Pemimpin Pemalu
Herry Tjahjono ;
Terapis Budaya Perusahaan, Jakarta
|
KOMPAS, 17 Oktober
2016
Malu adalah salah satu bentuk emosi manusia
yang punya arti beragam. Malu bisa berhubungan dengan emosi, perasaan pada
diri manusia akibat sebuah perilaku yang dilakukan sebelumnya tetapi ingin
ditutupinya.
Penyandang rasa malu secara alamiah cenderung
ingin menyembunyikan dirinya dari orang lain dan sekitarnya. Sebab, ia merasa
tak nyaman jika perbuatannya diketahui orang lain (Wikipedia).
Beberapa penulis seperti Michael Lewis (Shame:
Exposed Self, 1995) dan Stephen Pattison (Shame: Theory, Therapy,
Theology, 2000) secara relatif menjelaskansoal malu dalam kaitan
dengan perasaan yang dialami Hawa seusai melanggar perintah Tuhan untuk tak
memakan buah kuldi di Taman Eden. Buah kuldi sebagai buah tentang pengetahuan
baik dan jahat. Kisah itu juga akhirnya menuturkan tentang rasa malu Hawa
tatkala sadar dirinya telanjang seusai melakukan perbuatan dosa, yaitu
melanggar perintah Tuhan dengan memakan buah kuldi.
Namun, sesuai konteks hidup keseharian, rasa
malu—meski bersifat sebagai emosi—sesungguhnya berhubungan dengan apa yang
disebut sebagai kompetensi. Singkat kata, kompetensi malu ini sesungguhnya
salah satu kompetensi lunak (soft competency) yang paling diperlukan
manusia, khususnya para pemimpin.
Benalu kehidupan
Dalam kaitan dengan kompetensi malu, sesuai
konteks tulisan ini, ada tiga golongan pemimpin. Pertama, pemimpin yang
”tidak punya malu”. Pemimpin seperti ini memiliki pengetahuan tentang malu
akan sesuatu hal, tapi ia tak peduli dan tetap melakukan hal yang memalukan
itu.
Berbeda dengan Hawa yang jadi sadar dan merasa
malu lalu menutupi aurat dan tubuhnya. Pemimpin yang tidak punya malu sadar
dan paham bahwa ”ketelanjangan”-nya itu memalukan, tetapi ia tak peduli dan
tetap saja memamerkan auratnya.
Pedoman moral pemimpin yang tak punya malu
sudah rusak. Pemimpin yang tak punya malu, meski sudah tahu berbuat salah,
melanggar, tak wajar—dan seterusnya—tetap tak peduli dan biasanya malah
menantang balik siapa pun yang mengingatkannya atau mengkritiknya. Pemimpin
tak punya malu juga memakai ”asas manfaat” dalam menjalani hidup dan
pekerjaannya. Tapi, bukan dirinya yang memberikan manfaat bagi orang lain,
hidup dan pekerjaan,melainkan sebaliknya: hidup, pekerjaan, orang lainlah
yang wajib memberikan manfaat kepadanya (oportunistik).
Bahasa kasarnya, pemimpin tak punya malu
adalah benalu kehidupan. Contohnya, pemimpin yang berteriak soal hukuman mati
bagi koruptor, tapi pada saat yang sama dia sendiri melakukan korupsi dengan
menerima suap. Atau anggota Dewan yang selalu berteriak membela rakyat tapi
terima suap untuk kasus yang bersinggungan dengan kepentingan rakyat. Juga
para kepala daerah serta koruptor lainnya yangcengengesan melambaikan tangan
di TV.
Beberapa contoh itu hanya sebagian kecil dari pemimpin yang tak punya
malu. Mereka tidak kompeten dari aspek rasa malu.
Kedua, pemimpin yang ”tidak tahu malu”. Orang
semacam ini memang tak punya pengetahuan akan sesuatu yang mesti dibuat malu.
Maka ia tidak sadar bahwa yang (telah) dilakukannya itu sesungguhnya
memalukan. Namun, orang atau pemimpin semacam ini pedoman moralnya belum
rusak meski tak berfungsi dengan baik.
Mereka tidak memakai asas manfaat,
tapi ”asas transaksional”. Bagi mereka yang penting adalah menjalankan
pekerjaannya, terlepas hasil kerjanya itu bermanfaat atau tidak pada orang
lain dan kehidupan.
Kita tentu masih ingat ketika pertama kali ada
sebagian anggota Dewan yang tak mengerti apa arti hak angket, hak
interpelasi, bahkan ada yang tak mengerti apa tugas dan kewajiban sebagai
anggota Dewan. Tentu untuk kapasitas anggota Dewan, hal-hal semacam itu
memalukan, tetapi mereka tak punya pengetahuan dan pemahaman bahwa hal itu
memalukan.
Ketiga, pemimpin yang ”pemalu”. Pemimpin
seperti ini sungguh paham, punya pengetahuan bahwa sesuatu hal memalukan.
Selain pengetahuan, sekaligus pedoman moralnya seperti Hawa, yang sadar dan
merasa malu telah melanggar perintah Tuhan, lalu menutup aurat dan
terus-menerus memperbaiki dirinya. Pedoman moralnya baik dan berfungsi.
Pemimpin ini memakai ”asas altruistik” dalam menjalankan kepemimpinannya.
Pemimpin otentik
Mereka lawan sempurna dari manusia tak punya
malu. Pemimpin pemalu, ambang batas rasa malunya sangat rendah sehingga ia
dengan sangat mudah merasa malu, jengah, sungkan jika tak bisa memberikan
manfaat bagi orang lain, pekerjaan, masyarakat, bangsanya. Bahkan, ketika
tidak berprestasi, mereka merasa malu.
Karena itu, pemimpin pemalu ini disebut
manusia otentik. Ia unik, merasa malu jika tak bermanfaat. Namun, sebaliknya,
ia ”tak malu” melakukan sesuatu yang tidak umum, aneh—misalnya marah-marah
dengan hebat—demi sebuah kebenaran atau manfaat bagi rakyat, orang banyak.
Wali kota Surabaya yang tak malu untuk meluapkan kemarahannya yang hebat,
mencak-mencak, ketika memergoki bawahannya tak beres mengelola e-KTP, adalah
salah satu contohnya. Demikian pula Basuki Tjahaja Purnama yang sering tak
malu dengan kemarahannya yang kasar jika berhadapan dengan ketidakberesan.
Mereka juga bukan sekadar kerja demi
melaksanakan kewajiban seperti halnya golongan manusia ”tidak tahu malu”,
tetapi mereka bekerja untuk mencari tujuan yang lebih tinggi. Karena itu,
kebutuhan hidup mereka yang tertinggi adalah memberikan makna bagi hidup dan
kehidupan di sekitarnya.
Akhirnya perlu disampaikan, jika sebuah bangsa
dipenuhi oleh golongan pemimpin ”tidak punya malu”, celakalah bangsa itu.
Jika dipenuhi oleh golongan pemimpin ”tidak tahu malu”, biasanya bangsa itu
hanya akan jadi bangsa yang moderate, biasa-biasa saja.
Biasanya para pemimpin golongan tak punya malu
dan tak tahu malu akan pantang mundur meski gagal atau berbuat sesuatu yang
memalukan. Hanya golongan pemimpin pemalu yang bersedia mundur secara dewasa
dan sportif jika gagal atau melakukan sesuatu yang memalukan. Dan, bangsa
yang dipimpin pemimpin pemalu punya potensi terbesar untuk menjadi bangsa
besar.
Kompetensi malu tampaknya layak kita
perhitungkan dalam melakukan berbagai proses pemilihan pemimpin bangsa ini,
baik itu pilkada sesaat lagi, fit and proper test para
pejabat, para pemimpin dimensi legislatif, yudikatif, pun para pemimpin
eksekutif berbagai level sampai presiden sekalipun. Sebagai sebuah kompetensi
kepemimpinan, malu bisa diukur. Mulai dari pengetahuan (knowledge)
tentang konsep malu dalam kaitannya dengan kepemimpinan, lalu eksekusi atau
pelaksanaannya sampai menjadi keterampilan (skill), dan akhirnya
membentuk sikap (attitude) ”malu” dalamsebuah kepemimpinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar