Capaian
dan Tantangan
Makmur Keliat ;
Pengajar FISIP Universitas
Indonesia;
Analis Senior pada Kenta
Institute Jakarta
|
KOMPAS, 22 Oktober
2016
Ada dua cara untuk
memberikan catatan terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Cara pertama,
dengan menilai capaian apa yang telah dihasilkan selama dua tahun yang telah
berlalu. Cara kedua, dengan mengidentifikasikan tantangan-tantangan apa yang
mungkin menghadang dalam tiga tahun yang tersisa.
Dua cara ini tentu
saja saling terkait. Cara pertama pada dasarnya adalah capaian dalam agenda
konsolidasi yang kemudian dapat digunakan sebagai rujukan untuk melakukan
cara yang kedua yang disebut sebagai agenda institusionalisasi.
Agenda konsolidasi
Tidaklah mudah untuk
melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla dalam dua
tahun terakhir. Kesulitan awal terkait dengan konteks pergantian. Haruslah
dipahami bahwa kehadiran pemerintahan Jokowi-Kalla pada tahun 2014 bukan
dalam pengertian perubahan rezim. Secara akademik, pergantian itu lebih
memuat nuansa perubahan pemerintahan. Intinya peralihan pimpinan puncak
eksekutif dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Jokowi bukanlah peralihan dari
rezim Orde Lama ke Orde Baru atau dari Orde Baru ke Orde Reformasi.
Ada beberapa
konsekuensi dari karakter seperti ini. Pertama, kerangka aturan main
kompetisi politik tidak mengalami perubahan substansial. Perumusan kebijakan
tetap dilakukan dalam kerangka kompetisi politik demokratik. Tidak hanya
kompetisi politik demokratik yang tidak berubah, tetapi juga mesin dan proses
birokrasi tidak berasal dari sesuatu yang baru. Walau jumlah kementerian
telah berubah dan mengalami penyesuaian, karakter cara kerja mesin
birokrasinya tidak lalu serta-merta mengalami perubahan drastis pula.
Kedua, implementasi
sembilan agenda prioritas platform politik dalam masa kampanye (baca
Nawacita) tidak berada dalam ruang hampa politik. Seluruh gagasan dalam
platform itu berada dalam suatu tarik-menarik, renegosiasi, dan pertarungan
terus-menerus di antara pusat-pusat kekuasaan yang telah ada sebelumnya.
Realisasinya tidak seperti semudah membalik telapak tangan, tetapi harus
berhadapan dengan warisan politik, mesin birokrasi, dan fiskal yang telah
ditinggalkan pemerintah sebelumnya. Realisasinya berada dalam pertarungan
klasik antara apa yang sering disebut sebagai perubahan versus kesinambungan.
Identifikasi yang
dilakukan menunjukkan dua konsekuensi di atas telah membuat agenda politik
utama dalam dua tahun terakhir pemerintahan Jokowi-Kalla, sebagian besar
terarah pada konsolidasi politik. Konsolidasi politik kemungkinan besar
muncul dari dua kesadaran.
Kesadaran pertama,
basis kekuasaan politik formal pemerintah di lembaga legislatif tidak cukup
memadai untuk mewujudkan perubahan. Kesadaran kedua, perubahan kebijakan
ekonomi apa pun yang dilakukan mensyaratkan dukungan politik yang kuat.
Dalam konteks
konsolidasi ini, prestasi pemerintah tampak sangat mengesankan. Pada tataran
elite, misalnya, keberhasilan konsolidasi kekuasaan itu secara perlahan namun
pasti semakin memusat di tangan pimpinan puncak eksekutif. Walau basis
kekuasaannya bukan berasal dari kalangan pemimpin partai, tetapi setelah
menjadi presiden, Jokowi berhasil memperluas jejaring dukungan kekuasaannya.
Tidak hanya terbatas dengan partai pendukung awalnya, Jokowi juga berhasil
membangun jejaring hubungan kekuasaan yang baik dengan kekuatan politik,
seperti Golkar, kekuatan politik kedua terbesar di parlemen.
Konsolidasi kekuasaan
di tataran elite ini tentu saja telah memberikan ruang yang lebih luas bagi
Presiden untuk mengambil inisiatif kebijakan. Mencairnya garis demarkasi
politik antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih telah pula
membuat demokrasi Indonesia menjadi semakin matang. Fenomena polarisasi
politik dua kubu yang berakhir dalam kebuntuan dan stagnasi politik seperti
dalam kasus Thailand telah dapat diminimalkan.
Namun, di sisi lain,
mengaburnya polarisasi itu semakin memudarkan persoalan kompetisi ideologis
dalam sistem kepartaian majemuk di Indonesia.
Keberhasilan konsolidasi
kekuasaan pada tingkat akar rumput juga tak kalah mengesankan. Kunjungan
blusukan yang terus-menerus dilakukan ke berbagai penjuru Tanah Air telah
menguatkan persepsi masyarakat tentang angin perubahan yang terus bertiup.
Pola kunjungan blusukan itu telah berhasil mengembalikan kepercayaan publik
yang terletak di pelosok-pelosok jauh dari Jakarta, tentang ketulusan
kepemimpinan nasional untuk memecahkan masalah-masalah lapangan mereka secara
konkret. Tentu saja hal ini menjadi perkembangan baik. Secara umum
kredibilitas Jokowi sebagai pemimpin nasional di tingkat akar rumput itu tak
tergoyahkan dan luar biasa.
Di sisi ekonomi,
prestasi yang dicapai juga luar biasa. Konsolidasi fiskal sangat tampak
nyata. Dana APBN tidak lagi diberikan untuk menyubsidi harga energi BBM.
Belanja modal, khususnya dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan,
bendungan, jembatan, perumahan, dan infrastruktur energi, meningkat luar
biasa.
Semua itu dimungkinkan
karena penambahan penerimaan pajak. Selain telah menembus angka Rp 1.000
triliun, penerimaan pajak juga telah meningkat dari angka Rp 1.489,2 triliun
pada 2015 menjadi Rp 1.527,1 triliun di 2016. Program pengampunan pajak tahap
pertama juga telah berjalan dengan baik.
Seluruh konsolidasi
fiskal ini dapat berjalan dengan baik karena konsolidasi politik di tingkat
elite yang telah berhasil. Basis dukungan politik Jokowi yang meluas di
tingkat elite telah membuat penghapusan subsidi harga BBM tidak mendapatkan
perlawanan berarti di DPR. Demikian juga halnya pengalihan dana subsidi harga
BBM menjadi dana pembangunan infrastruktur juga mendapat dukungan dari
mayoritas DPR. Pembahasan UU Pengampunan Pajak juga berlangsung dengan mulus
di DPR.
Agenda institusionalisasi
Persoalan yang
tertinggal tampaknya adalah institusionalisasinya. Intinya adalah bagaimana
membuat seluruh agenda konsolidasi politik dan ekonomi itu menjadi tak dapat
diubah kembali (irreversible change) dalam tiga tahun yang tersisa.
Identifikasi yang dilakukan menunjukkan ada beberapa hal yang perlu dilakukan
dalam konteks institusionalisasi ini.
Pertama, kunjungan
blusukan perlu disertai dan diseimbangkan dengan kebutuhan untuk melakukan
konsolidasi kelembagaan di tataran birokrasi. Kunjungan blusukan yang
terus-menerus jangan sampai menimbulkan kesan bahwa jejaring birokrasi tidak
dibutuhkan atau dipandang semata-mata sebagai hambatan. Pelibatan birokrasi
yang sangat minimal dapat menjadi kontraproduktif dalam memonitor
implementasi suatu kebijakan dan juga mengevaluasi suatu perubahan.
Bagaimanapun birokrasi
menjadi penting karena menjadi mesin pemberi informasi terhadap pimpinan
kementerian dalam pengambilan kebijakan. Birokrasi harus bekerja dalam suatu
kerangka legal dan rasional, dengan target menghilangkan pungutan liar
(illegal levy), sekaligus meminimalkan kompetisi sektoral, misalnya antara
industri, perdagangan, dan pertanian. Agenda reformasi birokrasi sipil harus
berjalan dengan cepat, tetapi jangan pula berujung pada sikap anti-birokrasi.
Pelibatan birokrasi militer untuk mempercepat debirokratisasi jangan pula
sampai menimbulkan kesan adanya perluasan peran TNI di luar kerangka legal
yang ada.
Kedua, konsolidasi di
tingkat elite dan akar rumput yang berhasil itu jangan sampai mengasingkan
lapisan menengah. Komunikasi dan kerja-kerja politik yang lebih efektif
dengan lapisan menengah perlu dilakukan secara khusus. Kesan yang diperoleh
menunjukkan lapisan menengah ini sangat kritis dalam menyikapi
capaian-capaian pemerintah. Pertarungan "diskursus" dalam berbagai
format meme di media sosial adalah penanda yang baik untuk melihat kritikan
kelas menengah tersebut.
Ketiga, keberhasilan
dalam konsolidasi fiskal jangan sampai melupakan kebutuhan untuk melanjutkan
agenda reformasi ketentuan hukum perpajakan. Harus ada target yang jelas,
berapakah peningkatan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) yang
ingin dicapai pada tiga tahun ke depan. Haruslah dicatat bahwa walau
penerimaan pajak bertambah, warisan rasio pajak terhadap PDB masih berada
pada angka problematik, yaitu sekitar 11,5 persen.
Demikian juga halnya,
harus terdapat target besaran persentase rasio besaran dana infrastruktur
terhadap PDB. Perubahan di Tiongkok, misalnya, diawali dengan menciptakan
target dana pembangunan infrastruktur sekitar 8 persen dari PDB.
Indikator-indikator riil ini menjadi penting untuk membuat konsep negara yang
hadir dapat secara mudah dilihat.
Realisasi dan evaluasi
keberhasilan belasan paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan sebaiknya
dikomunikasikan secara lebih baik kepada publik.
Semoga dalam tiga
tahun yang tersisa seluruh kerja institusionalisasi di atas bermuara pada
perubahan yang nyata, tidak menjadi kembali ke titik awal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar