Titip
Hadhramaut kepada Yaman
Husein Ja'far Al Hadar ; Penulis
|
KORAN TEMPO, 16 April 2015
Konflik Yaman murni perkara politik. Maka, terlepas dari
karut-marutnya konflik itu, ada perkara penting yang bukan hanya untuk Yaman,
tapi juga untuk perkembangan Islam. Itulah Hadhramaut, salah satu pusat
peradaban Islam yang terletak di Yaman.
Secara geo-ekonomis, Hadhramaut memang bukan kawasan yang
menarik. Namun, dalam aspek pendidikan-budaya dan sosio-religi, Hadhramaut
merupakan kawasan penting. Hadhramaut adalah salah satu pusat peradaban Islam
di Timur Tengah, selain Kairo di Mesir, Najaf di Irak, dan Qom di Iran.
Kawasan itu memiliki sejarah panjang peradaban yang terbentang hingga jauh
sebelum Islam. Sejarah itu terukir dalam Al-Quran Surat Al-Ahqaf: 21, di mana
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa yang dimaksud Al-Ahqaf dalam
ayat itu adalah Hadhramaut, tempat tinggal Kaum 'Ad, kaumnya Nabi Hud.
Sejarahnya juga bisa ditemui dalam Injil Perjanjian Lama pada
Pasal Kejadian (10): 21-32. Adapun sejarah Islam Hadhramaut dimulai saat
Wa'il bin Hajar al-Hadhrami (raja dari Dinasti Hadhramaut) tercatat di
barisan pertama pemimpin yang masuk Islam, bahkan jauh sebelum Nabi Muhammad
mengutus utusannya ke kawasan penting bagi Nabi Muhammad tersebut.
Sejak abad ke-10, seiring dengan hijrahnya Imam Ahmad al-Muhajir
ke Hadhramaut dari Irak untuk misi dakwah dan membangun peradaban Islam di
sana, Hadhramaut mulai mengukir masa depan menjadi salah satu pusat peradaban
Islam. Keturunan Imam al-Muhajir di Hadhramaut yang bernama Faqih al-Muqaddam
menjadi pendiri Thariqah 'Alawiyah yang pertama kali muncul di Hadhramaut,
yakni salah satu corak tasawuf dan tarekat yang menjadi fondasi Islam damai
dan kultural yang berperan penting dalam penyebaran Islam ke Indonesia.
Dari kawasan itu pula, embrio masyarakat madani Islam kemudian
tersebar luas ke seantero dunia: dari Afrika, India, hingga kawasan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia (Thariqah 'Alawiyyah, 2001). Hingga abad ke-17
Masehi, diperkirakan terdapat 300 ahli fikih dan 80 wali di Tarim, salah satu
kota di Hadhramaut, yang mengajarkan ilmunya di masjid-masjid di sana
layaknya pesantren atau universitas Islam.
Hadhramaut telah menjadi warisan Islam dan dunia. Maka tepat
jika PBB melalui UNESCO menginstruksikan agar kawasan itu dijaga bersama di
tengah kecamuk konflik di Yaman. Penulis tak khawatir pada Houthi atau
seluruh elemen di Yaman terkait dengan Hadhramaut ini. Sebab, mereka
menyadari dan selalu menjaganya sebagai kebanggaan dan aset Islam mereka.
Apalagi Houthi sejak awal merupakan gerakan pendidikan dan kebudayaan yang
bercita-cita mencuatkan harga diri Yaman.
Penulis justru khawatir pada pihak asing, khususnya Arab Saudi,
yang kini mengintervensi rumah tangga Yaman dan takut akan kemajuan negeri
tersebut. Sebab, bukan hanya karena mereka tak sadar akan signifikansi
Hadhramaut, tapi juga karena Arab Saudi berdiri di atas ideologi yang tak
mementingkan—bahkan menganggap bid'ah—aset dan warisan budaya Islam.
Jangan sampai Islam dijadikan isu untuk pragmatisme politik,
seperti dikait-kaitkannya konflik Yaman dengan Sunni-Syiah. Sebab, selain itu
tak ada, dan bahkan ditentang dalam Islam, juga karena sejarahnya sejak dulu
Sunni-Syiah bergotong-royong membangun peradaban Islam di Hadhramaut. Justru
sebaliknya, Islam harusnya dijadikan "obat penawar" bagi kecamuk
politik di Yaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar