Hukum
yang Letih
Imam Anshori Saleh ; Komisioner Komisi Yudisial
|
KOMPAS, 15 April 2015
Kian nyaring terdengar keluhan masyarakat bahwa di negeri ini
hukum dan keadilan semakin jauh dari harapan. Keadilan menjadi ”barang”
mahal.
Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas, dan berbagai keluhan
masyarakat lainnya yang bernada pesimistis. Kalau hal ini ditanyakan kepada
para praktisi hukum, apalagi kepada akademisi, mereka akan menjawab dengan
tangkas: yang menjadi persoalan bukan hukumnya, melainkan para pelaksananya
alias penegak hukumnya.
Biasanya para ahli hukum menyitir pendapat Taverne yang
terkenal. Intinya, hukum yang jelek tak masalah asal dilaksanakan dan
ditegakkan oleh hakim-hakim dan jaksa yang baik. Masyarakat tidak perlu harus
memahami secara ilmiah, apakah yang menjadi persoalan hukumnya atau para
penegak hukumnya. Masyarakat juga tidak perlu berpikir keras untuk membedakan
hukum dan para penegak hukum. Bagi masyarakat, hukum dan penegaknya itu
menjadi satu kesatuan.
Rasa keadilan
Keluhan masyarakat tentang jauhnya kesenjangan antara hukum dan
keadilan dari harapan berdasarkan berbagai kenyataan yang mereka saksikan
sendiri, antara lain melalui media massa. Misalnya, pengajuan gugatan
praperadilan untuk penetapan seseorang menjadi tersangka. Hakim yang satu
tidak dapat mengabulkan dengan alasan tidak ada dasar hukumnya. Akan tetapi,
hakim yang lain mengabulkan gugatan praperadilan terhadap hal yang sama,
dengan alasan bahwa hakim bukan corong undang-undang, hakim independen, dapat
menemukan hukum, menggali keadilan, dan lain sebagainya.
Contoh lain, ada dua orang yang melakukan tindak pidana korupsi.
Keduanya disidangkan sebagai terdakwa di pengadilan yang sama, dengan
kualitas perbuatan dan unsur-unsur tindak pidananya sama. Akan tetapi, vonis
hakimnya berbeda: yang satu dinyatakan bersalah dan divonis masuk penjara;
satunya lagi dinyatakan tidak bersalah dan divonis bebas.
Nah, ketidaksamaan orang di hadapan hukum itu dianggap
masyarakat bertentangan dengan prinsip equality
before the law, persamaan di depan hukum. Lalu masyarakat menganggap
hukumnya tidak jelas, dilanjutkan dengan adanya berbagai prasangka buruk
terhadap hakim-hakim yang mengadilinya. Mulai dari tudingan menerima suap,
adanya tekanan dari atasan atau dari luar, dan sebagainya. Berbagai prasangka
buruk dari masyarakat, walaupun tidak selalu benar, memang sulit dielakkan.
Betapa pun berbagai penjelasan (dalih?) dikemukakan para petinggi institusi
peradilan, logika masyarakat adalah nalar yang sederhana, yakni rasa keadilan
masyarakat itu sendiri.
Ketika hukum tidak mampu menjawab rasa keadilan masyarakat, yang
dirasakan kemudian memunculkan pertanyaan berikutnya: apakah hukum di negeri
ini sedang letih, mengalami keletihan? Pertanyaan itu muncul karena selain
tidak mampu memberikan rasa keadilan juga tidak mampu memberikan kepastian
hukum, membiarkan para penegak hukum ”berinovasi” sesuka hati. Mestinya hukum
dalam pengertian luas tetap dapat memandu agar rasa keadilan dan kepastian
hukum dapat terjaga, serta pada akhirnya dapat memberikan kemaslahatan bagi
masyarakat. Bukankah Redbruch pernah menyarankan begitu?
Heboh kontraksi antara Kepolisian dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) baru-baru ini; kisruh di beberapa partai politik berebut
kekuasaan, salah satu faktornya juga karena tidak tersedianya regulasi yang
memadai. Hukum yang memayungi sangat lentur ditafsirkan menurut kepentingan
pihak-pihak terkait.
Politik-hukum sebagai
pemandu
Ketika hukum dirasakan masyarakat tengah mengalami keletihan,
lalu apa yang dapat dilakukan? Selain para pelaksananya, tentu hukum positif
itu sendiri yang harus ditinjau ulang, apakah masih memadai dalam menghadapi
dinamika perkembangan masyarakat dan zaman. Kalau soal perlunya pembaruan
hukum, rasanya sudah sangat lama didengungkan dan dibentuk berbagai ”tim
pembaruan” di sejumlah institusi yang kompeten. Sebutlah seperti di
Kementerian Hukum dan HAM di bawah Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), di
DPR ada Badan Legislasi (Baleg), di Mahkamah Agung ada Tim Pembaruan yang
dibantu para akademisi dan kalangan lembaga swadaya masyarakat.
Namun, khusus untuk pembaruan hukum (baca: peraturan
perundang-undangan) tampaknya masih berjalan di tempat. Banyak produk hukum
warisan pemerintahan kolonial, yang umumnya didesain untuk kepentingan penguasa
waktu itu, dibiarkan menjadi acuan penegakan hukum. Setiap ada upaya
mengganti atau merevisi produk hukum itu selalu ”maju-mundur”. Sudah
dimasukkan di Program Legislasi Nasional, DPR berperiode-periode ternyata
tidak mampu mewujudkannya dengan berbagai alasan.
Keletihan hukum dapat diukur dengan membandingkan politik hukum
kita, yang dalam hal ini diformulasikan dalam UUD 1945 dengan implementasinya
dalam peraturan perundangan dan realisasinya dalam penegakan hukum. Membaca
politik-hukum yang terkandung dalam konstitusi kita yang sudah empat kali
diamendemen, semestinya juga dengan memperhatikan pesan-pesan reformasi yang
menjiwainya.
Untuk menyegarkan kembali hukum kita dari keletihan tentunya
harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR yang memiliki pemikiran segar, bukan
oleh lembaga eksekutif dan legislatif yang letih dan pesimistis.
Adapun Mahkamah Agung punya peran penting memandu jajaran
peradilan dengan mengartikulasikan pesan-pesan reformasi. Misalnya dengan
menerbitkan peraturan dan surat edaran Mahkamah Agung. Sementara Mahkamah
Konstitusi tetap mengawal agar tidak ada pertentangan antara politik hukum
sang pemandu, yang terkandung dalam konstitusi dengan undang-undang di
bawahnya. Para pemangku kepentingan lainnya, termasuk kalangan akademisi dan
masyarakat tentu tetap mempunyai peran penting secara proporsional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar