Pahitnya
Menata Manisnya Industri Gula
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute for
Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 24 Oktober
2016
Pelambatan pertumbuhan
ekonomi dunia saat ini menimbulkan konsekuensi penurunan permintaan. Akibatnya,
sejumlah harga komoditas, tak terkecuali komoditas pangan, mengalami tren
penurunan harga. Tak heran jika harga beras, jagung, kedelai, gandum, gula,
dan komoditas lain juga relatif turun di pasar internasional.
Ironisnya, di
Indonesia, harga sejumlah komoditas pangan tersebut justru naik. Gula,
misalnya, harganya naik sangat fantastis, hampir 200 persen. Konsumen yang
biasanya membeli gula pasir dengan harga Rp 8.000- Rp 10.000 per kilogram
(kg) tiba-tiba pada Ramadhan dan Idul Fitri 2016 dikejutkan dengan harga gula
yang meroket, mencapai Rp 18.000 per kg.
Pola kenaikan musiman
menjelang Ramadhan dan Idul Fitri memang merupakan persoalan klasik kita.
Namun, sampai dengan Oktober 2016, atau empat bulan kemudian, harga gula
stabil di kisaran Rp 18.000 per kg. Lebih ironis lagi, di tengah harga gula
yang stabil tinggi, justru terdengar wacana untuk menutup sejumlah pabrik
gula milik pemerintah (BUMN). Padahal, logikanya, ketika harga barang naik,
respons kebijakan yang tepat adalah upaya menambah pasokan. Dengan kata lain,
justru saatnya produsen (pabrik) menambah pasokan dan mencari keuntungan.
Ternyata, isu
penutupan pabrik gula berpelat merah sudah terdengar. Pabrik gula
Karangsuwung di Cirebon, Jawa Barat, mulai Maret 2015 berhenti beroperasi.
Pabrik gula Sindanglaut dan pabrik gula Subang, juga beberapa pabrik gula di
Jawa Timur, akan bernasib sama. Penutupan pabrik gula tersebut karena tak
efisien, yakni kapasitas gilingnya di bawah 4.000 ton tebu per hari, sehingga
biaya operasional membengkak. Umumnya, pabrik gula yang berskala kecil
tersebut merupakan peninggalan Belanda, atau berusia lebih dari 100 tahun.
Inefisiensi pabrik
gula di Indonesia bukan hanya bermasalah pada pengolahan atau pabrik dengan
mesin tua, melainkan persoalan dari hulu hingga hilir. Inefisiensi dari sisi
budidaya tebu, dengan biaya sewa lahan, biaya pupuk, dan biaya tenaga kerja
yang semakin mahal. Pola manajemen tebang angkut dari lahan petani ke pabrik
gula yang tidak profesional juga berkontribusi membuat kadar gula (rendemen)
sangat rendah, sekitar 7 persen. Truk pengangkut tebu harus antre
berhari-hari untuk masuk ke pabrik gula.
Namun, bukan berarti
semua pabrik gula berpelat merah di Indonesia tidak efisien. Terbukti,
beberapa pabrik gula milik pemerintah yang beroperasi di luar Jawa dengan
mesin-mesin yang relatif baru mampu memiliki produktivitas dan rendemen yang
lebih baik. Meskipun, jika dibandingkan pabrik gula swasta yang beroperasi di
wilayah yang sama, tingkat rendemen di pabrik gula BUMN masih sangat jauh
berbeda. Artinya, persoalan inefisiensi ini tidak terkait masalah teknis
semata, tetapi juga persoalan tata kelola pabrik dan manajemen sumber daya
manusia.
Jika demikian, respons
kebijakan yang tepat, mestinya, tak sekadar mewacanakan penutupan pabrik gula
yang dinilai tidak efisien. Namun, perlu upaya serius dan konkret untuk
mempercepat revitalisasi dan relokasi pabrik gula yang tidak efisien. Sayang,
kebijakan yang diambil pemerintah justru lewat cara instan, yaitu dengan
menambah pemberian izin 11 pabrik gula kristal rafinasi (GKR). Pemberian izin
pendirian pabrik GKR meningkat cukup signifikan dengan alasan industri
makanan-minuman pengguna GKR juga meningkat. Akibatnya, impor gula mentah
(raw sugar) meningkat tajam.
Produksi GKR mencapai
3,5 juta ton, sedangkan kebutuhan GKR diperkirakan hanya 2,3 juta ton per
tahun. Jadi, wajar jika gula rafinasi yang semula diperuntukkan untuk
industri, dapat merembes ke pasar tradisional. Hal ini dikarenakan produksi
gula nasional hanya 2,5 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan konsumsi
rumah tangga mencapai 2,7 juta ton setahun.
Akibatnya, kendati
pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor
42 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih, hal
itu tak kunjung menyelesaikan akar masalah. Dalam permendag itu, pemerintah
mematok harga patokan petani Rp 9.100 per kg. Bahkan, program operasi pasar
yang dilakukan Kementerian Perdagangan, dengan menunjuk PT Perusahaan
Perdagangan Indonesia (Persero), untuk menggelontorkan 192.000 ton gula, juga
tidak membuat harga berubah.
Sebab, pasar telah
dikuasai beberapa perusahaan (oligopoli) yang membuat tata niaga gula
terdistorsi. Belum lagi rantai distribusi gula yang panjang dan permintaan
gula yang besar. Setidaknya ada empat rantai pasok komoditas gula, yaitu
distributor, subdistributor, grosir, dan ritel. Jika setiap rantai mengambil
margin 10 persen, harus ada tambahan biaya 40 persen.
Ke depan, program
revitalisasi harus dilakukan secara tuntas, tidak hanya tambal sulam dengan
mengganti sebagian mesin tua yang ada di pabrik-pabrik yang sudah uzur,
tetapi juga industri gula dibangun efisien, dari hulu sampai hilir. Caranya,
dengan membuat kebijakan yang konkret dan nyata, di antaranya merelokasi
sejumlah pabrik gula ke luar Jawa.
Langkah ini juga harus
dibarengi penegakan tata kelola yang baik. Tak ketinggalan, perbaikan dalam
pola pengendalian impor, yaitu mengubah sistem kuota, dari yang lebih rawan
korupsi dan kartel, jadi pengendalian tak langsung melalui mekanisme tarif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar