Minggu, 12 April 2015

Menghindari Represi dan Politisasi Sensor Internet

Menghindari Represi dan Politisasi Sensor Internet

Irine Yusiana Roba  ;  Anggota Komisi I DPR RI
MEDIA INDONESIA, 11 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

TREN peningkatan pengawasan oleh pemerintah terhadap kegiatan dan isi pembicaraan di internet yang terjadi di berbagai negara menunjukan bahwa ada kekhawatiran terhadap dampak internet bagi masyarakat, baik dari aspek ekonomi, sosial, politik, maupun keamanan negara. Yang menarik untuk dicermati ialah dasar asumsi dan bentuk regulasi negara terhadap konten internet, yakni apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan dalam aras demokratis atau otoritarian? Dalam konteks Indonesia, isu ini penting untuk menakar kekhawatiran akan munculnya kembali penyalahgunaan kekuasaan yang otoriter.

Namun, pemblokiran situs internet oleh pemerintah juga tidak otomatis bertentangan dengan prinsip demokrasi, selama hal tersebut dilakukan secara legal dan transparan untuk melindungi keamanan dan keselamatan warga. Sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana negara demokratis maju juga melakukan blokir, misalnya untuk situs yang mempromosikan ISIS, pornografi anak, dan revenge pornography. Blokir ini dilakukan tanpa perintah pengadilan karena internet sangat cepat sehingga pengendalian kerusakannya pun juga harus cepat.

Dugaan politisasi

Dalam konteks Indonesia, payung hukum sebagai dasar kewenangan yang dimiliki pemerintah dalam hal pemblokiran situs ialah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 yang mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam aturan tersebut telah diatur mekanisme komplain, pelibatan masyarakat, serta uji publik dalam keputusan yang diambil. Persoalan yang seringkali mengemuka ialah bagaimana menjaga tindakan pemblokiran tidak digunakan untuk kepentingan kekuasaan pada satu sisi, dan politisasi kepentingan pencitraan politik pengontrol kekuasaan pada sisi yang lain.

Sinyalemen politisasi atas kasus pemblokiran yang harus dikontrol, misalnya bagaimana agar parlemen didorong untuk berimbang dalam penggalian informasi dan aspirasi dari pihak yang merasa dirugikan atas pemblokiran situs. Aturan main dalam mekanisme rapat yang digunakan harus mengedepankan prinsip yang telah diatur dalam mekanisme rapat parlemen. Penulis menyayangkan, rapat dengar pendapat umum yang diadakan pada 1 April 2015 seharusnya mendengarkan aspirasi karena sifatnya audiensi yang kewenangannya bersifat mendengarkan dan bertanya tentang persoalan yang sedang terjadi. Namun, ternyata dalam audiensi ini dibuat kesimpulan bahwa pemerintah melakukan tindakan represif atas dasar sentimen terhadap agama Islam.

Dalam pandangan penulis, politisasi terhadap kasus pemblokiran memiliki dampak negatif terhadap kebinekaan yang menjadi prinsip dasar kita dalam berbangsa dan bernegara. Maka, kemudian ukuran pendekatan dalam penilaian konten negatif menjadi penting untuk sama-sama kita pahami. Untuk mengeliminasi hal tersebut saya sependapat dengan pendekatan terminologi legal atau ilegal. Konten negatif dinyatakan ilegal ketika berisikan ajakan yang membahayakan, sedangkan untuk konten negatif yang isinya tidak sampai membahayakan keselamatan umum, prosedur hukum normal masih bisa digunakan. Sepanjang prinsip-prinsip tersebut diperhatikan, dalam pandangan penulisan hal tersebut masih dalam koridor pendekatan demokratis.

Punya mekanisme

Mekanisme dan praktik pengawasan dan pengaturan yang ada selama ini memang belum sempurna. Menurut hemat penulis, paling tidak ada beberapa hal yang dapat diperhatikan dalam memperbaiki tata aturan akses internet ke depan. Semisal, penggunaan istilah terminologi dalam surat perintah pemblokiran, situs-situs tersebut diblokir karena memuat isi yang membahayakan masyarakat (pertimbangan keamanan), bukan karena radikal, karena pengertian radikal belum tentu memuat isi yang membahayakan. Kemudian jika dalam suatu situs hanya memuat beberapa halaman yang membahayakan, cukup diblokir beberapa halaman tersebut saja, tidak perlu seluruh situs/domain.

Kemenkominfo harus memiliki mekanisme pengaduan dan normalisasi situs sehingga pengelola situs yang diblokir bisa membuat pengaduan dengan prosedur yang jelas. Apabila ternyata situs itu kemudian dinilai tidak berbahaya, bisa dilakukan normalisasi terhadap situs tersebut. Transparansi ini juga termasuk kriteria apa saja yang dipakai sebagai pertimbangan untuk menilai sebuah konten internet itu membahayakan masyarakat.

Pemanfaatan teknologi untuk melemahkan akses pada situs konten negatif bisa menjadi tindakan alternatif dalam kerangka pencegahan. Selain itu, upaya pelibatan masyarakat lebih luas dalam menajamkan ukuran keselamatan umum. Dalam konteks itu saya mengapresiasi langkah pemerintah dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat sehingga meningkatkan kualitas pemahaman dalam dimensi sosial keagamaan terkait perumusan keputusan dalam menyikapi keberadaan konten berbahaya di dunia maya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar