Sabtu, 11 April 2015

Parpol dan Persepsi Publik

Parpol dan Persepsi Publik

Djayadi Hanan  ;  Direktur Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
KOMPAS, 11 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Secara teoretis, dari sudut pandang publik, partai politik adalah kanalisasi dari kepentingan masyarakat agar diperjuangkan menjadi kebijakan negara. Karena masyarakat itu bermacam-macam sehingga kepentingannya juga beragam, parpol pun bermacam-macam. Parpollah yang mengetahui seluk-beluk proses perjuangan agar kepentingan masyarakat itu dapat diakomodasi oleh negara atau sistem politik. Parpol berada di tengah-tengah, antara negara dan masyarakat. Ia menjadi jembatan di antara keduanya. Negara memerlukan masyarakat agar tahu kebijakan apa yang semestinya dibuat. Masyarakat memerlukan negara agar kepentingannya dapat diakomodasi. Parpol berfungsi membangun dan memperlancar hubungan antara negara dan masyarakat tersebut.

Parpol yang sukses adalah partai yang dekat dengan masyarakat sekaligus memiliki kemampuan untuk berada dalam lingkar kekuasaan agar dapat mengarahkan kebijakan negara sesuai kehendak masyarakat. Namun, hal ini belum menjadi realitas di Indonesia. Masyarakat tampak tidak dekat dengan parpol dan cenderung memiliki pandangan negatif. Sebaliknya, parpol sering kali menyalahkan masyarakat ketika mendapati kenyataan persepsi negatif terhadap politisi ataupun institusi partai.

Persepsi negatif

Dalam berbagai jajak pendapat publik yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) sejak 2004, secara konsisten ditemukan fakta bahwa masyarakat cenderung berpandangan negatif terhadap institusi parpol dan para politisi. Karena para politisilah yang mengisi lembaga DPR, persepsi terhadap DPR pun secara konsisten cenderung negatif. Menurut LSI, di awal tahun ini, tingkat kepercayaan masyarakat kepada parpol dan DPR berada di kisaran 50 persen. Ini angka terendah dibandingkan dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden sebesar 83 persen, KPK 81 persen, dan TNI 83 persen. Angka ini lebih rendah lagi pada 2014, setelah pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Pada Oktober 2014, kepercayaan terhadap parpol dan DPR ada di kisaran 40 persen. Peningkatan pada awal 2015 dapat saja dimaknai positif, tetapi kemungkinan besar peningkatan kepercayaan itu lebih karena tingkat harapan masyarakat yang tinggi ke pemerintahan baru.

Persepsi negatif masyarakat ini tampaknya berkorelasi dengan apa yang tergambar dan terlihat oleh masyarakat atas perilaku atau informasi yang sampai kepada mereka tentang parpol dan politisi di dalamnya. Ketika diminta menggambarkan parpol dan politisi, dalam berbagai jajak pendapat tersebut, tiga hal yang paling diingat masyarakat semuanya negatif. Biasanya masyarakat selalu mengemukakan bahwa politisi adalah orang yang hanya peduli pada kepentingan pribadinya, banyak berjanji, tetapi lebih sering tidak menepatinya, dan lebih suka bicara tentang diri mereka. Dengan ingatan negatif seperti ini, tak mengherankan kalau tingkat kepercayaan publik akan selalu rendah terhadap parpol.

Meskipun korelasinya seperti antara ayam dan telur, persepsi negatif terhadap parpol ini juga berimbas kepada sangat sedikitnya masyarakat yang merasa dekat dengan parpol (party identification). Secara konsisten, berbagai jajak pendapat publik sejak 2004 selalu menunjukkan angka party identification di kisaran 15-20 persen saja. Ini kemudian mempersulit partai dalam berhubungan dengan masyarakat, alih-alih untuk menjadi dekat dengan masyarakat. Dengan party identification yang rendah, hubungan partai dengan masyarakat menjadi sangat cair, sangat mudah berubah dan berpindah. Ini menjadi salah satu alasan terjadinya hubungan yang pragmatis-transaksional antara parpol/politisi dan masyarakat.

Masih seperti korelasi antara ayam dan telur, persepsi negatif ini juga terkait dengan rendahnya minat masyarakat Indonesia kepada politik. Sejak 2004, minat masyarakat Indonesia terhadap politik tidak pernah di atas 40 persen. Angka itu bahkan mencapai titik sangat rendah di pertengahan Juni 2013 ketika angka ketertarikan masyarakat pada politik berada di angka kurang dari 30 persen. Artinya, tak sampai 30 persen masyarakat Indonesia tertarik politik.

Ketidaktertarikan ini bukanlah karena masyarakat tidak memiliki informasi. Sebaliknya, makin banyak masyarakat memiliki akses kepada informasi, ada kecenderungan memiliki persepsi makin negatif kepada politik. Misalnya, makin banyak masyarakat mengakses internet, ada kecenderungan makin negatif persepsinya kepada politik dan karena itu makin tidak tertarik pada politik.

Praktik pengelolaan partai

Pengelolaan partai, termasuk kredibilitas para pengelola/politisinya sangat memengaruhi keberhasilan partai untuk mendapatkan persepsi positif dan dukungan masyarakat. Berdasarkan penelitian mengenai parpol di sejumlah negara demokrasi, partai yang berhasil memperoleh dukungan dan persepsi positif serta sukses dalam pemerintahan adalah partai yang menjalankan triangle of best practices (Breth and Quibell, 2003). Tiga praktik terbaik itu adalah demokrasi internal, transparansi, penjangkauan masyarakat (outreach).

Dalam menjalankan demokrasi internal, sebuah partai memiliki nilai-nilai dan aturan-aturan jelas, terbuka, dan dipraktikkan, baik oleh para pemimpin maupun anggota partai tanpa kecuali. Unit-unit geografis ataupun fungsional partai juga berfungsi secara berkesinambungan.

Platform dan orientasi kebijakan partai juga bukan hal statis, melainkan terus-menerus mengalami perkembangan dan perbaikan sesuai tuntutan perubahan. Yang sangat penting, para pemimpin partai dan kandidat yang akan menduduki jabatan publik diseleksi secara adil, bebas, dan berdasarkan aturan berlaku di partai. Selain itu, partai yang menjalankan demokrasi internal memiliki komunikasi internal, baik vertikal maupun horizontal, yang dijalankan secara terbuka sehingga efektif.

Transparansi adalah aspek terpenting kedua dari sebuah partai yang sukses. Partai yang menjalankan praktik transparansi selalu memberikan laporan keuangan, sumber-sumber donasi, biaya-biaya yang dikeluarkan, dan aset, tidak hanya kepada anggota partai, tetapi juga kepada publik, bahkan sekalipun itu tidak diminta. Partai juga memiliki dan mengembangkan strategi pengawasan untuk memastikan akuntabilitas partai kepada anggota partai, para pemilih, ataupun masyarakat secara umum. Jika terjadi masalah menyangkut aspek ini, partai yang sukses sudah memiliki dan menjalankan proses investigasi dan penerapan sanksi yang tegas kepada pihak yang melanggar.

Partai yang sukses juga selalu melakukan program penjangkauan masyarakat. Dengan cara ini, partai selalu hadir di tengah-tengah masyarakat sehingga ia dapat tumbuh dan besar seiring dengan perkembangan masyarakat. Dengan penelitian yang mendalam, partai seperti ini secara reguler merekrut anggota dan simpatisan baru dari sektor-sektor yang baru pula.

Strategi partai dalam berkomunikasi dengan masyarakat juga dikembangkan dan dipraktikkan dengan baik secara terkoordinasi di semua level kepengurusan partai. Biasanya partai tidak hanya mengandalkan pada anggota. Sering kali kehadiran partai di masyarakat ini lebih banyak diwakili oleh para sukarelawan yang merasa memiliki keterikatan dengan partai yang bersangkutan. Dengan demikian, akan mudah bagi partai ketika meminta dukungan masyarakat manakala musim pemilu telah tiba.

Dalam konteks Indonesia, justru tiga praktik terbaik inilah yang belum terlihat. Yang lebih banyak kita lihat, hampir semua partai di Indonesia terjebak dalam ketergantungan pada figur individu tertentu. Figur tersebut, baik karena kekuatan personalitas, maupun terutama karena kekuatan finansial, memiliki semua kekuasaan untuk menentukan hitam-putihnya partai. Dalam keadaan seperti ini, akan sangat sulit untuk menjalankan demokrasi internal partai. Transparansi dan penjangkauan masyarakat juga menjadi pilihan saja sepanjang itu menguntungkan figur yang menguasai partai yang bersangkutan.

Maka tidak heran kalau kemudian partai tidak hadir dalam masyarakat dan terkesan asyik dengan perjuangan dan intrik untuk kepentingan elite-elitenya saja. Ini menimbulkan jarak dan persepsi negatif serta rendahnya kepercayaan dari masyarakat yang semestinya menjadi alasan utama hadirnya sebuah partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar