Sabtu, 11 April 2015

Kekuatan Hukum dalam Praperadilan

Kekuatan Hukum dalam Praperadilan

Sudjito  ; Guru Besar Ilmu Hukum UGM
KORAN SINDO, 10 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Latah. Ikut-ikutan. Hanya berbekal pemikiran hukum dangkal. Itu sah, tetapi enggak cukup modal. Ujungnya, kalah dalam praperadilan.

Itulah nasib mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA). Hakim Tatik Hadiyanti berpendapat bahwa sah atau tidak penetapan tersangka bukan ranah praperadilan. Penetapan tersangka bukan merupakan upaya paksa, melainkan syarat untuk melakukan upaya paksa yang berbentuk penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan.

Ada atau tidak bukti permulaan, setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah, sudah memasuki substansi pokok perkara yaitu tentang pembuktian yang bukan kewenangan lembaga praperadilan. Selain itu, masalah ada atau tidak kerugian negara sebagai alat bukti yang dituntut oleh pihak kuasa hukum SDA, menurut Tatik, sudah memasuki substansi pokok perkara sehingga bukan menjadi kewenangan lembaga praperadilan.

”Atas dasar ihwal tersebut, permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya dan kepada pemohon dibebankan biaya perkara sebesar nihil,” ucapnya saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/4/15). Putusan tersebut didasarkan pada Pasal 1 ayat 10 KUHAP jo Pasal 77 jo Pasal 82 ayat 1 huruf d yang sifatnya sangat limitatif mengatur bahwa penetapan tersangka bukan termasuk objek praperadilan.

Langkah-langkah hukum SDA itu diduga kuat terinspirasi ”kemenangan” Komjen Pol Budi Gunawan (BG). Maka itu, SDA mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama periode 2012-2013. Orang bilang, itulah ”Sarpin effect”.

Kalau saja upaya praperadilan SDA menang, ”Sarpin effect” pasti lebih dahsyat lagi. ”Siulan” hakim Sarpin akan mengakibatkan munculnya ”kobaran api” praperadilan dari para tersangka korupsi lainnya. Inilah yang dikhawatirkan KPK dan penggiat antikorupsi di negeri ini.

Pada hemat saya, ada beberapa pelajaran berharga bagi masyarakat luas atas hiruk-pikuk dan sengkarut kasus praperadilan ini. Pertama, jangan-jangan SDA dan kuasa hukumnya mengira bahwa semua kasus penetapan tersangka dapat digeneralisasi sehingga kasus Komjen Pol BG berlaku juga atas kasus SDA. Mereka lupa bahwa setiap kasus memiliki keunikannya sendiri.

Sejak kronologi perkara, motivasi, kompleksitas, maupun substansinya berbeda-beda. Mana mungkin hal demikian diputus dengan vonis yang sama. Bukankah vonis hakim harus adil dan apa yang disebut keadilan adalah proporsionalitas dalam konteks perbedaan, kasus per kasus. Dari sanalah, ”keberuntungan” pada Komjen Pol BG, sementara ”kebuntungan” menimpa SDA.

Kedua, SDA, kuasa hukumnya, dan masyarakat luas, mesti paham bahwa lembaga pengadilan yang menangani praperadilan tergolong sebagai lembaga modern. Dipastikan, di dalamnya ada sisi modernitas antara lain rasional, kepastian hukum, materialistik, dan mekanistik. Untuk menang perlu dana besar dan kekuatan berlimpah.

Tetapi, jangan lupa, secara sosiologis, dipastikan pula, ada sisi primordial-irasional. Boleh saja, mereka mempermasalahkan kewenangan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi sesuai Pasal 11 huruf a Undang-Undang KPK. Sah-sah pula mereka percaya pada pengadilan dan menggunakannya untuk mendapatkan putusan agar pengadilan menyatakan surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) nomor Sprin.Dik-27/01/05/2014 dan Sprin.dik-27A/01/12/2014 tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. Bahkan, tidak salah kalau SDA juga menuntut KPK membayar ganti rugi sebesar Rp1 triliun atas penetapan dirinya sebagai tersangka.

Tetapi, perlu dipahami bahwa pada ranah sosiologis-empiris, sering dijumpai ada pemikiran, sikap, dan perilaku penegak hukum yang bengkok, dan ada pula yang tegak-lurus, tegar, tak goyah oleh segala bentuk rayuan maupun tekanan.
Artinya, kualitas putusan hakim masih menjadi teka-teki. Kalah atau menang, sama besar peluangnya.

Ketiga, ketika SDA tidak rela ditetapkan sebagai tersangka korupsi, menjadi wajar ada upaya pembelaan diri. Kuasa hukum SDA mendayagunakan teks-teks hukum sebagai kekuatan dalam rangka mematahkan fakta-fakta yang dituduhkan.

Jangan lupa, teks-teks hukum, baik yang termuat dalam KUHP, KUHAP, UU Tipikor, dan sebagainya tidak pernah memiliki kepekaan individual, sosial, dan lingkungan, bahkan tidak mampu mengubah dirinya sendiri. Apakah yang dihadapi oleh SDA itu sebagai buah rekayasa politik ataukah murni kasus hukum, teks-teks hukum hanya diam.

Perlu diketahui bahwa kekuatan hukum yang efektif muncul dari manusia-manusia penggerak teks-teks hukum tersebut. Jadilah, teks-teks hukum multitafsir, berwajah abu-abu, bermakna berbeda-beda ketika dipertemukan dengan aksi-aksi penegak hukumnya.

Di sinilah perlu dicermati seksama bahwa penegak hukum yang mengawal kasus Komjen BG berbeda dengan penegak hukum yang mengawal kasus SDA. Benarkah semua penegak hukum dalam dua kasus berbeda tersebut tergolong profesional, memegang teguh moralitas, berwawasan Pancasila sehingga berani menggunakan irah-irah putusan :  ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, ataukah ”Demi Keadilan Berdasarkan Keuangan Yang Maha Kuasa”? Adakah praperadilan diwarnai kemunafikan, rekayasa, patgulipat?

Hal demikian menjadi teka-teki dan kecurigaan masyarakat luas, tetapi sulit pembuktiannya.

Membongkar kekuatan-kekuatan hukum, baik yang positif maupun negatif, menjadi prasyarat untuk akselerasi pemberantasan korupsi di negeri ini. Kekuatan hukum positif adalah tekad, semangat, dan komitmen penegak hukum sebagai ”nabi-nabi keadilan” yaitu orang-orang yang mau berjihad demi terwujudnya negeri yang bersih dari korupsi; sementara kekuatan hukum negatif adalah sebaliknya. Kekuatan hukum negatif ada pada koruptor dan kroninya.

Terbayang: ”Jangan-jangan sistem peradilan kita sudah dikuasai oleh kekuatan hukum negatif”. Adakah Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, bahkan Presiden melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem peradilan dan berusaha memperbaikinya? Sayangnya, bila pertanyaan ini melayang begitu saja, gone with he wind. Wallahu. Wallahualam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar