Masa Depan Yaman
Smith Alhadar
; Penasihat
pada ISMES;
Staf Ahli Institute for Democracy Education (IDE)
|
KOMPAS,
01 April 2015
Krisis
politik yang terjadi di Yaman saat ini, selain disebabkan warisan buruk
pemerintah sebelumnya dan campur tangan asing, juga disebabkan sejarah,
politik, dan doktrin Syiah Zaidiyah.
Terbentuknya
sekte Zaidiyah pada abad ke-9 tak pelak merupakan peristiwa politik dan
keagamaan paling penting setelah Yaman masuk Islam pada 628. Meskipun berada
di bawah berbagai dinasti yang berkuasa (Ayyubiyah, Rasuliyah, Tahiriyah,
dll) atau kekuasaan monarki-monarki di kawasan ini, kaum Zaidiyah mengukuhkan
diri sebagai mazhab dominan di dataran-dataran tinggi. Pandangan-
pandangannya tentang masalah keyakinan, moral, organisasi sosial, keadilan,
perpajakan, dan banyak lagi aspek perangai manusia—kecualipandangan hukum
pidana yang tetap berada di bawah hukum kesukuan—mendominasi kehidupan
kebanyakan orang Yaman.
Kilas sejarah
Zaidiyah
merupakan mazhab Syiah paling moderat dan dekat dengan Sunni. Jumlah
penganutnya tak kurang dari 40 persen dari 23 juta penduduk Yaman. Apabila
ditambah dengan Syiah Dua Belas Imam (Itsna’asyariah)
dan Syiah Tujuh Imam (Ismailiyah)
yang menghuni wilayah Sana’a, jumlah total Syiah sekitar 45 persen. Fikih
Zaidiyah hampir tidak bisa dibedakan dari Syafi’i. Ia juga mengakui tiga
Khalifah ur-Rasyidin (Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan), meski khalifah keempat (Ali bin Abi Thalib) lebih utama.
Pada
pertengahan abad ke-17 (1644), pemerintahan imamah Zaidiyah berhasil berkuasa
di seluruh Yaman. Namun, suksesi yang tidak mengikuti mekanisme kohesif,
pertikaian keluarga, dan hilangnya kesetiaan suku membawa kemerosotan pada
dinasti ini. Pemerintahan Zaidiyah menghadapi rongrongan kian besar pada abad
ke-19, saat wilayahnya diduduki Inggris, Imperium Ottoman, dan pasukan Sultan
Muhammad Ali dari Mesir. Intensitas persaingan Inggris dan Turki meningkat
seiring Terusan Suez dibuka pada 1869.
Pada 1905,
Inggris dan Turki membagi Yaman jadi dua: wilayah selatan dikuasai Inggris
dan wilayah utara dikuasai Turki. Namun, pemerintahan imamah Zaidiyah tidak
mengakui garis batas itu dan pendudukan Turki terus menghadapi perlawanan. Selepas
Perang Dunia I, Turki meninggalkan Yaman. Tinggal Inggris di selatan.
Seminggu
setelah Imam Ahmad bin Yahya wafat (1962), terjadi pemberontakan kaum
nasionalis terhadap pemerintahan imamah yang konservatif. Apa yang disebut
revolusi di Yaman utara ini berakhir setelah perang saudara selama enam tahun
dengan kemenangan di pihak kaum nasionalis yang disebut kaum Republikan atas
pendukung imamah yang disebut Royalis.
Saudi,
Jordania, dan Israel mendukung kaum Royalis, sedangkan Mesir di bawah Gamal Abdul
Nasser mendukung kaum Republikan. Namun, kemenangan kaum Republikan ini tak
serta-merta membawa pada penyatuan Yaman karena pada 1967 kaum sosialis
berhasil mengusirInggris dan mendirikan Republik Demokratik Rakyat Yaman.
Sementara kaum Republikan mendirikan negara di utara dengan nama Republik
Arab Yaman.
Pada 1990,
kedua Yaman bersatu menjadi Republik Yaman. Akibat dukungan Presiden Yaman
Ali Abdullah Saleh terhadap Irak yang menginvasi Kuwait (1990), Arab Saudi
dan kerajaan-kerajaan Arab mini di Teluk Persia mengusir sekitar 800.000
pekerja Yaman, yang hampir seluruhnya berasal dari Yaman bagian selatan. Pada
1993, minyak ditemukan di Ma’arib, batas antara Yaman selatan dan utara.
Kedua hal
ini, ditambah kebijakan Abdullah Saleh (tokoh sekuler pemeluk Zaidiyah) yang
dipandang diskriminatif oleh Yaman Selatan, membuat pihak selatan memberontak
(1994). Perang itu dimenangi pihak utara.
Musim Semi
Arab di Tunisia pada Januari 2011 ikut menjangkiti Yaman. Kali ini komunitas
Yaman Utara dan Selatan bersatu meminta Abdullah Saleh, yang korup dan
represif, turun dari kursi kekuasaan. Berkat tekanananggota Dewan Kerja Sama
Teluk (GCC)—terdiri dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, Bahrain, Qatar,
dan Kuwait—Saleh turun, digantikan Wakil Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi
yang pro-Saudi (2012). Mansour Hadi juga didukung Partai al-Islah, partainya
Ikhwanul Muslimin, yang juga didukung kepala-kepala suku yang
kesejahteraannya dijamin Saudi melalui pemimpinnya. Sayang, Mansour Hadi
tidak mampu membawa kesejahteraan bagi penduduknya.
Paling tidak
ada lima penyebabnya. Pertama, pemerintahan Mansour Hadi tak mampu
menciptakan stabilitas politik akibat rongrongan dari Al Qaeda di Semenanjung
Arab (AQAP) yang kini menguasai dua provinsi di selatan. Kedua, bantuan GCC
pimpinan Saudi tidak cukup untuk menciptakan kesejahteraan bagiwarga Yaman
secara keseluruhan. Ketiga, korupsi yang diciptakan pemerintahan sebelumnya
tetap marak. Keempat, mantan Presiden Ali Abdullah Saleh yang berpengaruh di
pemerintahan dan tubuh tentara masih berambisi untuk berkuasa kembali.
Kelima, Syiah Zaidiyah di bawah kepemimpinan Abdul Malik al-Houthi
memberontak sejak 2004. Houthi menganggap mereka diperlakukan secara
diskriminatif. Pemberontakan Houthi ini didukung Iran.
Pemberontakan
Houthi ini kiranya tak semata-mata karena faktor ekonomi dan sosial, tetapi
pertama, sesungguhnya Zaidiyah tak mengakui urusan-urusan kenegaraan di mana
komunitas Zaidiyah tidak memiliki imam. Kedua, sistem politik mutakhir dalam
keadaan berubah terus-menerus terutama akibat penggabungan kedua negara.
Ketiga, ada dukungan bagi mereka yang berupaya memberlakukan imamah lagi,
meskipun individu-individu ini dan pendukungnya memberi argumen dalam istilah
menciptakan imamah ”konstitusional”.
Korban pertikaian
Saat ini
Houthi masih menguasai seluruh teritori tradisionilnya, yaitu wilayah utara
dan barat daya. Pergerakan ke selatan dan timur tampaknya tak dimaksudkan
menguasai seluruh Yaman seperti pada abad ke-17 karena hal itu saat ini
tidaklah mungkin mengingat Yaman bagian selatan dihuni mazhab Sunni yang juga
memiliki identitas regional yang kuat. Mereka hanya berusaha mendapatkan
wilayah selatan dan timur sebanyak mungkin untuk ditukarkan dengan perdamaian
dalam perundingan dengan pihak selatan kelak.
Upaya presiden
terguling Mansour Hadi mempertahankan kesatuan Yaman tidak didukung
sepenuhnya oleh warga selatan, yang terbagi dalam tiga kubu. Sementara
serangan pasukan Liga Arab pimpinan Arab Saudi ke sasaran-sasaran Houthi
tampaknya tak akan berhenti sampai tujuannya tercapai: Houthi menyerah mutlak
dengan meninggalkan ibu kota dan menyerahkan senjata. Apakah tujuan ini bisa
dicapai? Dalam sejarah, solidaritas kaum Syiah Zaidiyah selalu menguatketika
menghadapi musuh bersama.
Maka,
serangan ke kubu Zaidiyah Houthi tidak akan membawa hasil apa-apa kecuali
menguatkan solidaritas pemeluk Zaidiyahi, konsolidasi di pihak AQAP, ISIS,
dan kaum separatis. Bisa jadi Liga Arab-kubu Mansour Hadi akan memenangi
pertempuran, tetapi tidak akan memenangi perang. Malah, kalau perang
berlangsung lama, wilayah selatan akan tercabik-cabik oleh kelompok-kelompok
separtis, AQAP, dan ISIS. Sesungguhnya Yaman menjadi korban pertikaian
negara-negara berpengaruh di kawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar