Rabu, 15 April 2015

Degenerasi Kepemimpinan PDI Perjuangan

Degenerasi Kepemimpinan PDI Perjuangan

                 Fajar Kurnianto  ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
KOMPAS, 15 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dikukuhkannya kembali Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan periode 2015-2020 di Kongres IV PDIP Nusa Dua, Bali, 9-12 April, semakin mempertegas degenerasi kepemimpinan di tubuh partai banteng itu.

Sosok Megawati yang merupakan trah Soekarno masih dianggap sebagai tumpuan dalam menjaga soliditas partai dan terhindar dari perpecahan seperti lazim terjadi di partai lain. Padahal, dari sejumlah survei, misalnya oleh Poltracking dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), banyak kader PDIP yang menginginkan adanya regenerasi kepemimpinan.

Berdasarkan hasil survei Poltracking Indonesia yang dirilis Maret lalu, prioritas dalam kelembagaan PDIP adalah regenerasi kepemimpinan partai. Dukungan responden untuk regenerasi partai 41,6 persen, demokratisasi partai 26,4 persen, ideologi partai 15,4 persen, akuntabilitas dan transparansi partai 13,1 persen, serta desentralisasi partai 3,5 persen.

Berikutnya, Poltracking melakukan survei terhadap sejumlah tokoh PDIP yang dianggap potensial selain Megawati dengan menggunakan metode uji kelayakan figur melalui tiga tingkatan penyaringan, yaitu meta analisis (analisis pemberitaan media, hasil survei, dan dokumentasi studi yang relevan), focus group discussion, serta penilaian kapabilitas dan akseptabilitas oleh pakar dan opinion leaders. Juri penilai 200 pakar dan diselenggarakan Desember 2014-Januari 2015. Para pakar diminta menilai sembilan tokoh di PDIP: Ganjar Pranowo, Hasto Kristianto, Joko Widodo, Maruarar Sirait, Megawati Soekarnoputri, Pramono Anung, Muhammad Prananda Prabowo, Puan Maharani, dan Tjahjo Kumolo.

Mereka dinilai dalam 10 aspek, yaitu integritas, kompetensi dan kapabilitas, visi dan gagasan, komunikasi elite, komunikasi publik, akseptabilitas publik, pengalaman dan prestasi kepemimpinan, kemampuan memimpin organisasi kepartaian, kemampuan memimpin koalisi partai politik di pemerintahan, serta kemampuan memimpin pemerintahan dan negara. Para pakar menilai sembilan tokoh PDIP dari angka 1-10. Hasilnya, Jokowi: 7,68; Ganjar Pranowo: 7,41; Pramono Anung: 7,35; Maruarar Sirait: 7,03; Tjahjo Kumolo: 6,6; Hasto Kristianto: 6,52; Megawati Soekarnoputri 6,44; Prananda Prabowo: 5,93; dan Puan Maharani: 5,74.

Sementara itu, survei riset CSIS menunjukkan, Jokowi merupakan figur paling mampu membesarkan PDIP. Dalam survei yang digelar 16-19 Februari 2015 ini, 26,6 persen responden yakin Jokowi mampu memimpin PDIP lima tahun ke depan, sedangkan pemilih Megawati hanya 9,1 persen. Lalu, putri Mega, Puan Maharani, juga masih kalah dari Jokowi, yakni dipilih 22,8 persen responden. Responden survei CSIS itu sendiri melibatkan hampir semua petinggi PDIP di daerah, yakni 467 petinggi Dewan Pemimpin Cabang (DPC) dan 28 petinggi Dewan Pemimpin Daerah (DPD).

Terang-terangan

Nama Jokowi disebut secara terbuka oleh 76 DPC atau 16,3 persen, Puan 25 DPC atau 5,4 persen, Ganjar 14 DPC atau 3 persen, dan Pramono 11 DPC atau 2,4 persen. Meski demikian, nama-nama itu masih jauh tertinggal dari Megawati yang mendapat dukungan 320 DPC atau 68,5 persen. Jadi, ada sekitar 147 DPC atau 31,5 persen yang sudah berani terang-terangan tidak lagi menyebut nama Megawati sebagai calon ketua umum.

Masalah kepemimpinan di PDIP hingga saat ini memang belum terpecahkan. Di satu sisi ada keinginan melakukan perubahan yang dimulai dengan regenerasi kepemimpinan karena sejatinya banyak tokoh PDIP yang juga kompeten dan berintegritas tinggi. Di sisi lain, ada kegamangan dan kekhawatiran akan masa depan partai jika tidak lagi dipegang Megawati. Dengan kata lain, ketergantungan terhadap sosok Megawati masih sangat besar. Megawati masih begitu kuat hingga seakan-akan menjadi mitos. Ibaratnya, tanpa Megawati, partai dibayangkan akan tercerai-berai. Tanpa trah Soekarno, PDIP dibayangkan kehilangan basis atau karakter ideologis dan daya magisnya.

Hasrat akan perubahan dan regenerasi kepemimpinan di PDIP pada akhirnya seperti membentur tembok yang amat tebal dan kuat. Kunci sesungguhnya ada pada Megawati. Jika dia berbesar hati dan lapang dada membuka ruang dan memberi kesempatan kepada kader terbaik PDIP menggantikannya, mungkin cerita PDIP akan lain.

Sayangnya, itu belum dilakukan Megawati, setidaknya hingga detik ini. Ia didaulat secara aklamasi sebagai ketua umum lagi, dan ia mengiyakan. PDIP masih seperti "partai keluarga": partai diimajinasikan hanya milik satu trah yang kuat dan menentukan arah keluarga ke depan. Jika trah itu tiada, goyahlah keluarga tersebut. Dalam partai keluarga, tak ada meritokrasi. Padahal, ini unsur penting bagi kemajuan partai, bahkan negara.

Mendiang Lee Kuan Yew, yang baru-baru ini wafat, begitu membanggakan kemajuan negeri yang pernah dipimpinnya itu di depan para investor global. Ia mengatakan bahwa Singapura maju dan unggul berkat filosofi pemerintahan berbasis meritokrasi. Dia membeberkan sistem meritokrasi yang dibangun di Singapura, yang tidak hanya di pemerintahan, tetapi juga di semua lini, menjadikan negeri itu salah satu negara terkompetitif di dunia.

Kishore Mahbubani dalam bukunya, Asia, New Hemisphere of The World (2008), menyebutkan bahwa salah satu pilar kemajuan peradaban Barat adalah budaya meritokrasi. Menurut dia, prinsip meritokrasi itu sederhana: karena setiap individu di masyarakat itu sumber daya yang potensial, semua dari mereka harus diberi kesempatan yang sama (sebanyak mungkin) mengembangkan diri dan memberi kontribusi kepada masyarakat.

Semakin PDIP bergantung hanya kepada satu sosok Megawati atau satu trah Soekarno, tanpa mulai mencari jalan dan membuka ruang bagi regenerasi kepemimpinan dengan prinsip meritokrasi, umur partai sama dengan umur sosok atau trah itu sendiri. Jika tokoh atau trah itu habis, habislah riwayat partai, hilang ditelan zaman, digantikan partai-partai lain yang lebih segar, modern, dan kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar