Pemuda,
Imajinasi, Perjuangan
Geger Riyanto ;
Esais, peneliti sosiologi;
Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia dan
Bergiat di Koperasi Riset Purusha
|
KOMPAS, 28 Oktober
2016
Suatu hari, seorang novelis belia menyatakan
bahwa Indonesia merdeka berkat perjuangan kelompok religius. Melalui pesan
itu, sang novelis tampak ingin mempertanyakan andil satu kelompok yang
mencakup Tan Malaka dan Sjahrir dalam memerdekakan negeri ini
Sebagian kita mungkin masih ingat, tak lama,
sang novelis menuai berbondong kritik. Ia dianggap ahistoris, tidak
benar-benar membaca sejarah. Tetapi, selain memang patut dikritik, pernyataan
kontroversialnya mengungkap satu kesadaran kolektif yang penting kita
hiraukan. Perjuangan, dalam pikiran sang novelis, lekat dengan memerangi
serdadu-serdadu asing. Saya berani menjamin, ini bukan hanya keyakinan
satu-dua anak muda.
Kedekatan antara perang dan perjuangan
kemerdekaan ini tak lepas dari pencangkokan narasi sejarah secara masif oleh
rezim di masa silam. Sebagaimana pernah diteliti juga oleh Katherine McGregor
serta Asvi Warman Adam, dalam pemahaman sejarah yang dikembangkan Orde Baru
perjuangan bersenjata sangat dikedepankan. Teks sejarah utama, buku pegangan
sekolah, hingga cerita rakyat dianyam sehingga perjuangan terkesan hanya
sahih apabila mengangkat senjata terhadap bangsa asing.
Namun pemahaman sejarah yang demikian, saya
kira, langgeng bukan semata lantaran konstruksi rezim yang militeristis.
Sejak awal kemerdekaan itu sendiri, imajinasi perang sangatlah menggoda bagi
para pemuda. Kesaksian yang dihimpun sejumlah pengkaji periode revolusi
Indonesia menemukan bahwa para pejuang revolusi hampir bisa dipastikan
anak-anak muda. Di Jawa Timur, misalkan, William Frederick mencatat: persepsi
orang-orang desa adalah bahwa para pejuang identik dengan pemuda dari luar
desa.
Pemuda dan revolusi
Catatan Mary Margaret Steedly dari
etnografinya di Karo bahkan mengungkap bahwa kelompok pejuang kemerdekaan,
yang disanjung cerita-cerita sejarah resmi Indonesia di kemudian hari,
dibentuk dengan perkoncoan ala anak muda. Pada satu kelompok, misalnya,
begitu mendengar Indonesia merdeka beberapa anak muda yang menggebu-gebu
ingin melakukan sesuatu berkumpul. Mereka pun membentuk tentara dengan
mengajak kerabat, sepupu, dan teman untuk bergabung. Tentu saja tak ada
pemeriksaan, seleksi, atau pelatihan profesional. Bahkan, sosok komandan
dipilih berdasarkan siapa yang paling berwibawa di antara mereka.
Citra dari kelompok-kelompok pejuang ini, di
antara orang-orang yang langsung menjumpainya, pun lebih menyerupai jagoan.
Laporan seorang jurnalis yang ditemukan Steedly, misal, menuturkan para
pejuang di Sumatera Timur tampil memakai bot dengan dua revolver di sisi kiri
dan kanan pinggangnya. Kemiripan mereka dengan koboi bukan kebetulan.
Jurnalis bersangkutan lanjut memaparkan, para pemuda ini memang terinspirasi
figur-figur jagoan dari kebudayaan populer seperti jago tembak Amerika,
laskar Islam, samurai, dan sejenisnya.
Satu hal jelas di sini. Dengan perjuangan
mereka, para pemuda ini berhasrat mengejar citra diri yang gagah. Satu
artikel bertajuk ”Sikap Angkatan Muda”, yang terbit tahun 1946 di sebuah
media nasionalis, bahkan mengungkapkannya dengan lebih benderang. Artikel
tersebut menyerukan kepada para pemuda, ”Bentuklah jiwamu menjadi Diponegoro
muda, Teuku Umar muda, Tuanku Imam Bondjol muda.” Periode kemerdekaan dan
imajinasi perang, kalau boleh saya mengartikannya, menjadi panggung bagi para
pemuda untuk merasa dirinya adalah seseorang.
Kendati kita bisa mengatakan inisiatif
perjuangan didorong oleh kebutuhan para pemuda untuk memaknai hidupnya,
persoalannya, dampak gawatnya nyata. Perang berarti melenyapkan pihak
tertentu. Harus ada mereka yang menjadi musuh, korban, disingkirkan. Dengan
kenyataan para pejuang ini bukan tentara yang terorganisasi, tak heran yang
juga acap berkecamuk pada periode itu bukanlah perang terhadap pihak lain
melainkan terhadap diri sendiri—terhadap imajinasi ihwal ”yang lain”.
Pembakaran jamak terjadi terhadap permukiman dan
toko-toko warga Tionghoa. Satu kesaksian yang ditemukan James Siegel
bercerita, camat sebuah daerah di Jawa Barat yang berpihak pada republik
harus menyelamatkan warga Tionghoa di tempatnya dengan mengungsikan mereka.
Para pejuang mendirikan pos di mana-mana, yang mengharuskan orang lewat
menyapa ”merdeka” agar tak disangka antek Belanda. Mereka yang kebetulan
lewat dari daerah yang dicurigai berpihak kepada Belanda rentan mengalami
bahaya.
Dari kesaksian lain seorang guru di Jawa
Timur, penggeledahan sewaktu-waktu dapat dilakukan di desa-desa oleh para
pejuang. Mereka memeriksa apakah warga memegang uang Belanda atau tidak.
Apabila tertangkap basah memiliki uang Belanda—dan warga dapat memegangnya
sekadar karena alasan kepraktisan—warga bersangkutan dapat diculik dan tak
akan pernah ditemukan lagi.
Kita masih menyimpan setumpuk cerita lain
ihwal ini. Tetapi, intinya, ada satu gelombang besar penertiban yang memaksa
orang-orang yang awam dengan kemerdekaan sekalipun mengenakan identitas
Indonesia. Apa yang berkembang di sejumlah tempat akibat keberadaan para
pemuda pejuang ini adalah ketakutan terlihat dengan atribut identitas
tertentu, termasuk di antara mereka yang mendukung republik sekalipun. Mereka
yang terlahir dengan atribut identitas yang tak terkesan Indonesia, dalam
banyak kasus, jadi korban tak terhindarkan perang ini.
Daya pikat peperangan
Untuk apa fakta ini diungkit?
Tentu, kita dapat mengatakan ini adalah dampak
tak terhindarkan sebentang periode sejarah yang memang kalut. Sulit untuk mengatakannya
sebagai aib tanpa dituduh berpikir anakronistis. Tetapi, saya sekadar ingin
memperlihatkan bahwa 71 tahun selepas revolusi Indonesia, ada yang tak lekang
di antara para pemuda. Kami tetaplah pihak yang rentan terpikat imajinasi
peperangan dan drama yang digelar dengannya.
Inilah yang hingga hari ini, saya kira,
menyangga dominasi narasi sejarah kemerdekaan yang bernuansa peperangan.
Bukan hanya sejarah kemerdekaan yang, dengan demikian, akan terus diajarkan
dengan bahasa peperangan. Film perjuangan yang ditonton, wejangan komedian
berdikari yang dianggap menarik, cuit provokatif dari akun gelap yang
di-cuit-kan ulang adalah yang menceritakan kemerdekaan sebagai perjuangan
mengusir ”yang lain”. Narasi ini akan mereproduksi dirinya sendiri, bahkan
tanpa campur tangan negara.
Persoalannya, ini berakibat perjuangan melalui
pengorganisasian, pengaderan, penulisan, pendidikan, tak diindahkan dengan
sepantasnya dalam ekspresi populer kita ihwal sejarah kemerdekaan. Belum lagi
imajinasi kita perihal periode sejarah yang penting dalam pembentukan
republik menjadi berwajah laki-laki—maskulin. Kita tak ingat dengan andil
perempuan yang dibuktikan oleh beberapa penulis sejarah juga vital.
Bagaimana dengan perjuangan intelektual
menyemai embrio gagasan kemerdekaan melalui jurnalisme serta kesusastraan
yang dicap Belanda liar? Dengan sendirinya pula ia menjadi redup. Alasannya
pun absurd jika dipikir-pikir. Sesederhana halaman-halaman sejarah ini:
membosankan. Tidak dramatis jika dibandingkan dengan perjuangan berbentuk
perang dan angkat senjata.
Apabila perjuangan kemerdekaan yang akan terus
diceritakan sepanjang republik ini ada tak pernah tanggal kelekatannya dengan
perang, saya khawatir ia membiasakan kita untuk menganalogikan apa-apa dengan
perang. Kerugiannya? Persoalan apa pun, kerugiannya, akan dianggap dapat
dipecahkan dengan memenangi perang yang berarti menyingkirkan ”yang lain”.
Kita tahu, logika yang demikian bukan hanya
menyederhanakan. Ia fatal. Apakah kita dapat membayangkan mentalitas demikianlah
yang diinginkan para pendiri republik agar dimiliki oleh pemudanya di masa
mendatang? Jelas, tidak! Tidak untuk satu komunitas besar yang kemajemukannya
tak terkira—Indonesia. Tidak di satu negeri di mana seseorang yang paranoid
dengan liyan dapat menciptakan musuh tanpa akhir.
”Revolusi,” ujar Pramoedya dalam orasinya
untuk pemuda di 2002, toh, ”tak harus dengan kekerasan.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar