Pertamina:
Jangan Lepas Kepala, Pegangi Ekornya
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 27 Oktober
2016
Ketika saya memaparkan bahwa salah satu peran
Pertamina adalah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
sejumlah kolega saya tersenyum. Beberapa mengangguk-anggukkan kepala. Saya
maklum. Mereka yang tersenyum, saya membacanya, sejatinya sama sekali tidak
sependapat dengan saya. Lalu, mereka yang mengangguk-angguk kepala sebetulnya
enggan saja untuk menyatakan ketidak setujuannya secara terbuka. Saya
mengerti. Memang tak mudah untuk mengajak orang berpikir dalam logika
korporasi yang mungkin terasa janggal.
Kita semua melihat dari perspektif yang amat
beragam. Bagi mereka, tugas utama korporasi adalah mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya. Sementara menjaga NKRI adalah tugas negara, dan itu sama
sekali bukan domain korporasi. Namun, ketika pekan lalu Presiden Joko Widodo,
menetapkan harga bensin di Papua setara dengan Rp6.450 per liter, atau Rp100
lebih murah ketimbang harga di Jawa, saya jadi ingin sekali menemui kembali
kolega-kolega tadi. Saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa itulah yang
dimaksud dengan peran Pertamina dalam menjaga NKRI.
Dan itu ada dalam UU BUMN. Anda tahu harga BBM
di Papua sebelumnya sangat bervariasi, tetapi jelas jauh lebih mahal. Harga
BBM di sana mulai dari Rp25.000hinggaRp100.000per liter. Jauh lebih tinggi
dibandingkan harga BBM di Jawa atau luar Jawa. Padahal, tingkat kesejahteraan
warga Papua sebagian masih jauh lebih rendah ketimbang provinsi-provinsi
lainnya di Indonesia.
Dengan penetapan presiden tersebut, warga
Papua dapat menikmati harga BBM yang lebih murah. Kelak dengan murahnya harga
BBM, saya berharap harga-harga sejumlah komoditi, juga jasa transportasi,
bakal bergerak turun. Mungkin harganya masih lebih mahal ketimbang di Jawa,
tetapi tidak sampai gila-gilaan. Misalnya, harga per sak semen tak perlu Rp1
juta atau Rp2 juta, tapi bisa turun menjadi tinggal Rp100.000 atau Rp200.000.
Demikian juga kesulitan yang dialami mama-mama
pemilik cottage di Raja Ampat yang amat kesulitan BBM untuk boat yang mereka
operasikan dalam melayani turis. Kalau ini terjadi, tentu warga Papua akan
bisa lebih merasakan sebagai bagian dari Indonesia. Jadi, peran korporasi
sebagai penjaga NKRI bukan hanya slogan, tetapi betul-betul terwujud.
Ancaman Krisis Energi
Perbedaan harga BBM di Papua serta Jawa dan
luar Jawa adalah dampak dari kondisi geografis kita dan masih buruknya
jaringan distribusi. Kondisi kita yang terdiri atas pulau-pulau, ditambah
sebagian masyarakat tinggal di bukit dan pegunungan, membuat distribusi
barang—termasuk BBM—menjadi tidak mudah. Selain itu terbatasnya jaringan
transportasi membuat akses ke lokasi-lokasi tersebut menjadi semakin sulit.
Kondisi semacam itu membuat kita kesulitan
membangun jaringan distribusi barang, termasuk BBM, yang andal. Namun kita
juga tahu, semakin ke timur jumlah penduduknya juga tak banyak. Artinya
kalaupun subsidi, jumlahnya pasti tak sebesar di bagian barat yang
penduduknya padat. Jaringan distribusi adalah salah satu masalah besar kita.
Masalah lainnya yang tak kalah serius adalah ketersediaan energi.
Saya membaca sejumlah
artikelyangmenyebutbahwakita, Indonesia, berada diambangkrisis energi. Saya
setuju. Kenyataannya adalah volume produksi minyak kita memang jauh lebih
rendah ketimbang permintaannya. Kalau sebelum tahun 2000 kita masih surplus,
tahun-tahun sesudahnya mulai defisit.
Produksi minyak mentah kita terus menurun,
sementara permintaannya naik terus. Tapi, sebetulnya bukan hanya kita yang
berada di ambang krisis minyak (silakan kalau mau dibaca krisis energi).
Banyak negara di dunia yang juga menghadapi masalah dengan ketersediaan
minyak (dan energi). Maka, tak heran kalau banyak negara ”mengutus”
badan-badan usahanya untuk berburu cadangan minyak ke mana-mana.
Salah satu negara yang agresif berburu
cadangan minyak adalah China—negara dengan jumlah penduduk terbanyak di
dunia. Melalui BUMN-BUMNnya, mereka menjelajah berburu minyak mulai dari
Sudan di Afrika hingga Venezuela di Amerika Selatan. Malaysia, dengan
Petronasnya, pun melakukan langkah serupa.
Bahkan saat ini dari seluruh cadangan minyak
milik Petronas, sebanyak 67%-nya berada di luar negeri. Saya sengaja
menyinggung BUMN dari dua negara tersebut untuk menggambarkan terjadinya
perubahan besar dalam lanskap industri perminyakan dunia. Anda tahu, sampai
dengan tahun 1970-an cadangan minyak dunia masih dikuasai oleh The Seven
Sisters.
Mereka terdiri atas Anglo-Persian Oil Company
(kini menjadi BP), GulfOil, Standard OilofCalifornia (SoCal) dan Texaco (yang
kini bergabung menjadi Chevron), Royal Dutch Shell, serta Standard Oil of New
Jersey (Esso) dan Standard Oil Company of New York atau Socony (keduanya kini
sudah berubah menjadi ExxonMobil). Mereka ini kerap disebut sebagai
International Oil Company atau IOC.
Namun, setelah era 1970-an, cadangan minyak
dunia yang dikuasai The Seven Sisters hanya tinggal sedikit. Mungkin hanya
tinggal sekitar 20%. Jadi, sejak itu dan hingga kini sekitar 80% dari
cadangan minyak dunia dikuasai oleh negara-negara dan pengelolaannya
diserahkan kepada BUMN-BUMN-nya.
Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai
National Oil Company atau NOC. Intinya adalah sejumlah negara yang kaya
minyak dan gas rupanya kian menyadari terhadap kemungkinan terjadinya krisis
energi akibat kian terkurasnya cadangan sumber daya mineral tersebut. Maka,
mereka kemudian mengeluarkan kebijakan yang kian membatasi ekspansi dari IOC
atau dari perusahaan-perusahaan di luar negaranya. Mereka juga kian membatasi
ekspor minyak dan gas. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan
lanskap tersebut.
Stigma Lama
Sejatinya memang ada perbedaan prinsip antara
IOC dan NOC. IOC betul-betul mengelola bisnisnya untuk
mendapatkankeuntungansemata. Mereka enggan dibebani dengan berbagai kewajiban
lainnya, seperti menciptakan lapangan kerja, menjamin ketersediaan energi
bagi negara yang bersangkutan, dan lainnya.
Sementara NOC berbeda. NOC biasanya
menjalankan peran negara dalam mengelola industri minyak dan gas di
negaranya. Jadi, negara bisa ”menitipkan” berbagai fungsi nonkomersial
lainnya. Misalnya, bagaimana mendistribusikan penerimaan migas untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai subsidi. Negara juga
bisa meminta NOC untuk menjamin ketersediaan lapangan kerja dan sekaligus
ketersediaan energi bagi negaranya.
Namun, saya juga tak menepis kemungkinan
adanya NOC yang perilakunya sudah seperti IOC. Mereka menerapkan
prinsip-prinsip tata kelola seperti IOC pada umumnya. Ini penting terutama
ketika sumber dana untuk ekspansi sudah sangat terbatas. Dengan menerapkan
prinsip-prinsip tersebut, mereka bisa memperoleh akses pendanaan dari pasar
finansial baik di dalam atau di luar negeri.
Beberapa NOC yang perilakunya seperti IOC, di
antaranya, CNOOC dari China, Petronas, Petrobras asal Brasil, Saudi Aramco
dari Arab Saudi, dan Kuwait Petroelum Corporation. Lalu, bagaimana dengan
Pertamina? Saya lihat Pertamina sedang mengarah kesana. Misalnya, ketika
harga minyak sedang murah, Pertamina justru agresif memburu cadangan-cadangan
minyak di luar negeri. Ini perilaku pintar.
Belilah asetaset selagi harganya murah. Jangan
sebaliknya. Sudah begitu volume cadangan minyak di luar negeri yang dikuasai
Pertamina pun masih terlalu sedikit. Kalau Petronas, 67% cadangan minyaknya
ada di luar negeri. Pertamina? Masih kurang dari 5%. Maka, saya sungguh
merasa tak nyaman ketika beban tugas di depan sana begitu berat, di antaranya
menjamin ketersediaan energi, berkembang pendapat yang ingin Pertamina
seakan-akan menjadi perusahaan yang ”dilepas kepalanya, tetapi dipegangi
ekornya.”
Mereka rupanya khawatir kalau Pertamina
kebablasan lagi. Saya kira ini kekhawatiran yang berlebihan. Betul, pada
1970-an Pertamina pernah terkena krisis akibat salah kelola, sehingga
menciptakan stigma negatif bagi BUMN tersebut. Tapi, itu dulu. Sekarang, saya
yakin, Pertamina sudah belajar banyak dari krisis tersebut. Sejak Ari
Soemarno memimpin Pertamina, banyak prinsipprinsip governance diterapkan di
Pertamina dan diteruskan hingga hari ini.
Apakah mereka bekerja dalam ruang yang vacuum
sehingga bebas dari godaan? Tentu saja tidak. Ini tentu menjadi pekerjaan
rumah bagi banyak pihak, mulai dari penegak hukum hingga regulator. Tetapi
saya tahu persis betapa kerasnya upaya Pertamina dalam melakukan
transformasi. Saya nilai Pertamina berhasil dalam melakukan program
transformasinya.
Anda, dan perusahaan- perusahaan, yang pernah
berinteraksi dan melakukan transaksi bisnis dengan Pertamina tentu merasakan
betul perbedaan tata kelolanya. Maka sungguh aneh kalau ada orang yang masih
membiarkan stigma lama tentang Pertamina terus menjerat. Mungkin mereka lupa
bahwa kita sudah hidup di masa kini, dan kelak masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar