Budaya
sebagai Aksesori
Agus Dermawan T ;
Penulis Budaya dan Seni;
Konsultan Koleksi Benda Seni
Istana Kepresidenan
|
KOMPAS, 29 Oktober
2016
Hari Senin (24/10), Komisi Pemilihan Umum DKI
Jakarta mengesahkan tiga pasangan calon peserta pemilihan gubernur DKI
Jakarta. Lalu, tetabuhan festival pilgub Jakarta pun ramai berbunyi.
Tiga pasangan yang disahkan itu adalah Basuki
Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana
Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Entah disengaja atau tidak, tiga pasangan ini
ternyata datang dengan langkah yang menyeret-nyeret bendera kebudayaan.
Bendera itu dibawa dari rumah jabatan sebelumnya, dari perilaku budaya yang
pernah dilakukan, dan dari program budaya yang ingin dilaksanakannya.
Atmosfer budaya
Beberapa minggu sebelum disahkan sebagai
kandidat dalam pilgub, gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
lantang menyatakan ia punya komitmen penuh untuk melestarikan, mengembangkan,
dan memajukan kebudayaan di Jakarta. Komitmen yang kesekian kalinya itu
muncul ketika ia mendengar berita kritisnya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB
Jassin, yang menyimpan ratusan ribu arsip di dalamnya. Pemerintah Provinsi
Jakarta, katanya, akan mengambil alih pengelolaan PDS, dengan membangun ruang
baru, seraya mencari tenaga yang benar-benar ahli dalam mengolah dokumentasi.
Bersamaan dengan itu, ia juga terus mengolah
rumus aktualisasi ”Kota Tua”, pembaruan Taman Ismail Marzuki dan pusat
kebudayaan (dan kesenian) di sejumlah wilayah Jakarta. ”Semuanya akan diformat
dengan konsep kekinian,” kata Ahok. Janji budaya ini diamanatkan di tengah
gebrakan pembangunan fisik, seperti pendirian rumah susun, sarana pendidikan,
sarana kesehatan, revitalisasi sungai dan jalan, pembukaan ruang terbuka
hijau, transportasi, dan penertiban hunian.
”Tertib berhuni adalah bagian dari mental
kebudayaan. Perasaan tenang dalam ketertiban hidup adalah modal awal dari
bermutunya kebudayaan,” ujarnya.
Menurut wakilnya, Djarot, tahap pembangunan
model ini merupakan bentuk dari upaya penguatan kuda-kuda pembudayaan agar
insan budaya terlebih dahulu memperoleh atmosfer dan momentum. ”Ini ikut
ajaran lama, yang biasa tumbuh di desa- desa. Bukankah ada ungkapan, desa
mawa cara, negara mawa tata?” kata Djarot. Artinya, orang desa punya feeling
strategi, orang kota merapikan sistemnya. Dan, orang-orang tua di Jawa sering
bertutur: papan bubrah, budaya kepapah—dalam kehidupan fisik yang
kumuh-runtuh, kebudayaan akan lumpuh.
Sesuai kapabilitas dan pembagian bidang kerja,
Ahok memercayakan pelaksanaan program ini kepada Sylviana Murni, yang
terposisi sebagai Deputi Gubernur Bidang Pariwisata dan Kebudayaan DKI
Jakarta. Sebagai wanita yang dianggap paham banyak aspek pengembangan budaya,
Sylviana diharapkan memberikan sentuhan estetis pada Jakarta, mengimbangi
Ahok yang keras bergelora.
Ironisnya, belum juga program itu banyak
disentuh, Sylviana menyingkir dari Balai Kota. Ia mencalonkan diri dalam
pilgub sebagai cawagub, justru untuk jadi pesaing Ahok-Djarot. Masyarakat
budaya sah untuk tertegun sambil khawatir melihat kenyataan ini. Bagaimana
nasib program kebudayaan yang kemarin digadang-gadang Ahok lewat pelaksanaan
Sylviana? Karena diyakini, selama empat bulan ke depan program kebudayaan
pemerintah kota sedikit-banyak bakal terbengkalai.
Lalu, andai kemudian Sylviana naik sebagai
wagub, adakah program kebudayaan versi Ahok itu akan diteruskan? Sementara,
apabila Sylviana akan menyusun pola dan strategi kebudayaan yang baru, ah,
sungguh sangat membutuhkan waktu. Padahal, Jakarta adalah etalase budaya
Indonesia yang dituntut untuk dipandang segera.
Masyarakat bahagia
Anies adalah figur dengan tutur kata yang rapi
dan sering filosofis. Ia mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Alhasil,
bendera budaya serta-merta tertenteng ke mana-mana.
Sebagai wong alusan, ia menyampaikan pidato
pendek yang juga lembut untuk memasuki Jakarta yang keras, ”premanistik”, dan
bergemuruh. Kepada publik ia bertutur: ”Saya dan Sandiaga Uno memandang
Jakarta bukan hanya kota. Jakarta merupakan tempat tinggal manusia Indonesia.
Di tanah Jakarta itu pula jutaan jiwa berikhtiar dan berusaha mendapatkan apa
yang dijanjikan dari sebuah kemerdekaan. Kami ingin masyarakat Jakarta jadi
orang-orang yang berbahagia.”
Pidato Anies itu tampak bertolak dari
pemahaman ihwal kota yang berasal dari kata Sanskerta: kotta, atau kita, yang
artinya kubu atau perbentengan. Kota didefinisikan sebagai wilayah yang
melindungi segala sesuatu yang diperlukan oleh warganya. Lalu, sejalan dengan
pendapat Jorge Hardoy, kota harus memiliki potensi jadi pusat komunitas yang
berbudaya, jadi tempat berkumpul para cendekia, yang lantas menjadikan kota
sebagai pusat penyebaran falsafah hidup.
Namun, Anies pasti menyadari bahwa ”pidato
budaya”-nya itu barulah uar-uar normatif wawasan budaya kota. Masih amat
lembek dan sangat berjarak dengan konsep serta strategi penumbuhan peradaban
Kota Jakarta yang luar biasa problemnya.
Bendera kebudayaan Anies ini pastilah ikut
dikibas Sandiaga Uno, yang kadang terlibat dalam perhelatan budaya. Dalam
acara peluncuran buku kemasan baru sastra klasik Indonesia di Museum
Nasional, ia menyatakan hasratnya untuk jadi maecenas kebudayaan. Mungkin
seperti raja minyak Rockefeller, Eli dan Edythe Broad pendiri SunAmerica,
Irwin dan Joan Jacobs pendiri Qualcomm, atau Paul Allen dari Microsoft.
Melihat kibaran bendera yang diusung
figur-figur peserta pilgub Jakarta dan mendengar apa yang disuarakan sebagai
komitmen, masyarakat budaya boleh bersenang hati. Lantaran jagat kebudayaan
Jakarta serta-merta ditaburi berbagai janji.Namun, masyarakat selalu ingat,
betapa janji itu adalah makhluk gaib, yang dalam sekejap bisa raib.
Masyarakat juga acap mencatat, betapa budaya sering terpajang hanya sebagai
aksesori. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar