Bob
Dylan
Bre Redana ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 23 Oktober
2016
Penerima anugerah
Nobel bidang sastra tahun ini adalah Bob Dylan. Ketika mengumumkan
keputusannya, selain menyatakan bahwa memilih Dylan bukanlah keputusan sulit,
pihak akademi pemberi hadiah berharap mereka tidak akan dikritik. Sampai saat
ini dari berbagai kantor berita belum terdengar satu patah kata dari pelantun
lagu "Blowin' in the Wind" itu mengenai anugerah yang diterimanya.
Jangan-jangan, kritik
diam-diam datang dari Dylan sendiri. Kalau Anda mengikuti perjalanan dia,
menonton filmnya, melihat pertunjukannya, membaca wawancara-wawancaranya,
kita akan kenal pandangan Dylan: ilusi dan kepentingan berbagai pihak
termasuk medialah yang membuat dirinya seperti pemberontak, tukang protes,
sosok antikemapanan, dan lain-lain.
Setiap orang, kata
dia, memiliki bakat sendiri-sendiri. Tidak dengan sendirinya yang berbakat
gitar lebih baik dari yang berbakat bikin kue atau menggergaji pohon. Ia
mulai main gitar umur sepuluh tahun. Mungkin ada bakat lain pada dirinya,
namun belum ditemukannya.
Ketika namanya meroket
tahun 1960-an, dikenal dengan rambut ikal tak beraturan, jins belel, sepatu
boots, kacamata hitam, media selalu menanyakan apa yang membuatnya menulis
lagu ini lagu itu. Lirik-lirik yang ditulisnya itulah yang sekarang
membawanya menjadi penerima Nobel Sastra. Ia dianggap "telah menciptakan
ekspresi puitis baru dalam tradisi besar lagu Amerika".
Saya menulis dengan
alasan seperti saya menulis lagu sebelumnya, kata Dylan. Alasan saya menulis
lagu sebelumnya sama dengan alasan menulis lagu yang sebelumnya lagi,
sebelumnya lagi, dan seterusnya. Dengan kata lain, ada orang yang melakukan
sesuatu yang disukainya secara terus-menerus, dan itu tidak selalu memerlukan
alasan.
Hanya saja, Dylan
berada di bawah sorotan media. Media membutuhkan alasan. Wawancara dibatasi
tema, subyek, pokok persoalan. Lalu pewawancara berhadapan dengan sosok yang
diwawancarainya. Banyak pewawancara payah, hanya berfungsi seperti ember:
menampung apa yang dimuntahkan pihak yang diwawancarainya.
Siapakah yang masih
mencoba merefleksikan, bahwa ketika kita berhadapan dengan orang lain, yang
bertemu adalah ego dengan ego? Apalagi, kalau kita melihat dari pemikiran
Buddhisme, bahwa ego itu pun bukan sebuah entitas, melainkan suatu proses
yang terus bergerak bersama waktu? Bagaimana sebuah wawancara sanggup
mengungkap psyche seseorang? Untuk kepentingan praktis media hal itu mustahil
terjadi, namun seberapa jauh keterbatasan tersebut disadari banyak orang?
Dylan pernah
mendefinisikan diri dengan ungkapan penyair Prancis Arthur Rimbaud: "I
is another" (Aku adalah si lain). Dalam suatu buku dilukiskan bagaimana
reaksi Dylan ketika membaca surat kabar yang menulis mengenai dirinya: Tuhan,
saya gembira ini bukan saya. Pada konser di Newport Folk Festival, tahun
2003, ia mengenakan wig dan jenggot palsu. Ketika orang menanyakan alasannya,
dia menjawab: adakah itu saya yang Anda lihat di sana?
Tak heran jika untuk
penghargaan dari lembaga bergengsi pemberi anugerah Nobel ini pun belum
keluar sepatah kata dari Dylan. Ia bukan sosok dari generasi dunia televisi
dan digital zaman ini, yang mudah mengumbar komentar dan selalu berisik
menyatakan baik rasa syukur maupun benci. Dirinya, kalau kita ingat lagu "Red
River Shore" adalah a stranger in a strange land (si asing di tanah
asing).
Saya tak yakin tidak
ada yang mengkritik keputusan akademi pemberi anugerah Nobel. Tidak adakah
penulis puisi yang lebih baik dari Dylan, lelaki maupun perempuan, kulit
putih atau kulit hitam atau warna kulit apa saja?
Jangan tanya seperti
itu. Saya adalah fans dia. Gara-gara dia dulu saya sempat pengin jadi
troubadour. Dylan pantas menerima anugerah apa saja. Ia adalah a stranger in
a strange land, pengembara di jalan sunyi yang tak henti mempertanyakan diri
sendiri: sebuah jalan yang dibutuhkan terlebih di zaman yang gaduh di mana
banyak orang merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri, sambil mencap
orang lain sesuka hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar