialis Ortopedi dan
Traumatologi;
Pemerhati Masalah Jaminan Sosial
|
KOMPAS, 25 Oktober
2016
Jauh sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus
1945, para dokter dan mahasiswa kedokteran yang belajar di STOVIA telah
melakukan berbagai pertemuan, yang akhirnya pada 20 Mei 1908 dibentuk
perkumpulan Boedi Oetomo. Tanggal tersebut kini diperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional.
Di tengah kesibukan belajar sebagai mahasiswa
kedokteran, mereka tak lupa memikirkan nasib bangsanya yang saat itu masih
dijajah.
Kemudian dokter Cipto Mangunkusumo beserta
beberapa dokter mengajak berbagai perkumpulan pemuda, seperti Jong Java, Jong
Ambon, dan Jong Sumatera, melakukan sumpah yang disebut sebagai sumpah pemuda
pada 28 oktober 1928. Bertahun-tahun kemudian, mahasiswa kedokteran yang
tinggal di Jalan Prapatan 10 (mahasiswa kedokteran Ika Daigaku), yang
anggotanya antara lain Eri Soedewo (mantan Rektor Universitas Airlangga) dan
Mahar Mardjono (mantan Rektor Universitas Indonesia), berjuang melawan
penjajahan Jepang.
Tahun 1945 dokter dan mahasiswa kedokteran
beserta rekan-rekan pemuda lainnya menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke
Rengasdengklok. Keduanya kemudian dipaksa untuk memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan, Bung
Karno mengangkat dokter Moestopo sebagai Panglima Perang RI, sebelum akhirnya
diangkat Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Dalam perjalanan bangsa Indonesia, para dokter
muda selalu kritis mendengar jeritan hati nurani rakyat. Sebutlah seperti
almarhum Arif Rahman Hakim (1965/1966), Hariman Siregar (15 Januari 1974),
dan Hariadi Darmawan (Reformasi 1998).
Menarik dilihat benang merah bahwa Sumpah
Hipocrates yang dibacakan seorang dokter saat wisuda mengandung inti atau
pesan dari Sumpah Pemuda 1928. Beberapa kutipan sumpah dokter antara lain:
"Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan kemanusiaan. Saya
akan menjalankan tugas saya dengan cara terhormat dan bersusila sesuai dengan
martabat pekerjaan saya. Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya
akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh
pertimbangan keagamaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan
sosial."
Dokter juga manusia
Peranan dokter selalu ada dalam perjalanan
republik ini. Dokter adalah satu-satunya sarjana yang wajib bertugas di
daerah, terkadang di daerah terpencil atau daerah konflik. Sudah banyak
dokter yang menjadi korban dalam menjalankan pengabdiannya.
Seorang dokter, jika telah disumpah sebagai
dokter, seumur hidupnya, sepanjang dia mampu, harus mengabdikan ilmunya untuk
masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Dokter adalah manusia biasa yang
terkadang membuat kesalahan. Berbagai kejadian, seperti vaksin palsu, obat
palsu, dan gratifikasi yang menyudutkan dokter, pernah disiarkan di media.
Dengan pola pembayaran BPJS Kesehatan, seorang
dokter hanya menerima jasa medis Rp 8.000 untuk setiap pasien, dokter tetap
menerimanya dan tetap melaksanakan tugasnya demi kemanusiaan. Coba bandingkan
dengan parkir mobil di DKI yang bertarif Rp 5.000 setiap jam.
Masyarakat yang menggunakan BPJS cenderung
menyalahkan dokter apabila ada masalah, tanpa melihat atau mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi. Peraturan
dari BPJS menyebabkan dokter tidak berwenang melakukan pengobatan secara
tuntas dengan alasan keterbatasan dana. Banyak penyakit yang diderita
masyarakat, tetapi tidak bisa diobati secara maksimal oleh para dokter karena
adanya aturan- aturan tersebut. Kenapa dokter selalu menjadi sasaran
kemarahan masyarakat, seolah-olah dokter sudah tidak menjalankan sumpah
dokter dengan baik?
Patut diketahui, penduduk DKI yang memakai
kartu BPJS akan mendapatkan pelayanan yang baik dari rumah sakit di
lingkungan DKI karena tersedianya dana di DKI. Namun, Indonesia bukan hanya
DKI. Banyak keluhan masyarakat dan masalah-masalah yang dialami dokter pada
waktu melayani pasien BPJS di luar DKI.
Krisis di kalangan dokter sendiri juga
terjadi. Hal ini disebabkan adanya pendidikan dokter layanan primer (DLP)
yang harus dijalankan fakultas kedokteran sesuai undang-undang. Kasus DLP ini
menimbulkan pertentangan sesama dokter.
Saat ini profesi dokter Indonesia makin
terpuruk. Masyarakat disajikan berbagai berita dan kesalahan dokter dalam
menjalankan tugasnya sehingga masyarakat menghakimi dokter. Dokter
digambarkan sebagai profesi elite, serba berkecukupan, wajib mengabdi dan tak
boleh menolak pasien, tugasnya melayani, bahkan cenderung dituntut memenuhi
keinginan pasien.
Dengan alasan bahwa UU harus dijalankan,
pemerintah dan legislatif seenaknya menjadikan dokter dan kesehatan sebagai
isu politik untuk atas nama rakyat. Adanya sumpah dokter membuat profesi
dokter tunduk dan patuh pada berbagai kebijakan dan rekayasa di bidang kesehatan.
Masalah kesehatan dan pelayanan kedokteran
sangat kompleks dan tidak mungkin dipikul hanya oleh dokter. Ketidakmampuan
dokter untuk bersikap profesional karena berbagai tekanan ini akan
membahayakan masyarakat (pasien) dan berpotensi menimbulkan tuntutan hukum.
Profesi dokter seakan sebagai budak yang hanya
bisa diam menerima nasib. Harus diakui bahwa semangat perjuangan dan
kesejawatan profesi dokter saat ini hilang sesuai dengan zaman yang lebih
mengedepankan sikap individualis dan pragmatisme.
Perjuangan dokter Indonesia untuk memperoleh
kembali kedaulatan profesi ini tidak mudah. Perjuangan pasti butuh keberanian
dan pengorbanan. Hasil perjuangan mengembalikan kedaulatan belum tentu bisa
kita peroleh sekarang, mungkin anak cucu kitalah yang akan merasakan.
Dibelenggu UU
Menyikapi berbagai kejadian itu, pada 15
Oktober 2016 penulis membuat sarasehan di Gedung STOVIA, dihadiri para
dokter. Pembicara adalah dokter yang mewakili Ikatan Dokter Indonesia, Dokter
Indonesia Bersatu, Perhimpunan Dokter Umum Indonesia, dan perwakilan Asosiasi
Rumah Sakit Swasta Seluruh Indonesia. Dari sarasehan tersebut dapat
disimpulkan, kedaulatan rakyat dan kedaulatan dokter untuk mengerjakan
profesinya sebagai dokter sudah tidak ada lagi karena sudah dibatasi oleh UU.
Kalau sampai dokter melakukan demo, apalagi
sampai mogok kerja, itu berarti dokter sudah mengalami kesulitan untuk
menjalankan profesinya sebagai dokter secara profesional dan maksimal karena
peraturan-peraturan dan UU yang membatasi tindakan-tindakan dokter dengan
risiko tuntutan-tuntutan apabila terjadi sesuatu pada pasien di luar
kemampuan dokter.
Dokter juga manusia biasa. Jika harga diri dan
kedaulatannya sudah tidak ada lagi, maka dokter yang selama ini tidak
bersuara akan bersuara dan bergerak. Seperti halnya dilakukan dr Soetomo dan
dr Ciptomangunkusumo untuk mempertahankan kedaulatan dan memperjuangkan
kesejahteraan untuk masyarakat yang juga terzalimi.
Para dokter perlu lebih berhati-hati menangani
pasien BPJS dan menjelaskan bahwa permasalahannya bukan pada dokter,
melainkan ada aturan UU yang membatasi profesi dokter. Dengan demikian,
benturan-benturan antara dokter dengan pasien dan keluarganya tidak akan
terjadi.
Penulis berharap, walaupun kewajiban kita
sebagai dokter dibatasi oleh berbagai peraturan dan UU yang berlaku saat ini,
kita harus mencontoh para dokter pendahulu kita yang tetap menjalankan
kewajibannya sesuai sumpah dokter. Teruslah berjuang demi kesejahteraan
rakyat Indonesia yang kita cintai ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar