Film
Pengkhianatan G30S/PKI :
Docudrama
atau Fakta?
Kisah Seorang Anak
SMP di Tahun 1984 dan Film Pengkhianatan G30S/PKI
|
MUNGKIN betul kata sejarawan John Roosa dalam salah satu
karya suntingannya: untuk Indonesia, 1965 adalah tahun yang tak pernah
berakhir.
Hampir setiap tahun, menjelang akhir September dan awal
Oktober, selalu tak luput dari pembahasan fakta, tulisan, buku atau kesaksian
baru tentang kejadian di sekitar 30 September 1965 sampai 1 Oktober 1965.
Tetapi tahun ini sangat berbeda. Pembahasan ramai di
berita sepanjang minggu ini, tentu lebih kencang lagi di lini massa media
sosial adalah tentang rencana pemutaran kembali film legendaris Penumpasan
Pengkhianatan G30S/ PKI yang lebih sering disingkat judulnya sebagai
Pengkhianatan G30S/ PKI.
Film produksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1984
ini diakui para pembuatnya sebagai docudrama, drama dokumenter, bukan
dokumenter.
Sebagian besar adegan dibuat dalam rekaan ulang, walaupun
ada juga beberapa bagian (sangat sedikit) berupa dokumentasi.
Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer,
diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp 800 juta kala itu.
Mungkin 10 kali lipat dalam nilai mata uang saat ini.
Selesai pada 1984 dan kemudian diputar secara
terus-menerus di bioskop nasional dan TVRI selama kurang lebih 13 tahun.
Mungkin inilah film nasional dengan jumlah penonton terbanyak sampai saat
ini.
Ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari
jabatannya, 21 Mei 1998, mulai banyak pihak mengkritisi film ini. Film yang
sejak semula memang tujuannya sebagai film propaganda di era pemerintahannya.
Ini diperkuat oleh hasil riset beberapa sejarawan yang
baru terungkap setelah Presiden Soeharto berhenti.
Dari rujukan-rujukan yang saya peroleh, setidaknya ada
tiga tokoh sentral yang berperan dalam dihentikannya pemutaran film
Pengkhianatan G30S/PKI.
Mereka adalah almarhum Marsekal Udara Saleh Basarah,
Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono.
Majalah Tempo menulis, Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu
mengatakan, ia pernah ditelepon Marsekal Udara Saleh Basarah, Kepala Staf
Angkatan Udara KSAU (1973-1977) sekitar bulan Juni-Juli 1998.
"Beliau keberatan karena film itu mengulang-ulang
keterlibatan perwira AURI pada peristiwa itu (30 September)," kata
Juwono ketika diwawancarai 28 September 2012.
Sebagai menteri pendidikan kala itu, Juwono meminta kepada
para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat
SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting. Supaya
informasi yang diperoleh siswa didik lebih berimbang.
Ada pun Menteri Penerangan saat itu Letjend (Purn.) TNI
Yunus Yosfiah, mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh,
seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak
sesuai lagi dengan dinamika Reformasi.
"Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan
TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar
Yunus seperti ditulis dalam harian Kompas, 24 September 1998.
Nonton bareng dan diputar kembali
Minggu lalu, 15 September 2017, awalnya ada pernyataan
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan: masyarakat dan generasi muda
saat ini perlu tahu sejarah G30S/ PKI.
“Tujuannya, agar masyarakat dan generasi muda mengetahui
bahwa pernah ada gerakan kudeta," kata Tjahjo melalui pesan singkatnya,
Jumat (15/9/2017) yang dimuat Kompas.com.
Ia melanjutkan, karenanya, ia tak masalah jika film Penumpasan
Pengkhianatan G30S/PKI diputar kembali di layar-layar kaca televisi nasional.
Izin Mendagri kemudian membuat Panglima TNI Jederal Gatot
Nurmantyo melanjutkannya dengan seruan serta perintah menonton bareng film
ini tepat di malam 30 September 2017 nanti.
Menonton film ini pada 1984
Ramai pemberitaan akan diputarnya kembali film
Penghianatan G30S/PKI membuat saya kembali mengingat apa yang saya alami
ketika film ini baru saja diproduksi dan wajib ditonton seluruh siswa sekolah
umum se-Indonesia.
Saya beruntung menjadi salah satu dari jutaan anak dan
pelajar Indonesia yang dikenai wajib nonton bareng (nobar) di bioskop.
Sehingga saya bisa menceritakannya kembali pengalaman 33 tahun lalu yang
ternyata relevan sampai sekarang.
Tak lama setelah film itu rilis, saya menjalani program
wajib-tonton film Pengkhianatan G-30-S/PKI di sebuah bioskop umum di
Rawamangun, Jakarta Timur. Kami duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama.
Bioskop itu berkapasitas 200-an orang. Dalam suasana
gelap-pekat, tanpa penjelasan lebih dulu dari guru-guru, kami semua dibuat
tercekat atas suguhan di layar.
Beberapa teman saya menangis. Bagaimana tidak menangis?
Bukan film horor, tetapi film yang berdurasi sekitar 3 jam itu menyuguhkan
scene mengerikan seperti pembacokan, penyiksaan, dan darah.
Awalnya, saya menilai kami menangis dan histeris karena
kami masih kecil. Tetapi ternyata, sampai usia kuliah hanya momen itulah yang
saya (dan mungkin teman-teman saya saat itu) ingat tentang kejadian
bersejarah Tragedi 1965.
Setelah itu setiap tahun film itu diputar di televisi.
Untungnya Ayah dan Ibu saya cukup bijak. Selalu ada acara lain bila malam itu
tiba.
Atau, kalau pun menonton, hanya sambil lalu. Semakin
dewasa, saya lalu semakin yakin. Film itu adalah propaganda anti-PKI.
Penyebabnya, karena di zaman Orde Baru sangat sering
cuplikan film itu menyertai berita tentang peristiwa bersejarah itu, tanpa
ada keterangan tambahan bahwa ini cuplikan film.
Mana yang benar, dan mana yang cuma adegan film, campur
aduk. Sehingga komentar saya dalam diskusi dengan orangtua ketika itu adalah,
“Apakah betul itu kejadian sebenarnya?”
Dan Ayah saya yang mungkin juga tak berminat membahasnya,
hanya menjawab pendek, “Kurang lebih, tapi ada yang tidak benar.”
Di masa itu pengetahuan saya (juga hampir semua teman)
tentang sejarah kelam ini memang hanya dari buku Sejarah Nasional Indonesia,
buku pegangan siswa SMP sampai SMA, karya Prof Nugroho Notosusanto dan film
itu.
Menemukan fakta
Di masa dewasa dan baru lulus dari Ilmu Komunikasi FISIP Universitas
Indonesia, saya seorang wartawan. Saya lalu bersinggungan lagi cukup intens
dengan tema ini ketika majalah berita tempat saya bekerja, majalah D&R,
menulis liputan utama selama empat edisi berturut-turut pada bulan Oktober
1998.
Saya mewawancarai
dr. Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof Arief
Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI.
Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta
bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira
tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari
5 Oktober 1965.
Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip
oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan
Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof Arief menyatakan,
“Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola
matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah
tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya
sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar
kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...”
Saya ingat, saya lalu bertanya pada Prof Arief, mengapa di
film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata? “Itu semua
tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde
Baru,” demikian Prof Arief.
Wartawan dan penulis kawakan Julius Pour mengutip lengkap
wawancara saya di majalah D&R itu. Satu lagi, pada edisi Oktober 1998 itu
saya juga mewawancarai Ibu Mitzi Farre-Tendean, kakak kandung almarhum Kapten
Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution yang menjadi korban.
Pierre anak tengah dan satu-satunya laki-laki dari tiga
bersaudara. Ibu Mitzi memiliki dokumentasi cukup lengkap surat kabar di masa
itu yang menjadi topik wawancara kami.
Salah satunya ketika kami membahas berita di koran
Angkatan Bersenjata tentang almarhum adiknya yang disiksa dan dilecehkan
seksual oleh para anggota Gerwani. Ia mengunjungi sendiri para tertuduh di
tahanan, dan dari bincang-bincang dengan para perempuan itu, dia sendiri ragu
mereka pelakunya.
“Para perempuan itu diambil dari daerah Senen dan dipaksa
mengaku mereka melakukan penyiksaan kepada Pierre,” kata Ibu Mitzi dalam
wawancara itu. Wawancara lengkap saya ini diterbitkan di majalah D&R
tahun 1999.
Jadi, cukuplah sudah kesimpulan saya dan cukup alasan buat
saya berpendapat: film itu bukan fakta, terutama pada bagian drama penyiksaan
para korban.
Bagian paling utama dari film itu, yang begitu membekas
sampai meninggalkan trauma pada anak-anak yang menontonnya adalah drama
penyiksaan di Lubang Buaya.
Padahal, dengan sedih saya mengingat, bagian itulah yang
paling traumatis, mencekam dan membekas di benak anak-anak. Tanpa mereka tahu
konteks yang melatarbelakangi peristiwa ini terjadi.
Pada tulisan saya selanjutnya, saya akan menulis bagaimana
trauma itu bahkan sampai dialami oleh putera bungsu Nani Nurrachman Sutojo,
Nano, yang kala menonton film itu baru berusia 8 tahun.
Ibu Nani adalah putri Jenderal Sutojo Siswomihardjo, salah
satu pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa subuh 1 Oktober 1965 itu.
Nano mengeluarkan, “What
is communist, Ma? Did they kill Eyang Tojo?”
Pertanyaan yang membuat ibunya terperangah dan tidak mampu
menjawabnya. Ia hanya meminta waktu. Sampai Nano memahami penjelasannya.
Buku Nani Nurrachman Sutojo dan
Jenderal Pranoto Reksosamodra
Pada tahun 2011 dan 2013 keterlibatan saya sebagai
penyunting-penulis dua buah buku terkait Tragedi 1965, semakin menambah
wawasan pikir saya tentang tragedi nasional ini, Memoar Ibu Nani Nurrachman
Sutojo dan Memoar Jenderal Pranoto Reksosamodra.
Kedua buku ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas dalam
waktu yang tidak terlalu jauh. 2013 dan 2014. Ketiga pengalaman menulis
dengan tema 1965, tetapi dalam tiga periode waktu yang berbeda ini membuat
saya sadar, betapa pentingnya menulis sejarah dari tuturan lisan, tuturan
pelakunya. Bukan berasal dari pendapat satu pihak.
Tuturan Ibu Nani dan almarhum Jenderal Pranoto dalam
bukunya, juga almarhum Prof Arief Budianto. Ibu Mitzi-Farre Tendean dan
berbagai sumber tuturan para korban, saksi dan pelaku dalam Tragedi 1965 yang
saat ini sangat mudah kita peroleh, seharusnya mendapat tempat cukup signifikan
dalam buku-buku sejarah.
Seperti dikatakan Menteri Juwono Sudarsono ketika melarang
pemutaran film ini pada tahun 1998: harus ada tambahan muatan baru dalam
buku-buku sejarah sehingga penulisan ataupun karya film tentang masa itu
lebih berimbang.
Sayang, imbauan beliau sampai saat ini tidak tercapai.
Saya percaya, seruan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo adalah demi
kebaikan bangsa, tetapi alangkah luar biasa baiknya bila seruan menonton film
ini disertai juga seruan membaca sumber-sumber sebanyak mungkin.
Sehingga, misalnya, ketika ada pertanyaan soal bagian mana
dalam film itu yang docudrama (rekaan atau adegan yang diambil dari kejadian
nyata) dan bagian mana yang betul-betul dokumenter, tidak menjawabnya dengan:
Saya tidak tahu. Atau: Saya tidak memikirkannya.
Sekali lagi, ini cuma saran seorang penulis muda, yang
lahir jauh setelah Tragedi 1965 terjadi, tetapi sangat tertarik ikut serta
mempelajari dan menulis sejarah. Saya adalah bagian dari “suara yang tidak
mengalami, tetapi ingin mendengar, mencari tahu dan menuliskannya”. ●
|
Sumber : Imelda Bachtiar (Wartawan),
Kompas.com 20 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar