Strategi Diplomasi Pertahanan Maritim
Evan A Laksmana ;
Peneliti Centre for Strategic
and International Studies (CSIS)
|
KOMPAS, 20 Oktober
2016
Keamanan maritim
menjadi salah satu tantangan strategis Indonesia tahun ini; mulai dari kasus penculikan
WNI hingga insiden di laut akibat pencurian dan memanasnya sengketa Laut
Tiongkok Selatan. Meski demikian,
doktrin Poros Maritim Dunia (PMD) Presiden Jokowi masih belum diarahkan
secara serius pada dua (dari lima) pilar berdimensi eksternal: diplomasi
maritim dan pertahanan maritim.Bahkan, dalam konteks diplomasi maritim secara
keseluruhan, pembuat kebijakan luar negeri masih terkotak dalam diplomasi
delimitasi batas maritim atau perbatasan, tanpa pandangan holistik diplomasi
pertahanan maritim sebagai upaya menghadapi ancaman keamanan tradisional dan
non-tradisional (Kompas, 5/10)
Penelitian Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) yang dirampungkan awal Oktober
2016 mengajukan konsep strategi ”diplomasi pertahanan maritim” sebagai peta
jalan penguatan dimensi eksternal doktrin PMD.CSIS memandang diplomasi
pertahanan maritim sebagai langkah mencapai tujuan- tujuan pertahanan
maritim— mulai dari keamanan dan keselamatan di laut hingga peredaan
ketegangan dan stabilitas tatanan kawasan—melalui integrasi dan optimalisasi
sejumlah instrumen diplomatik, hukum, dan militer (maritim), baik dalam
keadaan damai, krisis, maupun perang.
Karena strategi ini
mencakup tiga elemen dasar (diplomasi, pertahanan, maritim), pelaksanaannya
harus lintas kementerian. Idealnya, formulasi dan implementasi strategi ini
dikoordinasikan staf atau kantor khusus di Kantor Kepresidenan.
Masih menurut kajian
CSIS, Indonesia telah menjalankan sejumlah kebijakan diplomasi pertahanan
maritim sejak 1998 meskipun secara parsial dan tak dalam kerangka terpadu.
Hal ini terutama karena dalam sejumlah kegiatan tersebut, leading actor kita
cenderung tidak konsisten, dari TNI AL hingga kementerian luar negeri,
pertahanan, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Sejumlah kegiatan ini
dapat dikategorikan ke dalam: (1) kerja sama bilateral dengan negara mitra
strategis; (2) kerja sama multilateral, baik dalam kerangka ASEAN maupun
non-ASEAN; (3) pengadopsian hukum internasional dan konvensi regional tentang
keamanan maritim; serta (4) sejumlah latihan dan operasi keamanan laut
bersama.
Mitra strategis
Secara keseluruhan,
antara 1999 dan 2014, Indonesia menandatangani 86 perjanjian bilateral
pertahanan dan keamanan dengan 31 negara. Dari beberapa perjanjian ini,
terdapat minimal 350 kegiatan maritim dengan 14 negara; meski lebih dari 80
persen hanya dengan Australia, Singapura, Filipina, India, dan Amerika.
Dari tipe kegiatan,
mayoritas diplomasi pertahanan maritim bilateral kita ada pada pertukaran
kunjungan (26 persen), patroli terkoordinasi (22 persen), dan latihan bersama
(21 persen). Selain itu, hingga 2015, kita telah mengadakan latihan maritim
bersama dengan enam negara mitra secara rutin sebanyak 189 kali.
Pola ini menunjukkan
rendahnya diversifikasi mitra strategis maritim Indonesia, terutama dengan
sesama negara ASEAN dan kekuatan kawasan lain seperti India, Jepang, dan
Tiongkok. Selain itu, kegiatan-kegiatan bilateral maritim kita juga masih
bersifat low-impact low-risk dan belum ada pelembagaan pelatihan bersama
secara rutin.
Bahkan, kerja sama
tradisional, seperti patroli bersama, juga masih belum konsisten dan
perluasan ranah kerja sama maritim pun baru terjadi beberapa tahun
belakangan. Akibatnya, kerja sama bilateral maritim Indonesia belum
terlembaga dengan baik ataupun menyeluruh.
Secara multilateral,
Indonesia terlibat aktif dalam paling tidak 25 forum maritim yang berada
dalam naungan ASEAN. Namun, sebagian besar dari forum ini hanya baru berjalan
selama beberapa tahun terakhir, dengan mayoritas kegiatan terkait dengan
pertukaran informasi, confidence building measures, dan dialog-dialog rutin.
Kenyataannya, forum
multilateral maritim ini lebih bersifat sukarela dan informal serta mencakup
isu-isu yang cenderung butuh waktu lama untuk punya dampak strategis. Isu-isu
strategis, seperti pengelolaan sumber daya maritim, pencegahan penangkapan
ikan secara ilegal, atau bahkan perlindungan ekosistem maritim dan
eksploitasi sumber daya hidrokarbon, tampak tak jadi prioritas.
Ketimpangan ini dapat
dimaklumi mengingat hakikat kerja sama multilateral yang selalu berusaha
mengakomodasi kepentingan banyak negara. Meski demikian, efektivitas
diplomasi pertahanan maritim hanya dapat dirasakan manfaatnya apabila ada
proses pelembagaan yang dapat digunakan untuk memobilisasi sumber daya
bersama dalam menghadapi persoalan-persoalan maritim terkini.
Di luar kerangka
ASEAN, dari sekitar 60 forum maritim multilateral yang ada di kawasan dan
sejumlah belahan dunia, Indonesia hanya terlibat sekitar seperempatnya.
Selain itu, dari 424 berbagai instrumen hukum internasional terkait persoalan
maritim, Indonesia menjadi negara peserta dalam 317 (atau sekitar 75 persen).
Akhirnya, jika dilihat
secara keseluruhan, Indonesia memformulasikan dan menjalankan berbagai
kegiatan diplomasi pertahanan maritim di atas dalam dan untuk situasi damai.
Penelitian CSIS menunjukkan minimnya instrumen-instrumen krisis maritim
Indonesia, seperti kita dapat lihat dalam berbagai insiden dengan Tiongkok
tahun ini.
Absennya sejumlah
persiapan krisis atau kemungkinan konflik bersenjata di laut ini memperparah
ketidakmampuan Indonesia menghasilkan strategi inovatif dan preventif dalam
persoalan Laut Tiongkok Selatan, misalnya. Dengan kata lain, peningkatan
kegiatan diplomasi pertahanan maritim apabila tak dibarengi pengembangan
sistem manajemen krisis, justru berpotensi mengurangi fleksibilitas dan
kegesitan kebijakan luar negeri Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar