Ironi Lulusan SMK
Bagong Suyanto ;
Dosen Sosiologi FISIP
Universitas Airlangga; Melakukan Penelitian tentang Kualitas Lulusan SMK dan
Problema Pengangguran Usia Muda
|
KOMPAS, 19 Oktober
2016
Ketika pemerintah
terus berupaya menambah jumlah SMK di sejumlah daerah, ternyata pada saat
yang sama lebih dari 1 juta lulusan SMK dilaporkan malah menganggur. Artinya,
sebagai lembaga pendidikan yang digadang-gadang menjadi jalan keluar untuk
menyiasati kebutuhan pasar kerja dengan lulusan yang siap pakai, justru data
yang ada memperlihatkan indikasi SMK jadi lembaga pencetak pengangguran
tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya (Kompas, 17/10).
Ketika kualitas tenaga
kerja yang ada rendah dan dunia pendidikan umumnya hanya melahirkan para pencari
kerja-bukan lulusan yang sesuai kebutuhan pasar kerja, tak pula mampu
menciptakan pekerjaan dan usaha mandiri secara kreatif-maka harus dilakukan
evaluasi dan koreksi terhadap penyelenggaraan pendidikan dan arah
perkembangan kesempatan kerja yang tumbuh di Tanah Air. Di mana sesungguhnya
kekeliruan yang terjadi?
Kualitas lulusan SMK
Sebagai negara yang
diprediksi akan jadi negara ketujuh dengan ekonomi terbesar pada 2030, tak
adanya dukungan kualitas tenaga kerja yang memadai tentu akan membuat Indonesia
harus menghadapi situasi serba dilematis. Dibandingkan tahun 2015-2016, saat
ini Daya Saing Global (GCI) Indonesia turun empat peringkat menjadi peringkat
ke-41 (dari 138 negara). Ketika ekonomi dunia mulai membaik, bukan tidak
mungkin Indonesia justru akan berisiko terpuruk karena tidak dibangun dengan
fondasi yang kuat di bidang ketenagakerjaan. Dari berbagai kajian yang telah
dilakukan, di Indonesia selama ini sesungguhnya ada dua isu utama di bidang
ketenagakerjaan yang perlu perhatian serius.
Pertama, terjadinya
mismatch antara profil pencari kerja dengan kebutuhan dan perkembangan pasar
tenaga kerja sektor manufaktur ataupun industri jasa. Meski tiap hari selalu
ditawarkan lowongan kerja, umumnya selalu mensyaratkan kualifikasi dan
kemampuan plus yang acapkali tak dimiliki pencari kerja berusia muda.
Sebutlah seperti kemampuan berbahasa Inggris dan mengoperasikan komputer yang
tidak selalu dikuasai pencari kerja baru.
Bagi pencari kerja
lulusan SMA/SMK, tentu sulit diharapkan mereka dapat terserap di sektor
perekonomian firma yang acap kali menetapkan persyaratan kualifikasi keahlian
dan ijazah sarjana untuk tenaga kerja yang hendak masuk ke sektor ini. Di
sejumlah daerah yang tengah dihela industrialisasi raksasa, seperti Tuban
dengan industri semen, Bojonegoro dengan industri migas, atau Mojokerto
dengan pendirian pabrik bir dan sejumlah pabrik besar lain, tentu tidak akan
banyak menawarkan kesempatan kerja bagi pencari kerja yang hanya lulusan SMK
karena sifatnya yang padat modal.
Studi yang dilakukan
Lembaga Penelitian dan Inovasi (LPI) Universitas Airlangga (2016), misalnya,
menemukan, anak-anak muda lulusan SMP dan SMA/SMK biasanya hanya mampu
memilih di antara sederetan pekerjaan yang tak terlalu menjanjikan. Misalnya
menjadi pekerja rumah tangga, petani, buruh pabrik, kuli bangunan, atau
pekerjaan lain yang tidak terlalu dapat diandalkan sebagai tempat bersandar
dan tidak pula berjenjang karier.
Kedua, munculnya
kelompok pengangguran lulusan SMK yang makin hari makin panjang berpotensi
jadi bom waktu. Akibat situasi dan lesunya kondisi perekonomian nasional, tak
menutup kemungkinan muncul apa yang disebut discourage unemployment
(pengangguran putus asa), yakni pengangguran dari lulusan SMK sudah
bertahun-tahun mencari kerja tanpa hasil karena faktor demand for labor dan
supply for labor yang makin tidak seimbang. Di kalangan lulusan SMK, kategori
pengangguran putus asa ini diprediksi akan makin besar. Sebab, mereka adalah
pencari kerja yang merasa sudah siap pakai, tetapi ternyata pasar tenaga
kerja yang ada tampaknya cenderung tidak ramah.
Di kalangan masyarakat
ada indikasi kini terjadi krisis kepercayaan pada arti penting sekolah,
termasuk SMK. Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika lulusan
SMK-bahkan lulusan perguruan tinggi yang sudah bersusah payah kuliah dan
menghabiskan simpanan tabungan orangtuanya untuk biaya pendidikan-ternyata
setelah lulus hanya menambah panjang daftar para pencari kerja di Tanah Air.
Di sejumlah daerah, bukan rahasia lagi banyak orangtua yang sudah menghabiskan
simpanan dan uang banyak untuk menyekolahkan anaknya-dan ternyata setelah
anaknya lulus SMK tetap kesulitan mencari kerja-mulai bersikap kritis
terhadap arti dan peran SMK.
Kualitas tenaga kerja
Untuk memastikan agar
jumlah pengangguran dari lulusan SMK tidak terus bertambah bukanlah hal
mudah. Upaya penanganan problema pengangguran semata hanya mengandalkan
program yang sifatnya instan atau hanya mengandalkan kepada multiplier effect
kegiatan investasi swasta, niscaya tidak akan memecahkan akar masalah.
Tanpa didukung
kompetensi kerja yang profesional, siap pakai, dan legalisasi kompetensi
kerja yang diakui, peluang lulusan SMK untuk dapat terserap dalam pasar kerja
di sektor perekonomian firma niscaya tidak akan banyak berubah. Dengan
dukungan dana dan fasilitas yang serba terbatas, selama ini tidak banyak SMK
yang benar-benar mampu mencetak lulusan yang berkualitas seperti yang
diharapkan pasar kerja. Di sejumlah SMK, peralatan yang ada umumnya sudah
usang, bahkan rusak, dan jumlahnya pun tidak sesuai jumlah siswa. Akibatnya,
berbagai praktikum yang dilakukan tidak berjalan maksimal.
Lebih dari sekadar
program pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan kadar keberdayaan pencari
kerja lulusan SMK. Ke depan, agar deretan pengangguran lulusan SMK tidak
makin meningkat, adalah bagaimana pemerintah merestrukturisasi kebijakan dan
pendekatan pembangunan yang lebih berempati pada kondisi dan karakteristik
pencari kerja. Menghela pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang hanya
fokus kepentingan menambah devisa, tapi abai peningkatan kualitas pencari
kerja, niscaya hasilnya akan kontraproduktif bagi kemajuan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar