Sabtu, 11 April 2015

Ihwal Restriksi Calon Petahana

Ihwal Restriksi Calon Petahana

Khairul Fahmi  ; Dosen Hukum Tata Negara;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako)Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA, 10 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

PETAHANA menjadi objek yang cukup mencuri perhatian para pembentuk undang-undang dalam membahas UU tentang pemilihan kepala daerah. Betapa tidak, sejumlah ketentuan UU No 8/2015 tersebut berisi restriksi ketat terhadap ruang gerak petahana. Gerak-gerik petahana diatur sedemikian rupa agar kekuasaan pemerintah daerah tidak disalahgunakan untuk memenangi kembali kontestasi pilkada. Pengetatan tersebut mencakup larangan bagi petahana untuk melakukan sejumlah tindakan dalam tahapan pilkada dan juga syarat pencalonan bagi keluarga dekatnya.

Di satu sisi, ketatnya pengaturan haruslah diapresiasi. Setidaknya, pengaturan seperti itu dapat mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah, guna meraup keuntungan politik dalam pilkada. Lebih jauh, hal demikian setidaknya juga akan menopang terselenggaranya pilkada yang lebih jujur dan adil. Setiap calon akan memiliki kesempatan yang sama dalam memenangkan pilkada.

Di sisi lain, ketentuan terkait petahana dalam UU ini justru menyimpan berbagai persoalan. Sejumlah norma mengandung kekaburan rumusan yang dapat berakibat fatal bagi kepastian proses penyelenggaraan pilkada. Sayangnya, berbagai kelemahan dimaksud justru tidak dijawab pada saat perubahan UU No 1/2015 dilakukan.

Sebelum lebih jauh membahas itu, terlebih dahulu akan diulas soal arti petahana. UU Pilkada memang tidak mendefinisikannya, tetapi petahana yang merupakan padanan kata incumbent sesungguhnya sudah menjadi istilah umum sejak 2009. Setidaknya, istilah tersebut akrab sejak proses penyelenggaraan pemilu juga diikuti oleh yang sedang memegang jabatan. Istilah tersebut dalam KBBI diartikan sebagai pemegang jabatan politik yang sedang menjabat. Dengan demikian, siapa pun yang sedang menjabat suatu jabatan politik, maka yang bersangkutan disebut sebagai `petahana'. Jika yang bersangkutan kembali ikut dalam kontestasi pemilu untuk mempertahankan kursi kekuasaannya, diisti lahkan dengan `calon petahana'.

Walaupun dalam UU Pilkada tidak ditemukan frasa `calon petahana' melainkan hanya `petahana', tetapi dari rumusan sejumlah norma menghendaki pemilahan yang demikian. Norma yang terkait dengan petahana dapat dijumpai dalam Pasal 7 UU No 1/2015, sedangkan calon petahana termuat dalam Pasal 71 UU ini. Dengan pemilahan tersebut, sesungguhnya UU Pilkada memberi restriksi kepada dua target, yaitu `petahana' itu sendiri dalam rangka mengantisipasi politik dinasti; dan `calon petahana' dalam rangka mengantisipasi penyalahgunaan kekuasaan.

Mutasi dan fasilitas jabatan

Bagi calon petahana, dilarang melakukan pergantian pejabat dan menggunakan program pemerintah daerah untuk kegiatan pemilihan enam bulan sebelum masa jabatan berakhir. Dalam Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada dinyatakan, Petahana dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 71 ayat (4) UU Pilkada, norma tersebut sesungguhnya berlaku bagi calon petahana. Larangan yang dimaksud, ditujukan agar calon petahana tidak menyalahgunakan kekuasaan melalui penggunaan mesin birokrasi untuk memenangkan pilkada. 

Larangan tersebut tentunya tidak berlaku bagi petahana yang tidak lagi menjadi calon. Konteks pengaturan larangan dalam Pasal 71 UU Pilkada harus dipahami dalam satu kesatuan utuh, yakni antara ayat yang satu dan yang lain memiliki hubungan makna. Dalam hal ini, Pasal 71 ayat (4) menjadi norma kunci dalam memahami tiga ayat sebelumnya.

Soal yang kemudian muncul, apabila tahapan pilkada belum dimulai sementara masa jabatan petahana sudah masuk dalam waktu enam bulan menjelang berakhir, apakah norma tersebut tetap berlaku bagi yang bersangkutan? Jika berlaku, bagaimana mungkin sanksi dapat dijatuhi, sementara yang bersangkutan belum berstatus sebagai calon? Apakah mungkin sanksi dijatuhkan kelak ketika yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai calon?

Pertanyaan yang terakhir ini tentunya tidak dapat diterapkan karena KPU Daerah memiliki batas yurisdiksi kewenangan yang tidak dapat dilampauinya. KPU Daerah hanya dapat menjatuhkan sanksi kepada calon yang melakukan pelanggaran dalam kapasitasnya sebagai calon. Sementara tindakan yang dilakukan sebelum menjadi calon, KPU Daerah tentu tidak memiliki alasan hukum untuk mencampurinya.

Pemahaman yang demikian semakin terkonfirmasi kebenarannya dengan membaca ketentuan Pasal 4 UU Pilkada. Dalam ketentuan tersebut diatur, DPRD memberitahukan secara tertulis kepada KPU mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah, paling lambat enam bulan sebelum masa jabatan berakhir. Waktu enam bulan sesungguhnya menjadi tenggat paling singkat yang mesti disediakan bagi penyelenggara pemilu untuk melaksanakan tugas. Dalam kaitannya dengan Pasal 71 UU Pilkada, tenggat enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan ialah waktu pelaksanaan tahapan pilkada telah dimulai, yang mana petahana pun telah ditetapkan sebagai salah satu calon.

Namun demikian, sampai saat ini berbagai pertanyaan terkait dengan penghitungan waktu enam bulan sebelum berakhir masa jabatan masih bermunculan. Bahkan, sejumlah kepala daerah ragu melakukan mutasi yang dianggap penting untuk keperluan meningkatkan kinerja aparatur pemerintah daerah. Alasannya, takut dibatalkan sebagai calon. Padahal, yang bersangkutan sama sekali belum mendaftar menjadi peserta dan tahapan pilkada pun sama sekali belum dimulai. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketidakpastian yang termuat dalam norma dimaksud. Padahal, ketentuan tersebut hanyalah untuk tujuan membatasi hak petahana yang sudah ditetapkan sebagai calon, bukan bagi petahana yang bukan atau belum menjadi calon peserta pilkada.

Lingkup keberlakuan

Selanjutnya, terkait dengan lingkup keberlakuan restriksi petahana, apakah di satu daerah saja atau untuk seluruh daerah? Sesuai apa yang dimaksud dengan petahana, sesungguhnya batas status petahana hanya dalam lingkup daerah, tempat ia memegang jabatan politik. Dalam arti, jika yang bersangkutan merupakan gubernur atau wakil gubernur di wilayah A, keberlakuan status incumbent hanya untuk daerah tersebut, tidak untuk yang lainnya. Status tersebut ialah berkaitan dengan jabatan politik yang disandang, yang mana lingkup kekuasaan dari jabatan politik juga tergantung pada lingkup wilayah kekuasaan yang ditentukan bagi jabatan tersebut. Oleh karena itu, kedudukan petahana tidak dapat digeneralisasi untuk semua daerah, tetapi hanya terbatas pada daerah, tempat jabatan politik tersebut berada.

Sebagai konsekuensinya, syarat tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 hanya berlaku sesuai lingkup wilayah keberlakuan suatu jabatan politik. Dengan demikian, ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu dari seorang petahana harus tetap dinilai memenuhi syarat, jika yang bersangkutan mencalonkan diri pada daerah selain yang dipimpin petahana. Keluarga seorang petahana tetap dapat mengikuti pilkada tanpa harus melewati jeda satu kali masa jabatan, asalkan yang bersangkutan tidak mencalonkan diri di daerah kekuasaan politik petahana.

Oleh karena itu, agar berbagai celah lemah pengaturan calon petahana tidak menjadi sumber persoalan di kemudian hari, sebaiknya masalah tersebut dijawab melalui Peraturan KPU. Dalam pembentukannya, KPU harus ekstra hati-hati dalam menurunkan berbagai norma UU Pilkada, agar kelemahan yang ada dapat diatasi dan ketidakjelasan perumusan dapat diberi kepastian. Langkah ini merupakan salah satu pilihan, guna mengantisipasi berbagai kerikil penyandung kelancaran penyelenggaraan pilkada yang akan ditabuh mulai Juni mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar