Reformasi Hukum Tertinggal
M Ali Zaidan ;
Dosen Ilmu Hukum UPN ”Veteran”
Jakarta
|
KOMPAS, 21 Oktober
2016
Ketika dikatakan bahwa
”reformasi hukum tertinggal” (Kompas, 9/10), pertanyaan yang menyeruak adalah
apakah ada yang salah terhadap reformasi hukum yang telah berjalan hampir dua
dekade saat ini?
Peraturan dan
kelembagaan sudah digarap, tetapi belum memberi efek signifikan. Sebaliknya,
kejahatan justru merajalela.
Sejatinya, fungsi
hukum mendatangkan kedamaian, menciptakan ketertiban, dan mewujudkan keadilan
sebagai tujuan akhir. Namun, ketiganya masih jauh dan bahkan dirasakan
sebagai barang mewah bagi rakyat jelata.
Hukum dengan segenap
lembaga dan pranata yang mendukungnya hanya berkutat pada masalah-masalah
rutinitas berupa tindakan represif untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku
kriminal. Keberhasilan penegakan hukum hanya diukur seberapa banyak penjahat
dikirim ke penjara! Tak dilihat seberapa jauh efek hukuman tersebut
mengurangi intensitas kejahatan.
Orang dapat saja
berkilah bahwa tugas itu bukan urusan penegak hukum. Penegak hukum hanya
berkutat pada teks aturan- aturan. Padahal, dalam UU tentang kelembagaan
hukum salah satunya terdapat usaha bagaimana meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat termanifestasi pada sikap-sikap yang
menaati dan menjunjung tinggi hukum. Ironisnya, terkadang aparatur hukum juga
gagal memberikan teladan tentang bagaimana cara mematuhi hukum. Maraknya
judicial corruption maupun pungli di lingkungan aparat merupakan indikator
kegagalan itu.
Sekarang semua telah
terjadi. Namun, masih ada waktu untuk melakukan pembenahan menyeluruh. Baik
menyangkut substansi maupun struktur hukum. Di atas semua itu, pembinaan
kultur hukum merupakan prasyarat bagi keberhasilan berbagai reformasi hukum
yang hingga saat ini terus diupayakan.
Manusia baik
Terkadang dilupakan
bahwa urusan hukum berhubungan dengan manusia. Manusia adalah pengada,
sekaligus adressat dari penegakan hukum. Lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudisial merupakan dimensi suprastruktur hukum. Basis sosialnya adalah
masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu,
pembangunan hukum akan lebih efektif bila menjadikan manusia sasaran
utamanya. Hukum hendaklah membuat manusia jadi baik. Kedengarannya
menggelikan, tapi bukan berarti mustahil. Dari hukum diharapkan timbul dampak
kepatuhan, kesukarelaan untuk menundukkan diri terhadapnya. Supremasi hukum
kredo yang pas menggambarkan misi itu.
Berkali-kali (alm)
Satjipto Rahardjo menekankan betapa penting unsur manusia di belakang hukum. Manusia
yang baik adalah dasar bagi hukum yang baik. Dengan demikian, apabila aspek
manusia ini belum digarap dengan saksama, membangun lembaga dan pranata hukum
diyakini tidak cukup untuk memberikan dampak yang signifikan dalam reformasi
hukum.
Pekerjaan penegakan
hukum mulai pembuatannya sampai eksekusinya hanya dilihat sebagai business as
usual. Ketika kejahatan marak, hukum laksana pemadam kebakaran yang dipakai
sebagai alat yang instan untuk menyelesaikanpermasalahan sosial tersebut.
Jika lembaga dan
pranata hukum—termasuk bidang pendidikan—telah digarap, langkah selanjutnya
menciptakan sistem reward dan punishment yang baku. Artinya, mereka yang
berjasa menegakkan hukum diberi penghargaan yang pantas, sebaliknya mereka
yang terlibat dalam mafia hukum diberi sanksi yang keras.
Lembaga perwakilan
rakyat harus memberi dukungan sepenuhnya terhadap terwujudnya peta jalan itu.
Karena, kenyataannya, profesionalitas saja tak cukup apabila tidak didukung
dengan sistem sanksi (positif dan negatif) yang memadai.
Apabila kepatuhan
hukum telah jadi prasyarat bagi berbagai promosi jabatan dan sebaliknya, dan
pelanggaran merupakan risiko yang harus dipikul untuk mencapai peta jalan
itu, niscaya tujuan reformasi hukum pelan-pelan akan pulih kembali. Fungsi hukum
akan diletakkan kembali ke rel awalnya, yakni menciptakan kedamaian (het
recht wil de vrede).
Pendidikan tinggi hukum
Perguruan tinggi hukum
(PTH) tak hanya memberi bekal bagi lulusannya untuk jadi profesional dengan
menguasai teknikalitas hukum, tetapi mengenali siapa manusia yang akan jadi
sasaran penegakannya. Pengenalan terhadap manusia ini telah digariskan oleh
UU Perguruan Tinggi, yang salah satu fungsinya adalah mengembangkan iptek
dengan memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai humaniora.
Dengan demikian, tugas
yang diemban PTH sangat berat, yakni menciptakan manusia yang berbudaya
dengan bekal keterampilan ilmu hukum untuk meningkatkan derajat kemanusiaan
itu sendiri. Lulusan PTH hendaknya jadi teladan bagi kepatuhan terhadap
hukum, tutur kata dan sikap tindak yang etis, mendahulukan kepentingan yang
lebih besar—terutama bagi bangsa dan negara—tidak ingin menang sendiri,
mengedepankan mufakat daripada berdebat, dan seterusnya. Dalam skala makro,
penegak hukum merupakan contoh utama bagi kepatuhan terhadap hukum. Jika
aspek ini tak digarap dengan saksama, reformasi hukum akan berjalan di tempat
kalau tidak hendak dikatakan mundur sama sekali! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar