Dua
Tahun Kedaulatan Pangan
Dwi Andreas Santosa ;
Guru Besar Fakultas Pertanian
IPB;
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan
Teknologi Tani Indonesi/AB2TI;
Center of Reform on
Economics/CORE Indonesia
|
KOMPAS, 24 Oktober
2016
Sebagai prioritas utama pembangunan,
kedaulatan pangan mendapatkan porsi anggaran cukup besar. Total anggaran
pertanian dan pangan tahun 2015 meningkat 71 persen, subsidi pupuk 87,5
persen, dan anggaran Kementerian Pertanian meningkat 112 persen dibandingkan
tahun sebelumnya. Pada tahun 2016 besaran anggaran itu menurun 5,7 persen
dibandingkan 2015, tetapi masih jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2014.
Pembangunan infrastruktur untuk kedaulatan
pangan selama masa pemerintahan saat ini juga dilakukan besar-besaran
meliputi pembangunan 49 bendungan, pembangunan jaringan irigasi untuk
persawahan seluas 1 juta hektar, serta rehabilitasi jaringan irigasi untuk
lahan pangan seluas 3,3 juta hektar (RPJMN 2015-2019). Pembangunan
infrastruktur pertanian, terutama jaringan irigasi, memang relatif terabaikan
selama 30 tahun terakhir ini sehingga sekitar 50 persen jaringan irigasi
strategis, terutama di Pulau Jawa, rusak hingga rusak parah. Kerusakan
jaringan irigasi tersebut menyebabkan hanya sekitar 10 persen air
irigasi yang bisa dikendalikan.
Produksi, impor,
ekspor
Pembangunan infrastruktur dan peningkatan
anggaran yang drastis untuk sektor pertanian dan pangan diharapkan memberikan
dampak yang signifikan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak
jangka pendek berupa kenaikan produksi, sedangkan jangka panjang adalah
tercapainya kedaulatan pangan.
Berdasarkan angka tetap, produksi padi tahun
2015 sebesar 75,40 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 6,42
persen dibandingkan tahun 2014, jagung 19,61 juta ton pipilan kering
(meningkat 3,18 persen) dan kedelai 0,963 juta ton biji kering (meningkat
0,86 persen) yang menorehkan prestasi tertinggi selama 10 tahun terakhir ini
(BPS, Agustus 2015). Apabila data tersebut benar, maka akan menghasilkan
surplus beras sebesar 16,8 juta ton dan jagung sebesar 7,41 juta ton yang
menjadi stok awal tahun 2016.
Angka produksi tersebut menjadi perdebatan
besar, baik di kalangan akademisi, pelaku usaha, maupun internal pemerintah
sendiri. Apabila angka tersebut benar, pada tahun 2015 kita seharusnya mampu
mengekspor beras 10 juta ton dan jagung sekitar 5 juta ton atau harga beras
medium tahun 2016 turun drastis ke angka kurang dari Rp 4.000 per kg.
Namun, kenyataan yang ada tidaklah demikian.
Impor beras, jagung, dan kedelai justru meningkat masing-masing 2,1 persen,
3,7 persen, dan 9,8 persen dibandingkan tahun 2014. Harga juga tidak turun,
bahkan naik cukup tinggi. Harga beras medium rata-rata nasional meningkat
dari Rp 8.934 per kg pada Oktober 2014 menjadi Rp 10.414 pada Oktober 2015.
Apabila dihitung rata-rata tahunan meningkat dari Rp 9.112 menjadi Rp 10.321
atau kenaikan sebesar 13,3 persen yang jauh melampaui inflasi tahun 2015.
Ketidaksinkronan antara data produksi, harga,
dan impor menunjukkan persoalan sangat serius, terutama terkait dengan data
produksi. Dari hasil kajian AB2TI di 61 kabupaten menunjukkan terjadinya
penurunan produksi padi tahun 2015 dibandingkan dengan tahun 2014 yang
sekaligus mengonfirmasi ketidakakuratan data produksi.
Kajian yang dilakukan beberapa perguruan
tinggi tahun 2015 juga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan hasil kajian
AB2TI. Produksi padi tahun 2016 ini kemungkinan membaik karena kemarau basah
"La Nina", sebaliknya produksi jagung dan kedelai kemungkinan
menurun karena persaingan penggunaan lahan.
Peningkatan produksi padi dan masuknya beras
impor menyebabkan stabilnya harga beras pada tahun 2016. Harga tertinggi dan
terendah pada tahun 2016 ini hanya terpaut Rp 354 untuk harga beras medium
rata-rata nasional. Meskipun harga sudah mulai naik kembali sejak Juli 2016,
kenaikan cenderung melandai apabila dibandingkan tahun 2015.
Impor belum turun
Dari sisi impor pangan, tampaknya pemerintah
belum mampu menurunkan tanpa mengganggu stok dan harga. Impor beras dalam 4
tahun terakhir ini cenderung meningkat terus. Pada tahun 2013 Indonesia
mengimpor beras sebesar 0,473 juta ton yang kemudian meningkat menjadi
0,844 juta ton dan 0,862 juta ton pada tahun 2014 dan 2015.
Pada tahun 2016 hingga Agustus sudah masuk
beras impor sebesar 1,128 juta ton atau meningkat 30,9 persen (total impor
beras 2015 dibandingkan impor beras Januari-Agustus 2016) (BPS, Oktober
2016).
Data yang mengejutkan adalah penurunan tajam
volume impor jagung pada semester I-2016 ini sebesar 0,970 juta ton atau 51,9
persen dibandingkan semester I-2015. Sayangnya, penurunan impor jagung
tersebut kemungkinan besar tidak disebabkan peningkatan produksi, tetapi
sekadar pembatasan impor.
Jagung merupakan komponen utama pakan ternak,
tetapi bisa disubstitusi dengan gandum (wheat feed). Akibat pembatasan
impor jagung tersebut, impor gandum melonjak sangat tinggi pada periode yang
sama, yaitu terjadi peningkatan sebesar 2,135 juta ton atau 57,4 persen.
Pada tahun 2016 diperkirakan impor gandum bisa
menyentuh 10 juta ton (tahun 2015 sebesar 7,6 juta ton) yang menempatkan
Indonesia menjadi salah satu importir gandum terbesar di dunia. Apabila
disandingkan dengan angka konsumsi beras, proporsi gandum sebagai penyusun
pangan pokok meningkat menjadi hampir 30 persen, melampaui batas kritis
sebesar 25 persen.
Ekspor belum
signifikan
Ditinjau dari sisi ekspor pangan dan komoditas
pertanian, selama dua tahun terakhir ini belum memperlihatkan perkembangan
yang signifikan. Ekspor produk tanaman pangan sedikit meningkat dari 0,205
miliar dollar AS pada tahun 2014 menjadi 0,212 miliar dollar AS tahun 2015.
Meskipun demikian, nilai ekspor produk tanaman pangan tersebut sangat kecil
dibandingkan nilai impor pangan yang mencapai 6,790 miliar dollar AS pada
tahun 2015.
Nilai ekspor produk-produk perkebunan dari kelapa
sawit hingga rempah-rempah cenderung menurun dari tahun 2012 hingga 2015,
yaitu dari 34,228 miliar dollar AS pada tahun 2012 menjadi 28,335 miliar
dollar AS tahun 2015, atau menurun sebesar 17,2 persen.
Data hingga Juli 2016 menunjukkan terjadinya penurunan
ekspor di semua komoditas perkebunan penting, yaitu kelapa sawit, kopi,
kakao, karet, dan teh (diolah dari data BPS dan Kementan 2012-2016).
Persoalan produksi dan turunannya berupa impor
dan ekspor pangan serta swasembada hanya sebagian dari konsep besar
kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan mengubah pola pembangunan
pertanian yang sangat berat ke aspek peningkatan produksi at all cost ke
pembangunan pertanian yang memuliakan petani, meningkatkan kesejahteraan
mereka, serta mendorong sistem pertanian agroekologis berbasis petani kecil
dan pertanian keluarga.
Kedaulatan pangan juga bermakna perlindungan
petani kecil dari sistem perdagangan internasional yang tidak adil melalui
renegosiasi sejumlah perjanjian internasional terkait liberalisasi perdagangan
pangan dunia.
Diskursus lingkungan pembangunan pertanian
yang berlandaskan rasionalisme ekonomi perlu diubah menjadi rasionalisme
hijau, pola yang eksploitatif dan ekstraktif terhadap sumber daya alam
berubah menjadi perlindungan dan keberlanjutan.
Reforma agraria
Dalam payung besar kedaulatan pangan aspek
reforma agraria dan akses petani kecil terhadap sumber daya produktif, baik
fisik maupun permodalan, menjadi salah satu kunci.
Ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan lahan
menyebabkan indeks gini tanah mencapai 0,59 (Budi Mulyanto, 2016) yang hanya
bisa diatasi melalui redistribusi lahan bagi petani kecil. Pola-pola subsidi,
baik subsidi pupuk, benih, beras sejahtera, maupun sejumlah bantuan, baik
alsintan maupun bantuan lainnya yang dari banyak kajian terbukti kurang
efektif, perlu ditinjau ulang dan dialihkan ke subsidioutput,
peningkatan permodalan petani kecil dan direct payment.
Terakhir, kedaulatan pangan juga bermakna
kedaulatan petani yang membebaskan petani dari upaya kriminalisasi, misalnya
kriminalisasi petani pemulia dan penangkar benih serta kriminalisasi gerakan
petani yang menuntut keadilan agraria. Kedaulatan petani juga berarti petani
diberi akses untuk ikut menetapkan kebijakan pada semua tingkatan sehingga
muncul peraturan, misalnya Permendag RI No 63 Tahun 2016 tentang Penetapan
Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen yang
terkesan memunggungi petani bisa dikurangi di masa yang akan datang.
Keberhasilan program kedaulatan pangan bukan
hanya menjadi dambaan pemerintah saat ini, melainkan juga tujuan sejumlah
gerakan masyarakat sipil dan jaringan tani di seluruh Indonesia. Gerakan yang
sangat mendambakan peningkatan kesejahteraan petani, keadilan agraria, dan
keberlanjutan pertanian.
Jayalah petani kecil! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar