Selasa, 14 April 2015

Pensiun

Pensiun

Pongki Pamungkas  ;  Penulis buku The Answer Is Love
KORAN TEMPO, 11 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ini sepenggal cerita tentang seorang senior saya yang sudah pensiun. Ia memang jauh-jauh hari telah merencanakan untuk pensiun. Ia tak mau lagi bekerja. Katanya, ia mau "menikmati hidup".

Dalam perjalanan menikmati hidup itu, ia pernah bercerita. Suatu hari ia marah besar. Ia tersinggung karena sedang asyik membaca koran di ruang tamu rumahnya, kakinya diminta diangkat oleh sang pembantu. Lantainya hendak disapu dan dipel. "Gua jadi ngerasa kayak diusir!"

Seorang kawan lain, dalam kadar sensitivitas serupa, mengajukan pemikiran dari sisi pandang sang istri bila ia pensiun nanti, ia tinggal di rumah. "Aku bayangkan, biasanya istriku biasa bebas di pagi hari. Nanti kalau aku sudah pensiun, aku khawatir, begitu dia keluar kamar mandi, dia akan kaget melihat aku duduk di ruang tamu, 'lho kok ada bapak tua ini?' Takutnya dia jadi jantungan."

Seorang senior saya pernah memberi nasihat soal pensiun ini, "to retire is to expire", pensiun berarti meniadakan eksistensi diri. Meniadakan eksistensi diri dalam konteks ini adalah eksistensi dalam pengertian positif. Eksistensi positif dalam kehidupan adalah keberadaan sebagai seseorang yang bermanfaat bagi orang lain. Dalam arti demikian, bila kita memilih pensiun, artinya kita memilih untuk menghilangkan kemanfaatan diri kita bagi orang lain. Ini merupakan kemubaziran. Dan kemubaziran adalah hal yang sangat tidak terpuji.

Lee Kuan Yew (almarhum), Bapak Bangsa Singapura, adalah orang yang tak kenal kata pensiun. Sesuai dengan misi hidupnya untuk membangun negaranya menjadi negara yang makmur dan maju, hingga akhir hayat ia terus bekerja. Bahkan, ia berujar, "Hingga saya sudah meninggal nanti, kalau ada sesuatu yang tidak berjalan benar, saya akan bangkit dari liang kubur dan saya akan meluruskannya." Lee adalah contoh kelompok orang yang memilih bekerja sepanjang hayat.

Memilih pensiun, dalam arti berhenti bekerja dalam usia pensiun, lalu mau sekadar "menikmati hidup" adalah pilihan pribadi. Menikmati hidup dalam hal ini bisa berarti menikmati hari tua tanpa sama sekali beraktivitas yang berbau pekerjaan, hanya mau tinggal terus di rumah, memomong cucu, atau sekadar bermain golf.

Namun layak dipertimbangkan suatu pilihan lain yang mulia, sebagaimana pilihan Lee Kuan Yew, menjadi orang yang bekerja sepanjang hayat. Saya tidak tahu persis mengapa tokoh besar itu mengambil pilihan tersebut. Saya hanya menduga, Lee tidak mendasarkan keinginannya untuk meningkatkan kekayaan diri maupun keluarganya. Mungkin begitu.

Lee secara tulus ingin mendedikasikan segenap hidupnya bagi kehidupan orang lain, dalam hal ini khususnya rakyat Singapura, suatu negara yang telah didirikan dan dibangunnya menjadi negara hebat. Mungkin Lee berpandangan sama seperti beberapa orang berikut ini. "Saya tak akan mengeluarkan ide bagaimana merasakan usia 70 tahun. Pensiun adalah satu kata yang tidak bisa saya visualisasi. Saya pensiun hanya manakala saya tidur," kata Carmen Dell'Orefice, seorang model yang terus bekerja hingga kini, dalam usia 85 tahun.

"Saya tak pernah berpikir untuk ikut program pensiun, karena saya bekerja untuk Tuhan Yang Maha Kuasa," ujar George Foreman, juara petinju kelas dunia yang terus bertinju hingga usia 46 tahun. Atau menurut pandangan lain, "Pensiun (retire) berasal dari kata tiring (lelah, capek), dan saya tidak lelah (i'm not tired). Saya tidak percaya soal pensiun," kata Theodore Bikel, seorang musikus dan komposer plus produser film asal Austria.

Secara psikologis-sosial, beberapa contoh di atas menunjukkan, tak mudah hidup bahagia (nyaman-tenteram-damai) dengan memilih menjadi pensiunan. Meskipun, katakanlah, kita memiliki segala daya untuk tetap bisa bersenang-senang di kala pensiun, berpesiar ke sana-kemari, bermain-main setiap hari, sampai kapan itu akan terasa nyaman? Sampai batas mana segenap kesenangan itu tak akan membuat kita bosan?

Pilihan untuk bekerja sepanjang hayat adalah pilihan yang lebih positif. Bekerja dan terus memberi manfaat bagi sesama adalah suatu kenikmatan tiada tara. Terus bekerja dan memberi manfaat bagi sesama adalah misi hidup yang mulia, sekaligus mengumpulkan bekal menyongsong pensiun sesungguhnya, yakni pensiun dari kehidupan dunia.

Bahwa kekuatan dan kemampuan bekerja kita pasti menurun karena faktor usia, itu bukanlah suatu masalah. Itu adalah hal yang tak terelakkan. Terus bekerja dengan menurunkan volume kerja (slow-down) dalam aktivitas fisik adalah pilihan tepat. Sementara itu, di sisi lain, dengan jam terbang yang makin tinggi, satu hal yang berpotensi akan bertambah adalah life wisdom (kearifan hidup). Dan kearifan hidup itu adalah hal yang mahal dan langka. Tak mengheran kalau seorang hakim wanita Mahkamah Agung Amerika, Sandra Day O'Connor, mengatakan, "Saya butuh pensiun dari program pensiun."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar